Dear All,
The article below was published in Kompas daily on 9 January 2020. The topic is still quite relevant today. For easy reading, I have also prepared the typewritten version under the printed article.
Warmest regards
Kompas, Opini, 9 Januari 2020
JIWASRAYA, NASIBMU KINI
Junaedy Ganie
Pengamat
Kebijakan Publik, Pakar Hukum & Asuransi, Praktisi Bisnis
Bisnis
asuransi merupakan bisnis kepercayaan yang produknya masih harus dijual, di
tawarkan melalui berbagai strategi dengan perjuangan berat. Belum didatangi pembeli
perusahaan asuransi harus berjuang keras memperoleh kepercayaan masyarakat atas
kemampuannya memenuhi janji di masa depan, yaitu ketika klaim diajukan. Di sinilah,
faktor modal, reputasi, produk dan kualitas layanan, kompetensi manajemen,
pengawasan internal dan eksternal, teknologi, serta sumber daya manusia (SDM) berperan
sangat besar.
Didirikan
pada tahun 1859 bernama NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en
Liffrente Maatchappij van 1859 menjadikan Jiwasraya perusahaan asuransi
tertua di Indonesia. Sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN), Jiwasraya
menikmati sejumlah privilege yang tak dimiliki pesaing non-BUMN. Tinggi
kepercayaan BUMN lain melakukan sinergi penempatan asuransi dengan Jiwasraya.
Modal, bukan soal sebab di mata masyarakat luas, kedudukan sebagai BUMN memberikan
jaminan pemerintah : tidak akan pernah bangkrut !
Faktor-faktor
daya saing tadi bukan beban bagi Jiwasraya dalam persaingan. Pembeli polis
Jiwasraya, melalui 7 bank termasuk bank BUMN dan bank-bank asing, mempercayakan
keamanan dana mereka. Per Desember 2019 ada 17,000 pemegang polis dari 7 juta
nasabah Jiwasraya, termasuk 470 warga negara Korea Selatan. Namun, BUMN ini
telah menimbulkan nestapa kepada para nasabah yang ditunggak klaimnya, mencapai
Rp 802 milyar per Oktober 2018 dan Rp 12.4 triliun per Desember 2019. Menurut
Jaksa Agung ST Burhanuddin, kerugian negara mencapai Rp 13.7 triliun per
September 2019, dan bahkan sebenarnya lebih besar lagi. Ini rekor tersendiri.
Dalam
10 - 15 tahun terakhir, industri asuransi jiwa mengalami pertumbuhan fenomenal,
bahkan sempat bertahun-tahun tumbuh dua digit, terutama didukung saluran bancassurance
dan sejumlah produk yang mengandung komponen investasi, bukan polis
proteksi umumnya. Pertumbuhan yang tinggi, peningkatan kemakmuran agen-agen
asuransi seiring dengan meningkatnya minat membeli asuransi membuat profesi
agen asuransi berhasil menarik berbagai lapisan masyarakat. Potensi bisnis
asuransi jiwa yang sangat menjanjikan di Indonesia membuat investor dari banyak
negara berlomba-lomba membawa dana besar memasuki sektor asuransi Indonesia.
Perusahaan
asuransi jiwa seperti tak ada matinya dan selalu cepat bangkit kembali dari
dampak penurunan atau gejolak ekonomi. Lalu,
apa yang terjadi dengan Jiwasraya yang perusahaan dan direksinya bertabur penghargaan?
Keberhasilan Jiwasraya menjual polis JS Saving Plan sempat membuat pesaing
kelabakan. Pesaing mungkin menyimpulkan strategi itu hanya Jiwasraya, sebagai BUMN,
yang dapat melakukannya!
