Wednesday 2 March 2022

DILEMA PENUNJUKAN ARBITER TUNGGAL (2) / DILEMMA OF APPOINTING A SOLE ARBITRATOR (2)

 

DILEMA PENUNJUKAN ARBITER TUNGGAL (2) / DILEMMA OF APPOINTING A SINGLE ARBITRATOR (2)

Oleh/By

Dr. A. Junaedy Ganie, SE, SH, MH, FCBArb, MCIArb, FIIArb.

     Dalam tulisan saya pada 22 Feb 2022, saya mengemukakan pentingya untuk mengantisipasi risiko terjadinya kebuntuan yang mungkin timbul dalam penunjukan arbiter tunggal pada perjanjian yang mencantumkan klausul arbitrase yang menyerahkan penyelesaian perselisihan melalui arbiter tunggal ketika sengketa muncul.  Salah satu pilihan adalah adanya kesepakatan para pihak untuk mengubah penyelesaian melalui majelis arbitrase ketika terjadi kebuntuan. Hal tersebut dapat dilakukan pada awal perjanjian atau ditambahkan selama perjanjian berlangsung. Keduanya diharapkan akan relative mudah dilakukan sebab kedua pihak memiliki hubungan yang baik. Namun bagaimana menangani atau mengantisipasi jika persengketaan telah timbul sementara para pihak terikat pada perjanjian yang tunduk kepada penyelesaian melalui arbiter tunggal?

In my writing on 22 Feb. 2022, I talk about the need to anticipate possible risk of an impasse that may arise from a disagreement over appointment of a sole arbitrator when the arbitration clause under the agreement submits any dispute resolution through a sole arbitrator at the time of dispute. One option is for the parties to add a provision to automatically amend the settlement through an arbitration tribunal when they cannot reach an agreement over a sole arbitrator. This can be done prior to signing the agreement or supplemented during the agreement. Both are expected to be relatively easy to achieve because both parties are in good term. However, how to deal with or anticipate it when the parties who are bound by an agreement subject to settlement through a single arbitrator are already in a dispute?

Diantara pilihan untuk menghindari kebuntuan, terutama bagi calon Pemohon sebelum mengajukan permohonan arbitrase adalah untuk mempertimbangkan apakah akan mengajukan Permohonan Arbitrase atas dasar penunjukan arbiter tunggal sesuai ketentuan yang berjalan atau terlebih dahulu mengajak calon Termohon untuk mengubah ketentuan penunjukan arbiter dalam klausul penyelesaian sengketa pada perjanjian yang ada.

Among other options to avoid an impasse, especially to the prospective Claimant before making an arbitration submission, is to consider whether to submit to nomination of a single arbitrator as governed by the existing dispute resolution clause or to first invite the prospective Respondent to amend the terms of the existing clause.

Jakarta, 2 Maret 2022 / Jakarta, 2 March 2022.

Contact

IG            : @junganie

Blog        http://junaedy-ganie.blogspot.com

LinkedIn : Dr. Junaedy Ganie, SE, SH, MH, FCBArb, MCIArb, FIIArb

Tuesday 22 February 2022

 

DILEMA PENUNJUKAN ARBITER TUNGGAL

DILEMMA OF APPOINTING A SOLE ARBITRATOR

Oleh / By

Dr. A. Junaedy Ganie, SE, SH, MH, FCBArb, MCIArb, FIIArb.

            Dalam sebuah Perjanjian yang mengandung penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase, para pihak dapat menyepakati untuk menujuk Arbiter Tunggal atau Majelis Arbitrase yang berjumlah ganjil. Yang paling umum adalah terdiri dari 3 orang arbiter. Namun, dalam perjanjian-perjanjian tertentu, para pihak adakalanya menyepakati penunjukan sebuah majelis yang terdiri dari 2 orang arbiter, yaitu 1 ditunjuk Pemohon dan 1 oleh Termohon dan kedua arbiter hanya akan menunjuk arbiter ketiga yang akan bertindak sebagai wasit apabila kedua arbiter tidak mencapai kesepakatan.

In an Agreement a containing dispute resolution through an arbitration forum, the Parties may agree to appoint a Sole Arbitrator or an odd number of Arbitral Tribunals. The most common is that it consists of 3 arbitrators. However, in certain agreements, the Parties sometimes agree to the appointment of a tribunal consisting of 2 arbitrators, namely 1 appointed Claimant and 1 by the Respondent and both arbitrators will only later appoint a third arbitrator who will act as a referee if the two arbitrators cannot reach an agreement.

Dalam pertimbangan penunjukan seorang arbiter, masing-masing pihak akan memilih seorang yang, menurut pendapat mereka, memiliki pengalaman, pemahaman, keahlian dan berbagai kriteria lain yang menjadi dasar pertimbangannya. Namun demikian, dalam sebuah perjanjian yang memuat klausul penyelesaian sengketa melalui Arbiter Tunggal, meskipun seorang arbiter harus selalu bersikap independen, tidak memihak pihak manapun, adalah sangat umum pilihan arbiter tunggal yang dipilih oleh Pemohon Arbitrase akan ditolak oleh Termohon yang akan mengusulkan pilihan yang lain dan sebaliknya. Tidak dipungkiri bahwa  ketika perselisihan telah timbul, adalah akan tidak mudah bagi Para Pihak untuk bersepakat tentang siapa yang akan menjadi Arbiter Tunggal dan masing-masing kukuh dengan pilihannya sehingga terjadi kebuntuan jika solusinya tidak diatur dalam klausul Arbitrase.  

In consideration of the appointment of an arbitrator, each Party will choose a person who in their opinion has experience, understanding, expertise and various other criteria on which their consideration is based. Nevertheless, in an agreement that contains a dispute resolution clause through a Sole Arbitrator, while an arbitrator must always be independent, impartial to any Party, it is very common that the   arbitrator chosen by the Claimant will be rejected by the Respondent who will propose another option and vice versa. It is undeniable that when a dispute has arisen, it shall not be easy for the Parties to agree on who will be the sole arbitrator and each is adamant with their choice and hence an impasse if a solution is not set out in the Arbitration clause

Pengurus Lembaga Arbitrase yang menjadi Lembaga penyelenggara arbitrase yang dicantumkan dalam klausul Arbitrase akan mengembalikan kepada Para Pihak untuk menentukan siapa yang akan ditunjuk. Pengurus tidak berwenang untuk memilih salah satu atau memilih arbiter lain, jika tidak diatur dalam perjanjian. Jika Pengurus tersebut diberi kewenangan, kemungkinan besar, apapun alasannya, mungkin akan menghindari memilih salah satu dari 2 arbiter yang telah diusulkan oleh masing-masing Pihak. Pada akhirnya, sangat besar kemungkinannya bahwa tidak ada dari arbiter pertama pilihan Pemohon dan Termohon yang akan ditunjuk. Selanjutnya, setelah melalui proses yang panjang sehingga merugikan dari waktu, uang dan kerugian lainnya, jika tidak bersepakat dengan satu dari 2 arbiter pertama, di antara Para Pihak akan disepakati arbiter yang lain atau akan menemui kebuntuan (impas). Ketidaksepakatan ini dapat pula dimanfaatkan oleh pihak yang mungkin beritikad buruk untuk menunda proses persidangan.

