Thursday 19 May 2016

Hilangnya kata Kami dari Bahasa Indonesia - Pembangunan Karakter Bangsa


Hilangnya kata Kami dalam perbendaraan percakapan umum

Oleh Dr. Junaedy Ganie 

          Bahasa Indonesia acapkali disebut tidak lengkap, suatu penilaian yang tidak perlu dibantah karena Bahasa Indonesia memang merupakan suatu bahasa baru yang terus berevolusi (berasal dari kata asing) sesuai perkembangan setiap generasi dan zamannya masing-masing. Berbagai kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa asing diadopsi memperkaya hazanah perbendaraan Bahasa Indonesia sehingga adopsi tersebut bukan sesuatu yang harus dihindarkan atau dianggap tabu (berasal dari bahasa asing). Kita dengan mudah menemukan kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab, Inggris, Belanda dan Portugis dalam perbendaraan bahasa kita. Tetapi bagaimana dan mengapa kata khas Indonesia dalam bahasa kita menghilang.

Meskipun dikatakan perbendaharaan Bahasa Indonesia belum lengkap dan bahkan dikatakan sebagai alasan kesulitan menerjemahkan science ke dalam bahasa kita yang mungkin sebagian didasarkan kepada persepsi yang tidak sepenuhnya benar, Bahasa Indonesia memiliki suatu kekayaan tersendiri yang membuatnya menarik dan menjadi lebih tepat dalam memberikan deskripsi (dari bahasa asing) atas sesuatu. Misalnya, penyebutan kata Pelangi langsung memberikan gambaran dan pesan ke pikiran kita tentang sesuatu yang indah. Akan berbeda penangkapan perasaan apabila kita mengganti kata tersebut dengan kata Busur hujan sebagaimana terjemahan kata Rainbow pada Bahasa Inggris sekiranya kita tidak memiliki kata Pelangi.

Satu kata yang sangat khas dan mungkin hanya dimiliki oleh beberapa bahasa saja di seluruh dunia adalah pemakaian dan perbedaan kata Kami dan Kita. Bahasa Inggris hanya memiliki satu kata We untuk kedua kata tersebut. Kata Kami secara tegas meniadakan orang kedua yang menjadi lawan bicara dari kelompok pembicara sementara pada kata Kita secara nyata orang kedua yang menjadi lawan bicara berada dalam kelompok yang sama. Pada Bahasa Inggris pemahaman terhadap konteks (juga berasal dari bahasa asing) pembicaraan atau topik (lagi-lagi bahasa asing) diperlukan untuk dapat membedakan kapan We sebagai Kami dan kapan We sebagai Kita.

Pembicaraan pada 9 Mei lalu disela persiapan kami menyusun materi sidang arbitrase dengan sesama rekan arbiter di susul pada hari yang sama menerima posting sebuah tulisan yang muncul dalam sebuah WA Group tentang hilangnya kata Kami dalam pembicaraan umum mendorong saya menorehkan tulisan singkat ini. Tulisan ini juga merupakan sebuah sumbangan kecil sebagai dukungan atas penyelenggaraan Seminar Kamus Bahasa Melayu Seganti Setungguan yang dilaksanakan hari ini, 19 Mei 2016 di Lahat, Sumatera Selatan sebagai sebuah upaya melestarikan bahasa daerah yang tersebar di sejumlah kabupaten di SumSel, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung oleh kelompok masyarakat yang tinggal di Jakarta, Jabar dan Banten yang memiliki bahasa tersebut sebagai bahasa pertama (mother’ tongue)).

Mengapa akhir-akhir ini kata Kami tersebut menghilang? Bahkan tidak hanya pada orang dewasa, tidak hanya pada pejabat tetapi pada segmen (asing lagi) tertentu pada kelompok remaja kata Kami menghilang dan digantikan kata Kita. Perhatikanlah berbagai wawancara di media terutama televisi. Yang saya khawatirkan bukan sekedar hilangnya kata Kami tersebut  tetapi apakah fenomena hilangnya kata Kami menunjukan berkembangnya sifat manipulatif (no comment) pada bangsa kita? Sebab pembicara sadar sepenuhnya bahwa  lawan bicara bukan bagian dari isu yang dibicarakan. Apakah perubahan ini menunjukan sifat persuasif (asing lagi deh) yang berlebihan? Jika yang dimaksudkan untuk menunjukan sopan santun sehingga lawan bicara menjadi bagian dari pembicara, apakah bukan merupakan basa basi atau sopan santun yang berlebihan.

Saya masih ingat dalam suatu tayangan acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne beberapa bulan yang lalu, Karni Ilyas berkomentar pada akhir pembicaraan oleh seorang nara sumber: “Yang dimaksudkan dengan Kita oleh Pak Anu tadi adalah Kami. Ya, orang disekitarnya dan para pendengar tidak ikut terlibat !

Jakarta, 19 Mei 2016.