Seperti
selimut pelindung hanya BUMN yang beruntung memilikinya. Menoleh ke belakang, sebagai
orang yang ketika memimpin transformasi korporasi menyeluruh di sebuah
perusahaan asuransi jiwa anak BUMN, menghentikan penjualan baru atas 38 produk,
terutama yang memberi jaminan keuntungan tinggi. Ini sebagai antisipasi
atas ketakpastian dan tren penurunan suku bunga global. Terkuaknya kegagalan
Jiwasraya membayar klaim jatuh tempo Rp 802 milyar pada Oktober 2018 memberikan
jawaban. Menyedihkan nasib yang menimpa Jiwasraya yang konon nilai ekuitasnya
negatif Rp 23.92 triliun kuartal III-2019, menyusul kegagalan Asuransi Jiwa
Bumiputera 1912, pelopor asuransi jiwa anak bangsa.
Akuntabilitas
kepemimpinan dan pengawasan
Sementara
menunggu langkah otoritas terkait nasib klaim nasabah dan masa depan Jiwasraya,
mudah-mudahan pemikiran dari penulis yang lebih dari 30 tahun mendalami bidang
perasuransian dapat menjadi masukan bagi semua pemangku kepentingan.
Pertama,
seleksi jajaran manajemen BUMN. Seringnya gonta ganti kepemimpinan BUMN
terutama BUMN besar, baik saat di bawah menteri yang sama maupun setelah
terjadi penggantian menteri, menimbulkan tandatanya. Selain soal kesinambungan
strategi korporasi, apakah seleksi telah dilakukan secara benar? Apakah kesuksesan
usaha saja tak cukup, apakah kesalahan, kegagalan menyingkirkan? Adakah peran
tekanan politik atas seleksi dan kebijakan dan pengelolaan usaha. Ini tidak
bertujuan mengecilkan arti keberhasilan kepemimpinan beberapa BUMN.
Kedua,
efektifitas peran dewan komisaris yang memberi nasihat dan mengawasi
pengelolaan oleh direksi sangat tergantung latar belakang dan adanya kompetensi
yang saling melengkapi di antara dewan komisaris. Jika didominasi oleh
penunjukan yang bersifat politis semata, perannya sulit berjalan baik. Peran dewan
komisaris adakalanya menjadi “pengetuk pintu” hubungan dengan pihak ketiga
mungkin tetap diperlukan. Namun, kesesuaian atas kebutuhan perseroan dan keseimbangan
fungsi adalah keniscayaan.
Tanpa
kombinasi itu, rapat direksi dan dewan komisaris dapat menjadi formalitas
semata. Dalam kasus Garuda, apa yang akan terjadi pada pembukuan labanya dan
bonus pengurus jika dua anggota dewan komisaris tidak menolak laporan keuangan
perseroan tahun buku 2018. Bagaimana pula akuntabilitas penurunan laba
Jiwasraya tahun 2017 yang dari 2.4 triliun turun drastis menjadi Rp 360 milyar?
Ketiga,
komite perangkat direksi dan perangkat dewan komisaris yang berfungsi. Dalam
kasus Jiwasraya, patut dipertanyakan apakah tiga komite direksi, yaitu Produk,
Investasi dan Risiko, telah berperan efektif. Demikian juga halnya peran tiga komite
perangkat dewan komisaris, yaitu Audit, Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi
& Nominasi, termasuk adanya pendekatan six eyes dengan adanya
anggota komite qualified dari eksternal.
Keempat,
pertemuan antara kebutuhan pelaku usaha, konsumen, dengan peran regulasi dan
peran pengawasan Otoritas Jasa Keuangan OJK dengan tujuan sama, yaitu kemajuan
usaha, keseimbangan kepentingan bagi semua pelaku usaha terkait, akuntabilitas direksi,
dewan komisaris dan komite pendukungnya, akuntabilitas lembaga pendukung
termasuk aktuaris dan Kantor Akuntan Publik,
perlindungan konsumen, jaminan keandalan produk, kecukupan cadangan, ketegasan
sanksi atas keterlambatan atau gagal bayar, dan kepentingan nasional.
Adalah
penting memastikan kompetensi, pengalaman dan kelengkapan infrastruktur SDM otoritas
terkait tidak kalah dengan kemampuan pelaku industri yang diawasi. Peran DPR
yang dari waktu ke waktu memanggil Pengurus BUMN, interaksi langsung
Kementerian BUMN dan peran pengawasan oleh pemegang saham, keberadaan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
yang sebenarnya membuat infrastruktur pengawasan BUMN telah berlapis.