The Board of the Arbitral Institution which is the arbitral institution named the Arbitration clause shall return to the Parties to determine who will be appointed. The Board is not authorized to choose one or another arbitrator if it is not provided for in the agreement. If the Board is authorized, it will most likely, whatever the reason, may avoid selecting any of the two arbitrators that have been proposed by each Party. In the end, it is very likely that none of the first arbitrators selected by the Claimant or by the Respondent will be appointed. Thereafter, after a lengthy process to the detriment of time, money and other losses, if the parties cannot agree on 1 of the first 2 arbitrators, the Parties may either agree upon another arbitrator or will remain in an impasse. This disagreement can also be used by a Party who may have bad intent to delay the hearing process.

Untuk menghindari terjadi kebuntuan dalam pemilihan arbiter yang menentukan Arbiter Tunggal sebagai pemeriksa dan pemutus, solusi yang paling baik mungkin adalah apabila klausul Arbitrase dalam Perjanjian telah memuat ketentuan tambahan bahwa apabila Para Pihak tidak dapat menyepakati penunjukan Arbiter Tunggal, maka akan dibentuk sebuah Majelis  Arbitrase dimana masing-masing Pihak akan memilih seorang Arbiter dan selanjutnya kedua Arbiter akan menyepakati arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Tentu masih dapat diatur ketentuan lain seperti penunjukan Arbiter Tunggal akan dilakukan oleh Ketua dari Lembaga Arbitrase terpilih atau dipilih oleh Ketua sebuah Pengadilan Negeri untuk dipertimbangkan.

In order to avoid an impasse in the selection of the sole arbitrator, the best solution is may be if the Arbitration clause in the Agreement has contained an additional provision that if the Parties cannot agree on the appointment of a Sole Arbitrator, an Arbitral Tribunal shall be formed in which each Party shall elect an Arbitrator and then, the two arbitrators will agree on the third arbitrator as Chairman of the Arbitral Tribunal. Of course, there are other provisions such as the appointment of a Sole Arbitrator to be made by the Chairman of an arbitral institution elected or to be elected by the Chairman of a District Court to be considered

Jakarta, 22 Februari 2022 / Jakarta, 22 February 2022

Contact

IG            : @junganie

Blog        : http://junaedy-ganie.blogspot.com

LinkedIn : Dr. Junaedy Ganie, SE, SH, MH, FCBArb, MCIArb, FIIArb

Wednesday 10 February 2021

Alasan Hakim Periksa Perkara yang Mengandung Arbitrase

Artikel saya di bawah ini telah dimuat di Hukumonline.com pada 

Jumat, 25 Desember 2020

Alasan Hakim Periksa Perkara yang Mengandung Arbitrase

Oleh: Junaedy Ganie*)​​​​​​​

Arbitrase meringankan beban pekerjaan pengadilan, namun diperlukan sinergitas yang tinggi antara lembaga peradilan umum dan arbitrase termasuk dalam peningkatan pemahaman terhadap bidang masing-masing.

Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pasal 3 UU Arbitrase ditegaskan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 undang-undang tersebut menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dimuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri (PN). Ketentuan tersebut tidak dapat diartikan lain kecuali bahwa persengketaan perdata yang timbul di bawah perjanjian yang mengandung klausul arbitrase hanya dapat diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase dan bahwa PN yang menerima permohonan untuk pemeriksaan perkara wajib menolak atau menyatakan tidak berwenang. Adalah menarik untuk mengkaji mengapa terdapat hakim yang menyatakan berwenang untuk memeriksa perkara pada perjanjian yang tunduk pada klausul arbitrase.  

Perbedaan dan Waktu Perjanjian Arbitrase

Terdapat perbedaan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan kapan perjanjian arbitrase berakhir. Kecuali dinyatakan lain atau dibatasi dalam klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian atau disepakati kemudian oleh para pihak, semua perbedaan yang mengakibatkan timbulnya suatu sengketa dengan segala akibatnya akan diperiksa dan diputus melalui forum arbitrase.

Penyimpangan masih terdapat walaupun sudah jarang terlihat, terutama di industri asuransi kerugian (asuransi) khususnya, yang Penulis duga lebih sebagai akibat ketidaktahuan atas akibat yang dapat ditimbulkannya, lemahnya quality control pada bagian underwriting atau sebagai akibat tindakan copy paste penanggung sebagai penerbit polis dari polis yang berasal dari luar negeri.

Dalam klausul khusus tersebut, penyelesaian sengketa tentang penyebab klaim akan diperiksa oleh forum arbitrase sedangkan mengenai jumlah klaim (quantum) tidak diatur sehingga harus diselesaikan melalui PN. Akibatnya, terdapat dua jenis peradilan untuk satu perkara, yang akan menimbulkan beban biaya yang besar dan waktu yang panjang yang akan merugikan semua pihak. Sekiranya Tertanggung memahami konsekuensi dari ketentuan tersebut, tentu mereka akan menolak dari semula namun Tertanggung yang umumnya awam tentang ketentuan perjanjian asuransi tidak akan menyadarinya sampai terjadi persengketaan.

Pasal 10 UU Arbitrase menyatakan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak, pewarisan, berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga  dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase. Bahkan Pasal 10 huruf h UU Arbitrase menyatakan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Dengan demikian, jelaslah bahwa setiap perbedaan, kecuali yang disepakati secara tertulis untuk dikecualikan, termasuk tentang keabsahan atau batal tidaknya termasuk permohonan pembatalan suatu perjanjian, tidak dapat diputuskan sepihak dan forum arbitrase menjadi satu-satunya forum yang berhak memeriksa dan memutusnya. Akibatnya, adalah sangat janggal jika hakim menerima dan memeriksa permohonan di PN, misalnya, tentang pembatalan perjanjian pada perjanjian yang mengandung klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Apa yang melandasinya jika terjadi demikian?

Bahkan, jauh sebelum diundangkannya UU Arbitrase, yurisprudensi Mahkamah Agung RI, kewenangan absolut forum arbitrase dapat pula dirujuk kepada Putusan MA No. 2179K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal ada klausula arbitrase, pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dan konvensi maupun rekonvensi”. Begitu juga Putusan MA No. 225 k/Sip/1976, tanggal 30 September 1983 telah menyatakan bahwa: “Dengan adanya perjanjian klausul arbitrase, penyelesaian perselisihan adalah kewenangan absolut arbitrase, meskipun para pihak tidak mengajukan eksepsi dalam pemeriksaan persidangan”.

 

Perkara yang Mengandung Klausul Arbitrase

Selain dari putusannya bersifat final dan mengikat kedua pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa melalui arbitrase memberikan berbagai kelebihan dibanding melalui PN, misalnya mulai dari adanya kepastian jangka waktu, kepastian jumlah biaya dan adanya hak pada masing-masing pihak untuk memilih sendiri arbiter (hakim swasta) untuk memeriksa dan memutus perkaranya. Kedua arbiter lalu memilih Ketua Majelis Arbitrase. Pertimbangan dalam pemilihan arbiter tidak lepas dari penilaian masing-masing pihak atas kompetensi calon arbiter atas bidang yang dipersengketakan.

Sebaliknya, sifat dan kedudukan hakim yang menangani semua jenis perkara, tidak dipilih oleh pihak yang bersengketa sangat memungkinkan bahwa hakim yang ditunjuk tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang yang dipersengketakan. Besar kemungkinan pula terdapat kesenjangan pengetahuan hakim tentang arbitrase dan ketentuan hukum serta kebiasaan dalam bidang usaha yang dipersengketakan, misalnya untuk bidang jasa keuangan seperti asuransi yang bersifat khas. Akibatnya, dalam pertimbangannya, terdapat kemungkinan hakim menerapkan putusan atas pertimbangan yang tidak tepat yang menimbulkan kerugian pada satu atau para pihak.

Sebagai contoh dalam perkara asuransi, sejak hari pertama belajar asuransi, instruktur akan mengatakan bahwa ketentuan yang diketik dan ditempel ke polis atau ditambahkan sebagai endorsemen, berkedudukan menggantikan (supercede) ketentuan tentang hal yang sama atau berjudul sama yang dicetak dalam polis. Namun, peran pengawasan yang lemah pada penanggung tertentu, dapat menimbulkan salah kaprah berupa penerbitan beberapa klausul atau ketentuan tentang hal yang sama dibuat berapa kali, misalnya klausul penyelesaian sengketa pertama yang dicetak di polis, disusul oleh adanya klausul sejenis sebagai klausul kedua yang kemudian, entah apa alasannya, terdapat penanggung menerbitkan pula klausul penyelesaian sengketa ketiga! Logika hukum dan kebiasaan dalam praktik asuransi yang mengikat tentu mengatakan bahwa yang berlaku adalah yang ketiga. Apa gunanya klausul baru sekiranya yang berlaku adalah klausul terdahulu. Tampak di sini penanggung, apapun alasannya, telah menimbulkan kerancuan bagi pihak awam dan akibatnya jika hakim tidak memiliki pemahaman tentang perjanjian dan kebiasaan asuransi, mungkin saja hakim dapat melakukan kekeliruan dan tidak memahami bahwa klausul penyelesaian sengketa yang berlaku adalah yang terakhir.   

Sikap yang mungkin timbul sebagai akibat dari kekeliruan atau ketidakpahaman terhadap ketentuan dan praktik dalam perjanjian asuransi dapat berakibat fatal dan merugikan salah satu pihak. Sebagai contoh, dalam klausul penyelesaian sengketa standar Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), apabila para pihak gagal menyelesaikan perselisihan secara musyawarah mufakat, polis memberikan hak kepada tertanggung, untuk memilih antara penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau melalui PN dan bahwa pilihan tertanggung mengikat penanggung sepenuhnya. Tentu akan timbul pertanyaan besar jika PN tetap memeriksa perkara padahal tertanggung telah menggunakan haknya untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase, bahkan ketika persidangan arbitrase telah berlangsung.

Sebagai contoh, dalam suatu perkara ditemukan bahwa hakim PN tetap menyatakan berwenang untuk memeriksa perkara yang sama, menolak eksepsi tertanggung tentang kewenangan absolut forum arbitrase dan hakim menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa klausul pertama memberikan penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat, klausul kedua adalah penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan klausul ketiga mengandung penyelesaian melalui PN dan hakim menolak eksepsi tertanggung tentang kewenangan absolut lembaga arbitrase dengan alasan bahwa berdasarkan klausul ketiga penanggung berhak membawa perkara ke PN. Padahal masing-masing dari ketiga klausul penyelesaian sengketa tersebut memberikan hak absolut kepada tertanggung untuk memilih antara forum arbitrase dan PN, sesuai dengan standar yang berlaku berdasarkan ketentuan AAUI dan tertanggung telah memberitahu penanggung secara tertulis bahwa tertanggung memilih forum arbitrase. Apakah kekeliruan yang fatal ini mencerminkan adanya kesenjangan pemahaman pada hakim yang memeriksa perkara?  

Apabila setelah mendengar dalil-dalil hukum yang secara tegas meniadakan kewenangannya untuk memeriksa suatu perkara yang tunduk kepada perjanjian arbitrase, hakim masih menyatakan berwenang untuk memeriksa perkara, maka hakim harus mampu dalam pertimbangan hukumnya mencerminkan logika dan dasar hukum atas sikapnya.

Arbitrase meringankan beban pekerjaan pengadilan. Diperlukan sinergitas yang tinggi antara lembaga peradilan umum dan arbitrase termasuk dalam peningkatan pemahaman terhadap bidang masing-masing, termasuk tentang adanya kewenangan absolut forum arbitrase jika perjanjian memuat klausul penyelesaian perselisihan melalui arbitrase. Terakhir, untuk menegakan keadilan dan kepastian hukum, diperlukan jaminan bahwa peran saluran perlindungan oleh lembaga-lembaga pengawas atas kepentingan pihak yang dapat dirugikan akibat kekeliruan, keawaman atau alasan-alasan lain dapat berfungsi dengan baik.

*)Dr. Junaedy Ganie, FCBArb, MCIArb, seorang Arbiter Senior.