Pembiaran?
Kelima, apabila borok Jiwasraya sudah ada
sejak lama, apakah selama ini terjadi pembiaraan atau tak ada kepemimpinan, di
tingkat mana pun berani bersikap, membuka permasalahan, merembukkan solusi
terbaik ketika masalah belum sebesar sekarang? Akan lebih celaka lagi jika
solusi yang dipilih justru mengandung risiko lebih besar yang di mata ahli hanya
akan menjadi bom waktu dan memperbesar petaka. Bagaimana kegagalan dalam rangkaian
proses perencanaan, pengelolaan, rencana usaha dan pengawasan atau sejak dari
desain produk sampai ke pengawasan akhir terjadi?
Keenam,
tindakan nyata lahir dari kemauan politik yang kuat untuk mengharmonisasi
perbedaaan ketentuan antara UU BUMN dan UU Kekayaan Negara tentang status
penyertaan modal dari kekayaan negara. Kapan dianggap sebagai tindak pidana dan
murni strategi korporasi yang prudent berdasarkan standar, kondisi dan
nilai-nilai saat keputusan korporasi diambil. Tanpa kepastian, pengurus BUMN
akan tetap dihantui risiko merugikan kekayaan negara yang timbul dari tindakan
kebijakan korporasi atau, sebaliknya, terjadi kerugian negara tanpa
pertanggungjawaban.
Langkah
pemerintah menangani kasus BUMN ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat
atas jaminan asuransi secara umum dantanggung jawab pemerintah sebagai pemegang
saham. Masyarakat Indonesia telah dewasa dan mampu memilah bahwa kegagalan
Jiwasraya tak serta-merta mencerminkan risiko kegagalan pada sektor asuransi
jiwa secara umum. Namun, belum adanya pembentukan Perusahaan Penjamin Polis
sebagaimana Lembaga Penjamin Simpanan pada perbankan, dan apapun penyebab gagal
bayar Jiwasraya, jelas bukan karena kesalahan nasabah telah mempercayakan uang
mereka pada Jiwasraya. Sebagaimana nasabah yang menyimpan uang di bank BUMN,
hak nasabah perlu diutamakan.
Entahlah
ada kelalaian bank penjual dalam memberikan penjelasan ke calon nasabah. Jika
pilihannya likuidasi, tentu telah dipikirkan secara matang. Dalam upaya
penyelamatan AJB Bumiputera, bentuknya sebagai Usaha Bersama (Mutual) dapat
dianggap sebagai hambatan, Jiwasraya yang bukan sebuah Usaha Bersama mungkin menyembunyikan
tantangan tersendiri.
Pemberian
bunga berjalan sebuah langkah antara yang baik. Akan menarik bentuk tanggung
jawab terhadap klaim yang timbul, sekaligus atau bertahap sesuai kemampuan dan
pilihan terbaik yang tersedia, termasuk melahirkan Jiwasraya Putera. Jika holding
asuransi, apakah sebatas sesama BUMN atau melangkah jauh melibatkan berbagai
perusahaan asuransi jiwa, anak BUMN, seperti BNI Life, BRI Life, Axa Mandiri,
Inhealth.
Apapun,
kini Jiwasraya di tangan kepemimpinan jago-jago merger dan akuisisi (M&A)
dan restructuring yang tentu sangat menghargai efektifitas kepemimpinan,
pengawasan dan peraturan. Pemerintah pernah melahirkan Reindo menggantikan
IndoRe yang mengalami kesulitan keuangan, sesama perusahaan reasuransi BUMN.
Ketika itu tidak melibatkan nasabah secara langsung dan perusahaan-perusahaan asuransi
yang mereasuransikan kepada IndoRe tidak diketahui gagal bayar kepada nasabah
akibat non aktifnya IndoRe. Wallahualam.
Queenstown,
New Zealand, 26 Desember 2019
Dr.
Junaedy Ganie