Thursday 14 May 2020

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan sebagai Saksi Fakta - Arbitration


Link to the article at hukumonline.com:

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan sebagai Saksi Fakta - Arbitration


Senin, 11 May 2020

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan Sebagai Saksi Fakta di Sidang Arbitrase
Oleh: Junaedy Ganie*)

Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa tidak memperoleh keadilan.

Sewaktu menjadi pembicara dalam suatu forum di Jakarta pada awal tahun 2020, seorang peserta menanyakan apakah forensic expert yang akan dihadirkan dalam suatu perkara penyelesaian persengketaan melalui arbitrase akan dihadirkan sebagai Ahli atau Saksi Fakta. Tambahan informasi adalah bahwa forensic expert tersebut telah bekerja untuk kepentingan penyelesaian klaim asuransi dan ditunjuk untuk melengkapi hasil penyelidikan yang dilakukan oleh loss adjuster yang ditunjuk oleh perusahaan asuransi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan telah mendorong saya mengembangkannya lebih jauh dalam tulisan ini.

Saya menjawab bahwa forensic expert bekerja berdasarkan keahliannya dan melakukannya setelah kejadian timbul (post factum), misalnya dalam klaim asuransi kebakaran, forensic expert baru terlibat setelah kebakaran padam. Forensic expert bukan pihak yang melihat langsung, mengetahui apa yang telah terjadi atau fakta yang ada sebelum timbul suatu klaim ataupun persengketaan klaim asuransi sebagaimana halnya dengan definisi Saksi Fakta.

Oleh karena itu, saya menyatakan bahwa forensic expert seharusnya dihadirkan sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. Sebagai pihak yang dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan berdasarkan keahliannya setelah timbul kejadian yang menjadi penyebab terjadinya sengketa, tidak ada pilihan yang tepat selain mendudukan forensic expert sebagai Ahli. Secara jelas, forensic expert tidak memenuhi definisi Saksi Fakta di atas.

Saya juga menyatakan bahwa kedudukan yang sama juga berlaku bagi loss adjuster, yaitu untuk dihadirkan dalam suatu persidangan arbitrase. sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. Alasan yang sama berlaku, yaitu dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan setelah kejadian, misalnya tentang penyebab kebakaran, menghitung jumlah kerugian. Loss adjuster tidak melihat, mengetahui atau terlibat apapun sewaktu kejadian terjadi, misalnya tidak mengetahui langsung jam berapa kebakaran timbul, berapa lama kebakaran berlangsung dan bagaimana kronologisnya, dari mana sumber api muncul, bagaimana proses pemadaman kebakaran berlangsung.

Loss adjuster dapat mengumpulkan informasi tersebut dari berbagai sumber setelah kejadian. Tugas loss adjuster adalah, berdasarkan keahliannya, memberikan opini dan rekomendasi dalam laporannya kepada penanggung, misalnya tentang apa penyebab kebakaran, apakah penyebab tersebut termasuk dalam lingkup pertanggungan polis dan berapa jumlah kerugian yang timbul dan berapa yang berhak diganti berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan polis.

Selanjutnya, apakah isi laporan yang disusun oleh loss adjuster atau forensic expert merupakan fakta? Penilaian loss adjuster atas keadaan yang telah terjadi (post factum) berdasarkan keahliannya belum merupakan suatu kebenaran yang mutlak, dapat berbeda dengan pendapat ahli yang lain, tergantung tingkat keahlian, pengalaman dan kehati-hatian masing-masing ahli. Sebagaimana dikemukakan di atas, kehadiran tenaga ahli pendukung seperti forensic expert dan ahli-ahli lain diperlukan terutama untuk suatu kejadian yang bersifat kompleks atau ketika loss adjuster yang ditunjuk memiliki keterbatasan, baik dalam keahlian maupun ketersediaan waktunya (availability). Oleh karena itu pendapat ahli tersebut dapat diperdebatkan dan untuk dipertimbangkan atau dikesampingkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa perkara.

Apa yang terjadi jika Ahli dihadirkan sebagai Saksi Fakta dan sebaliknya?
Adalah hak masing-masing pihak apakah akan mengajukan Ahli sebagai Saksi Fakta dalam suatu persidangan atau jika hendak mengajukan Saksi Fakta sebagai Ahli. Di sinilah para arbiter harus berperan untuk memberikan masukan kepada para pihak tentang implikasi jika terjadi salah pengajuan kapasitas. Persidangan akan kehilangan esensi jika terjadi kesalahan kapasitas. Jika kehadiran akan menimbulkan konflik kepentingan atau tidak akan mendatangkan manfaat yang wajar, arbiter atau majelis harus menolak, baik dengan atau tanpa adanya protes dari pihak lawan berperkara. Di sini perlu dibedakan antara ahli yang dihadirkan untuk memberikan keahlian teoritis dalam bidangnya dengan ahli yang menyusun laporan ahli yang menjadi materi pokok persengketaan.

Memang ada kalanya ahli dihadirkan pihak sebagai saksi fakta di persidangan. “Saksi Fakta” tersebut tidak akan memberikan manfaat banyak bagi pihak yang mengajukan dan arbiter atau majelis arbitrase sebab yang akan terjadi umumnya. Pertama, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan pihak yang mengajukan tidak dapat lari jauh dari tentang keahlian dan pendapat “saksi fakta” sehingga sidang akan terganggu interupsi pihak lawan yang protes atas pertanyaan-pertanyaan tentang keahlian dan pendapat “saksi fakta”.

Kedua, “saksi fakta” tidak dapat memberikan banyak informasi tentang fakta sebelum persengketaan timbul. Sebagai contoh, jika ahli yang menyediakan jasa meneliti dan mengevaluasi penyebab jalan longsor dihadirkan sebagai saksi fakta, maka akan sangat terbatas yang dapat dikemukakannya di persidangan sebab hal-hal yang dilihat, diketahui setelah persengketaan bukan kapasitas saksi fakta. Arbiter atau majelis akan lebih bijaksana untuk menolak kehadiran ahli yang hendak diajukan sebagai saksi fakta sebagaimana patutnya menolak menghadirkan ahli yang seharusnya didudukan sebagai saksi fakta sebab dapat menimbulkan konflik kepentingan atau penolakan. Terdapat tembok pemisah yang jelas diantara keduanya.

Bagaimana status laporan Ahli yang menjadi pokok persengketaan jika Ahli tersebut tidak dihadirkan untuk verifikasi atau dihadirkan sebagai Saksi Fakta?
Sebagaimana dikemukakan di atas, pendapat atau isi laporan yang disusun oleh loss adjuster atau ahli apapun yang menyediakan jasanya untuk melengkapi jasa loss adjuster bukan merupakan kebenaran mutlak atau fakta tetapi pendapat yang disusun berdasarkan keahlian sehingga dapat berbeda dengan pendapat ahli yang lain, apapun alasannya.

Oleh karena itu, arbiter perlu menguji dan menggali kebenaran dengan menghadirkan loss adjuster atau ahli-ahli lain yang pendapatnya yang menjadi bagian dari dasar laporan loss adjuster. Para arbiter juga perlu memperhatikan dan mempertimbangkan argumentasi hukum dan teknis pihak yang menolak kebenaran isi laporan dan pendapat ahli atau ahli-ahli lain yang dihadirkan pihak lawan yang berbeda dengan pendapat loss adjuster penyusun laporan sebelum memutus suatu perkara.

Adalah lumrah bahwa para arbiter belum tentu sangat ahli dalam bidang yang dipersengketakan sehingga dalam mengambil putusan akan mendengarkan pendapat ahli atau ahli-ahli dari kedua belah pihak. Bahkan menunjuk sendiri ahli yang diperlukan atas biaya para pihak. Selanjutnya, jika laporan ahli yang disusun loss adjuster sebagai rekomendasi bagi penanggung ditolak oleh pihak lawan dan menjadi materi pokok persengketaan, apakah arbiter atau majelis dapat menjadikannya sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memutus perkara tanpa menghadirkan ahli penyusun laporan di persidangan untuk melakukan verifikasi atas kebenarannya dan memberikan hak kepada lawan untuk melakukan pemeriksaan silang (cross-examination)? Apakah para arbiter akan memperoleh dasar pertimbangan hukum yang kuat untuk memutus jika loss adjuster tidak dihadirkan sebagai ahli?

Demikian juga halnya, jika ahli yang menyusun laporan pendukung yang menjadi dasar material bagi loss adjuster untuk membuat pendapat dan rekomendasinya kepada penanggung tidak dapat berbicara tentang kejadian yang post factum dan tidak dapat memberikan opini sebab dihadirkan sebagai saksi fakta? Apabila laporan ahli seperti loss  adjuster yang menjadi pokok persengketaan telah dijadikan dasar pertimbangan hukum tanpa verifikasi atas laporan tersebut di persidangan oleh arbiter/majelis arbitrase untuk menolak atau mengabulkan tuntutan arbitrase suatu pihak, terdapat risiko yang besar bahwa penuntut atau pihak yang dirugikan tidak mendapat keadilan yang menjadi haknya dalam persidangan, terlepas apapun putusan akhir dari arbiter. Arbiter atau majelis arbitrase akan sulit untuk berbuat adil atau tampak adil apabila tidak melakukan verifikasi atas isi laporan loss adjuster yang ditolak pihak lawan yang justru menjadi materi pokok persengketaan.   

Apakah arbiter dapat menyampingkan argumentasi salah satu pihak dan pendapat ahli yang diajukan salah satu pihak tanpa memuatnya dalam pertimbangan hukum?
Arbiter tunggal atau majelis arbitrase dapat saja mengenyampingkan pendapat satu atau lebih ahli tanpa memuat dalam pertimbangan hukumnya apabila terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang kuat yang dimuat dalam pertimbangan hukum yang dengan sendirinya akan membantah pendapat berbeda dari ahli lain.

Namun, ketika laporan yang menjadi pokok persengketaan tidak diverifikasi di persidangan, tidak ada kesempatan pihak lawan untuk melakukan pemeriksaaan silang atas keterangan ahli yang menyusun laporan (atau pendapat ahli pendukung ahli utama) yang isinya menjadi sumber persengketaan dan ahli pendukung tidak dapat berbicara banyak sebab didudukan sebagai saksi fakta, arbiter atau majelis arbitrase tidak patut untuk menafikan keberadaan pendapat ahli yang berbeda dengan isi laporan yang menjadi pokok persengketaan tanpa mengemukakan bantahan yang lengkap dan memiliki dasar yang kuat dalam pertimbangan hukumnya.

Tanpa melakukannya, laporan yang tidak diverifikasi tersebut tidak patut untuk menjadi dasar pengambilan putusan. Keadaan akan menjadi semakin tidak patut apabila argumentasi hukum dan teknis pihak yang dikalahkan tidak dibahas dan dipertentangkan dengan laporan yang menjadi dasar pertimbangan hukum arbiter. Akibatnya, pihak yang dikalahkan juga tidak akan dapat mengerti dasar penolakan sehingga dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi citra arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang adil.

Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa tidak memperoleh keadilan. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang kalah untuk menuntut keadilan sekiranya merasa pengadil telah lalai sementara arbiter memiliki hak imunitas di bawah pasal 21 No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) dan putusan arbitrase bersifat final and binding?

Imunitas arbiter akan gugur apabila dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan arbiter atau majelis arbitrase. Meskipun bukan merupakan obyek dari pasal 70 UU Arbitrase, atas dugaan yang terkait langsung substansi yang menjadi dasar timbulnya persengketaan, seyogyanya tersedia pintu untuk melakukan upaya pembatalan ke Pengadilan Negeri. Namun, hal ini akan mengalahkan semangat bahwa arbitrase akan menyelesaikan persengketaan secara imparsial, cepat dan adil sebab para pihak harus memasuki ranah persengketaan panjang yang memerlukan waktu dan dana yang bisa sangat besar. Mungkin sudah waktunya Kode Etik Arbiter pada lembaga arbitrase manapun di Indonesia mengatur pasal untuk mengujinya apabila dalam proses pengambilan putusan arbiter melakukan kelalaian.

*)Dr. Junaedy Ganie, FCBArb, MCIArb, ANZIIF (Fellow), AAIK (HC), CIP, ChFC, CLU, adalah Arbiter Senior.



Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.




Monday 30 March 2020

OJK dan Rejuvenasi Asuransi (FSA and Insurance Rejuvenation)

I wrote the article below in Kompas Daily on 24 March 2020. It discusses how the Financial Service Authority (OJK) may collaborate with other stakeholders to rejuvenate the insurance industry in Indonesia. 

You may find a link in Kompas Daily to the English version which is available to its subscribers of premium contents: OJK and Insurance Rejuvenation




Thursday 5 March 2020

JIWASRAYA, NASIBMU KINI - Kebijakan Publik

Dear All,
The article below was published in Kompas daily on 9 January 2020. The topic is still quite relevant today. For easy reading, I have also prepared the typewritten version under the printed article.
Warmest regards


Kompas, Opini, 9 Januari 2020




JIWASRAYA, NASIBMU KINI
Junaedy Ganie
Pengamat Kebijakan Publik, Pakar Hukum & Asuransi, Praktisi Bisnis

Bisnis asuransi merupakan bisnis kepercayaan yang produknya masih harus dijual, di tawarkan melalui berbagai strategi dengan perjuangan berat. Belum didatangi pembeli perusahaan asuransi harus berjuang keras memperoleh kepercayaan masyarakat atas kemampuannya memenuhi janji di masa depan, yaitu ketika klaim diajukan. Di sinilah, faktor modal, reputasi, produk dan kualitas layanan, kompetensi manajemen, pengawasan internal dan eksternal, teknologi, serta sumber daya manusia (SDM) berperan sangat besar.  
Didirikan pada tahun 1859 bernama NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatchappij van 1859 menjadikan Jiwasraya perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN), Jiwasraya menikmati sejumlah privilege yang tak dimiliki pesaing non-BUMN. Tinggi kepercayaan BUMN lain melakukan sinergi penempatan asuransi dengan Jiwasraya. Modal, bukan soal sebab di mata masyarakat luas, kedudukan sebagai BUMN memberikan jaminan pemerintah : tidak akan pernah bangkrut !
Faktor-faktor daya saing tadi bukan beban bagi Jiwasraya dalam persaingan. Pembeli polis Jiwasraya, melalui 7 bank termasuk bank BUMN dan bank-bank asing, mempercayakan keamanan dana mereka. Per Desember 2019 ada 17,000 pemegang polis dari 7 juta nasabah Jiwasraya, termasuk 470 warga negara Korea Selatan. Namun, BUMN ini telah menimbulkan nestapa kepada para nasabah yang ditunggak klaimnya, mencapai Rp 802 milyar per Oktober 2018 dan Rp 12.4 triliun per Desember 2019. Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin, kerugian negara mencapai Rp 13.7 triliun per September 2019, dan bahkan sebenarnya lebih besar lagi. Ini rekor tersendiri.

Dalam 10 - 15 tahun terakhir, industri asuransi jiwa mengalami pertumbuhan fenomenal, bahkan sempat bertahun-tahun tumbuh dua digit, terutama didukung saluran bancassurance dan sejumlah produk yang mengandung komponen investasi, bukan polis proteksi umumnya. Pertumbuhan yang tinggi, peningkatan kemakmuran agen-agen asuransi seiring dengan meningkatnya minat membeli asuransi membuat profesi agen asuransi berhasil menarik berbagai lapisan masyarakat. Potensi bisnis asuransi jiwa yang sangat menjanjikan di Indonesia membuat investor dari banyak negara berlomba-lomba membawa dana besar memasuki sektor asuransi Indonesia.
Perusahaan asuransi jiwa seperti tak ada matinya dan selalu cepat bangkit kembali dari dampak penurunan atau gejolak ekonomi.  Lalu, apa yang terjadi dengan Jiwasraya yang perusahaan dan direksinya bertabur penghargaan? Keberhasilan Jiwasraya menjual polis JS Saving Plan sempat membuat pesaing kelabakan. Pesaing mungkin menyimpulkan strategi itu hanya Jiwasraya, sebagai BUMN, yang dapat melakukannya!
Seperti selimut pelindung hanya BUMN yang beruntung memilikinya. Menoleh ke belakang, sebagai orang yang ketika memimpin transformasi korporasi menyeluruh di sebuah perusahaan asuransi jiwa anak BUMN, menghentikan penjualan baru atas 38 produk, terutama yang memberi jaminan keuntungan tinggi. Ini sebagai antisipasi atas ketakpastian dan tren penurunan suku bunga global. Terkuaknya kegagalan Jiwasraya membayar klaim jatuh tempo Rp 802 milyar pada Oktober 2018 memberikan jawaban. Menyedihkan nasib yang menimpa Jiwasraya yang konon nilai ekuitasnya negatif Rp 23.92 triliun kuartal III-2019, menyusul kegagalan Asuransi Jiwa Bumiputera 1912, pelopor asuransi jiwa anak bangsa.

Akuntabilitas kepemimpinan dan pengawasan
Sementara menunggu langkah otoritas terkait nasib klaim nasabah dan masa depan Jiwasraya, mudah-mudahan pemikiran dari penulis yang lebih dari 30 tahun mendalami bidang perasuransian dapat menjadi masukan bagi semua pemangku kepentingan.
Pertama, seleksi jajaran manajemen BUMN. Seringnya gonta ganti kepemimpinan BUMN terutama BUMN besar, baik saat di bawah menteri yang sama maupun setelah terjadi penggantian menteri, menimbulkan tandatanya. Selain soal kesinambungan strategi korporasi, apakah seleksi telah dilakukan secara benar? Apakah kesuksesan usaha saja tak cukup, apakah kesalahan, kegagalan menyingkirkan? Adakah peran tekanan politik atas seleksi dan kebijakan dan pengelolaan usaha. Ini tidak bertujuan mengecilkan arti keberhasilan kepemimpinan beberapa BUMN.
Kedua, efektifitas peran dewan komisaris yang memberi nasihat dan mengawasi pengelolaan oleh direksi sangat tergantung latar belakang dan adanya kompetensi yang saling melengkapi di antara dewan komisaris. Jika didominasi oleh penunjukan yang bersifat politis semata, perannya sulit berjalan baik. Peran dewan komisaris adakalanya menjadi “pengetuk pintu” hubungan dengan pihak ketiga mungkin tetap diperlukan. Namun, kesesuaian atas kebutuhan perseroan dan keseimbangan fungsi adalah keniscayaan.
Tanpa kombinasi itu, rapat direksi dan dewan komisaris dapat menjadi formalitas semata. Dalam kasus Garuda, apa yang akan terjadi pada pembukuan labanya dan bonus pengurus jika dua anggota dewan komisaris tidak menolak laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Bagaimana pula akuntabilitas penurunan laba Jiwasraya tahun 2017 yang dari 2.4 triliun turun drastis menjadi Rp 360 milyar?
Ketiga, komite perangkat direksi dan perangkat dewan komisaris yang berfungsi. Dalam kasus Jiwasraya, patut dipertanyakan apakah tiga komite direksi, yaitu Produk, Investasi dan Risiko, telah berperan efektif. Demikian juga halnya peran tiga komite perangkat dewan komisaris, yaitu Audit, Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi & Nominasi, termasuk adanya pendekatan six eyes dengan adanya anggota komite qualified dari eksternal.
Keempat, pertemuan antara kebutuhan pelaku usaha, konsumen, dengan peran regulasi dan peran pengawasan Otoritas Jasa Keuangan OJK dengan tujuan sama, yaitu kemajuan usaha, keseimbangan kepentingan bagi semua pelaku usaha terkait, akuntabilitas direksi, dewan komisaris dan komite pendukungnya, akuntabilitas lembaga pendukung termasuk aktuaris dan Kantor Akuntan Publik,  perlindungan konsumen, jaminan keandalan produk, kecukupan cadangan, ketegasan sanksi atas keterlambatan atau gagal bayar, dan kepentingan nasional.
Adalah penting memastikan kompetensi, pengalaman dan kelengkapan infrastruktur SDM otoritas terkait tidak kalah dengan kemampuan pelaku industri yang diawasi. Peran DPR yang dari waktu ke waktu memanggil Pengurus BUMN, interaksi langsung Kementerian BUMN dan peran pengawasan oleh pemegang saham, keberadaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sebenarnya membuat infrastruktur pengawasan BUMN telah berlapis.  

Pembiaran?
Kelima, apabila borok Jiwasraya sudah ada sejak lama, apakah selama ini terjadi pembiaraan atau tak ada kepemimpinan, di tingkat mana pun berani bersikap, membuka permasalahan, merembukkan solusi terbaik ketika masalah belum sebesar sekarang? Akan lebih celaka lagi jika solusi yang dipilih justru mengandung risiko lebih besar yang di mata ahli hanya akan menjadi bom waktu dan memperbesar petaka. Bagaimana kegagalan dalam rangkaian proses perencanaan, pengelolaan, rencana usaha dan pengawasan atau sejak dari desain produk sampai ke pengawasan akhir terjadi?
Keenam, tindakan nyata lahir dari kemauan politik yang kuat untuk mengharmonisasi perbedaaan ketentuan antara UU BUMN dan UU Kekayaan Negara tentang status penyertaan modal dari kekayaan negara. Kapan dianggap sebagai tindak pidana dan murni strategi korporasi yang prudent berdasarkan standar, kondisi dan nilai-nilai saat keputusan korporasi diambil. Tanpa kepastian, pengurus BUMN akan tetap dihantui risiko merugikan kekayaan negara yang timbul dari tindakan kebijakan korporasi atau, sebaliknya, terjadi kerugian negara tanpa pertanggungjawaban.
Langkah pemerintah menangani kasus BUMN ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas jaminan asuransi secara umum dantanggung jawab pemerintah sebagai pemegang saham. Masyarakat Indonesia telah dewasa dan mampu memilah bahwa kegagalan Jiwasraya tak serta-merta mencerminkan risiko kegagalan pada sektor asuransi jiwa secara umum. Namun, belum adanya pembentukan Perusahaan Penjamin Polis sebagaimana Lembaga Penjamin Simpanan pada perbankan, dan apapun penyebab gagal bayar Jiwasraya, jelas bukan karena kesalahan nasabah telah mempercayakan uang mereka pada Jiwasraya. Sebagaimana nasabah yang menyimpan uang di bank BUMN, hak nasabah perlu diutamakan.
Entahlah ada kelalaian bank penjual dalam memberikan penjelasan ke calon nasabah. Jika pilihannya likuidasi, tentu telah dipikirkan secara matang. Dalam upaya penyelamatan AJB Bumiputera, bentuknya sebagai Usaha Bersama (Mutual) dapat dianggap sebagai hambatan, Jiwasraya yang bukan sebuah Usaha Bersama mungkin menyembunyikan tantangan tersendiri. 
Pemberian bunga berjalan sebuah langkah antara yang baik. Akan menarik bentuk tanggung jawab terhadap klaim yang timbul, sekaligus atau bertahap sesuai kemampuan dan pilihan terbaik yang tersedia, termasuk melahirkan Jiwasraya Putera. Jika holding asuransi, apakah sebatas sesama BUMN atau melangkah jauh melibatkan berbagai perusahaan asuransi jiwa, anak BUMN, seperti BNI Life, BRI Life, Axa Mandiri, Inhealth.
Apapun, kini Jiwasraya di tangan kepemimpinan jago-jago merger dan akuisisi (M&A) dan restructuring yang tentu sangat menghargai efektifitas kepemimpinan, pengawasan dan peraturan. Pemerintah pernah melahirkan Reindo menggantikan IndoRe yang mengalami kesulitan keuangan, sesama perusahaan reasuransi BUMN. Ketika itu tidak melibatkan nasabah secara langsung dan perusahaan-perusahaan asuransi yang mereasuransikan kepada IndoRe tidak diketahui gagal bayar kepada nasabah akibat non aktifnya IndoRe. Wallahualam.
Queenstown, New Zealand, 26 Desember 2019
Dr. Junaedy Ganie


Sunday 14 October 2018

Siapa Sanggup Memimpin BUMN ? - Kebijakan Publik



OPINI: Siapa Berani Duduk di Kursi Panas Bos BUMN?

07 Oktober2018
13:26 WIB
Oleh : Junaedy Ganie, Pemerhati Kebijakan Publik, Pakar Hukum & Praktisi Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Pergantian kepemimpinan BUMN lazim terjadi tetapi pergantian di tengah jalan tentu menimbulkan tanda tanya. Terkini terjadi pada jajaran pengurus Garuda dan Pertamina. Beberapa nama besar yang berhasil dan sempat dikagumi masyarakat tiba-tiba diganti atau bahkan menjadi tersangka. Penahanan Karen Agustiawan, mantan Dirut Pertamina, memperkuat rasa ingin tahu masyarakat.
Pada acara Executive Center for Global Leadership 4 Juli 2018, Meneg BUMN Rini Suwandi mengemukakan lima kompetensi utama yang harus dimiliki direksi BUMN.
Pertama, dapat membangun hubungan yang strategis bagi pemangku kepentingan. Kedua, tajam dalam melihat peluang bisnis. Ketiga, harus bisa menjadi agen perubahan. Keempat, dapat mengambil keputusan selaras dengan tujuan strategis organisasi. Kelima, berani melakukan investasi jangka panjang untuk kelangsungan perusahaan.
Tulisan ini mencoba membahas hubungan sikap pemerintah dan efektifitas kepemimpinan BUMN di era yang penuh tantangan ini, termasuk ancaman model bisnis Disruptive digital innovation berlandaskan inovasi teknologi yang memungkinkan pendatang baru dan usaha kecil mengalahkan korporasi besar yang telah mapan.
Kriteria pertama mungkin paling rumit mengingat pemangku kepentingan BUMN meluas sampai ranah birokrasi dan politik dan sulitnya menentukan ukuran keberhasilan. Ketajaman melihat peluang bisnis dapat diukur dari fokus bisnis, ekspansi, pertumbuhan dan prestasi keuangan. Kedudukan sebagai agen pembangunan adalah ciri khas yang membedakan BUMN dari swasta. Dampak keuangan yang timbul membuat pentingnya ukuran prestasi yang jelas. Pengambilan keputusan selaras dengan tujuan strategis organisasi antara pengurus BUMN dan pemerintah pada kriteria keempat merupakan keniscayaan. Ada tidaknya intervensi sangat berpengaruh. Komitmen dan konsitensi dituntut dari keduanya. Kriteria terakhir, keberanian melaksanakan investasi jangka panjang, termasuk dalam kesediaan menerapkan strategi jangka panjang, adalah komitmen untuk mencapai hasil berkelanjutan dari memproduksi barang atau jasa. Strategi tujuan berjangka pendek berisiko menimbulkan siklus usaha yang tidak stabil yang bisa menyulitkan era pemimpin pengganti. Pemimpin harus bersedia membangun legacy yang hasilnya mungkin tidak langsung jadi. Nilainya tidak kalah dari setoran dividen.
Secara umum, BUMN memerlukan pemimpin visioner, kesiapan memimpin transformasi korporasi, kemampuan membangun dan memberdayakan keunggulan dalam kecepatan, kreativitas, inovasi dan pemberdayaan SDM secara optimum serta mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan dengan baik.
Kepemilikan negara membuat BUMN yang dikelola dengan baik dapat berhasil. Sebaliknya, kepemilikan negara juga dapat berisiko membuatnya seolah-olah tanpa pemilik atau dimiliki kelompok tertentu saja.
Menurut pasal 1 UU No. 19/2003 tentang BUMN, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kedudukan dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris BUMN mutatis mutandis kurang lebih sama dengan UU PT, sebagai entitas tersendiri dan subyek hukum yang tunduk kepada UU PT. Namun, modal yang berasal dari kekayaaan negara menimbulkan irisan dan persinggungan antara UU PT dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (UU KN). Menurut UU KN, perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki pemerintah pusat. Tanpa batas minimum. Lalu, rezim KN kini masih menganut paham bahwa ‘kekayaan negara yang dipisahkan’ tetap merupakan ‘keuangan negara’.

Persimpangan Pemahaman 
Akibat hukumnya, kerugian pada ‘keuangan negara’ akan terkait dengan UU Tipikor. Disini tampak persimpangan pemahaman ‘kerugian korporasi’. Dalam perpektif UU BUMN, ia sebagai entitas yang melakukan tindakan keperdataan yang mengandung ‘risiko bisnis’.
Namun bagi UU KN adalah ‘kerugian keuangan negara’ yang mengganggu kepentingan publik, sehingga termasuk lingkup tindak pidana meski mungkin penyebabnya bersifat prosedural. Padahal, negara tidak bertanggung jawab atas kerugian pihak ketiga akibat tindakan BUMN yang bertindak sebagai subyek hukum perdata. Contoh lain, menurut pasal 4 UU BUMN, pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi berdasarkan sistem APBN tetapi pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Namun menurut UU KN, Menteri Keuangan membina dan mengawasi perusahaan negara.
Perbedaan logika hukum antar UU telah menyebabkan beberapa sisi dari pengelolaan BUMN kita berbeda dengan best practice di negara lain, seperti pada Temasek, dan mungkin juga Khasanah, yang dikelola layaknya suatu korporasi an sich tanpa melihat unsur kepemilikan negara. Kekhawatiran atas ketidakjelasan dan hambatan birokrasi mendorong pemimpin bersikap risk averse, menjaga status quo, tanpa terobosan berarti.
Tantangan besar dan risiko berhenti di tengah jalan perlu diimbangi penjaminan finansial seperti Asuransi Jabatan bagi Pengurus jika dihentikan sebelum masa jabatan berakhir dan Directors & Officers Insurance untuk melindungi dari risiko tuntutan hukum akibat tindakan dalam pengelolaan BUMN. Jaminan tersebut akan memperkuat kemandirian pengelolaan BUMN dan meningkatkan daya tarik BUMN bagi profesional yang kompeten.
Melihat tantangan dan risiko yang ada, berapa banyak yang sanggup mengemban tugas tersebut? Yang diperlukan bukan sekadar kompetensi dan integritas tetapi tekad dan tujuan yang jelas, menjadikannya tujuan dan tanggung jawab bersama, keteladanan, sikap yang tegas, konsistensi dan kepedulian untuk memberdayakan dan memanusiakan bawahan.
Jika betul kini banyak CEO BUMN orang keuangan mengingatkan ketika mereka yang berlatar belakang teknik, lalu orang pemasaran berkesempatan lebih besar menjadi CEO.
Pergeseran menunjukan adanya nilai-nilai yang berperan. Bandingkan dengan praktik organisasi tertentu di Jepang dimana CEO harus pernah memimpin SDM, karena dianggap aspek yang sangat penting.
Latar belakang harus selaras dengan target pencapaian tujuan organisasi, jangka pendek atau panjang. Tim manajemen tangguh memiliki kemampuan saling mengisi dan shared vision yang kuat dan kinerjanya tidak terganjal konflik internal. Keberhasilan kepemimpinan sudah tampak pada kinerja yang bagus dan keberhasilan sejumlah BUMN. Target akhir tentu From Good to Great.
Sangat manusiawi mengutamakan calon yang dikenal baik. Promosi orang dalam mengindikasikan proses suksesi yang baik. Tanpa succession plan dan sistem seleksi yang baik, kepengurusan BUMN dapat rawan konflik. Rekrutmen terbuka akan memperbanyak pilihan tetapi hanya akan menambah mata rantai, biaya dan merusak moral bangsa jika mekanisme seleksi salah. Hasil seleksi yang tidak pas dapat mengindikasikan perlunya meninjau keselarasan materi tes dengan kriteria calon, tujuan dan kebutuhan masing-masing BUMN dan apakah ada intervensi. Pencapaian kepemimpinan kuat Robby Djohan dengan kharisma menonjol ketika mentransformasi Garuda dan merger empat bank BUMN menjadi Bank Mandiri dan transformasi PT KAI di bawah Ignasius Jonan adalah contoh sukses yang dapat diulang. Terakhir, diperlukan kesinabungan penerapan kunci sukses agar keberhasilan berlanjut di kepemimpinan berikutnya.
*) Artikel dimuat di koran cetak  Bisnis Indonesia edisi Jumat (5/10/2018)