Thursday 5 March 2020

JIWASRAYA, NASIBMU KINI - Kebijakan Publik

Dear All,
The article below was published in Kompas daily on 9 January 2020. The topic is still quite relevant today. For easy reading, I have also prepared the typewritten version under the printed article.
Warmest regards


Kompas, Opini, 9 Januari 2020




JIWASRAYA, NASIBMU KINI
Junaedy Ganie
Pengamat Kebijakan Publik, Pakar Hukum & Asuransi, Praktisi Bisnis

Bisnis asuransi merupakan bisnis kepercayaan yang produknya masih harus dijual, di tawarkan melalui berbagai strategi dengan perjuangan berat. Belum didatangi pembeli perusahaan asuransi harus berjuang keras memperoleh kepercayaan masyarakat atas kemampuannya memenuhi janji di masa depan, yaitu ketika klaim diajukan. Di sinilah, faktor modal, reputasi, produk dan kualitas layanan, kompetensi manajemen, pengawasan internal dan eksternal, teknologi, serta sumber daya manusia (SDM) berperan sangat besar.  
Didirikan pada tahun 1859 bernama NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatchappij van 1859 menjadikan Jiwasraya perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN), Jiwasraya menikmati sejumlah privilege yang tak dimiliki pesaing non-BUMN. Tinggi kepercayaan BUMN lain melakukan sinergi penempatan asuransi dengan Jiwasraya. Modal, bukan soal sebab di mata masyarakat luas, kedudukan sebagai BUMN memberikan jaminan pemerintah : tidak akan pernah bangkrut !
Faktor-faktor daya saing tadi bukan beban bagi Jiwasraya dalam persaingan. Pembeli polis Jiwasraya, melalui 7 bank termasuk bank BUMN dan bank-bank asing, mempercayakan keamanan dana mereka. Per Desember 2019 ada 17,000 pemegang polis dari 7 juta nasabah Jiwasraya, termasuk 470 warga negara Korea Selatan. Namun, BUMN ini telah menimbulkan nestapa kepada para nasabah yang ditunggak klaimnya, mencapai Rp 802 milyar per Oktober 2018 dan Rp 12.4 triliun per Desember 2019. Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin, kerugian negara mencapai Rp 13.7 triliun per September 2019, dan bahkan sebenarnya lebih besar lagi. Ini rekor tersendiri.

Dalam 10 - 15 tahun terakhir, industri asuransi jiwa mengalami pertumbuhan fenomenal, bahkan sempat bertahun-tahun tumbuh dua digit, terutama didukung saluran bancassurance dan sejumlah produk yang mengandung komponen investasi, bukan polis proteksi umumnya. Pertumbuhan yang tinggi, peningkatan kemakmuran agen-agen asuransi seiring dengan meningkatnya minat membeli asuransi membuat profesi agen asuransi berhasil menarik berbagai lapisan masyarakat. Potensi bisnis asuransi jiwa yang sangat menjanjikan di Indonesia membuat investor dari banyak negara berlomba-lomba membawa dana besar memasuki sektor asuransi Indonesia.
Perusahaan asuransi jiwa seperti tak ada matinya dan selalu cepat bangkit kembali dari dampak penurunan atau gejolak ekonomi.  Lalu, apa yang terjadi dengan Jiwasraya yang perusahaan dan direksinya bertabur penghargaan? Keberhasilan Jiwasraya menjual polis JS Saving Plan sempat membuat pesaing kelabakan. Pesaing mungkin menyimpulkan strategi itu hanya Jiwasraya, sebagai BUMN, yang dapat melakukannya!
Seperti selimut pelindung hanya BUMN yang beruntung memilikinya. Menoleh ke belakang, sebagai orang yang ketika memimpin transformasi korporasi menyeluruh di sebuah perusahaan asuransi jiwa anak BUMN, menghentikan penjualan baru atas 38 produk, terutama yang memberi jaminan keuntungan tinggi. Ini sebagai antisipasi atas ketakpastian dan tren penurunan suku bunga global. Terkuaknya kegagalan Jiwasraya membayar klaim jatuh tempo Rp 802 milyar pada Oktober 2018 memberikan jawaban. Menyedihkan nasib yang menimpa Jiwasraya yang konon nilai ekuitasnya negatif Rp 23.92 triliun kuartal III-2019, menyusul kegagalan Asuransi Jiwa Bumiputera 1912, pelopor asuransi jiwa anak bangsa.

Akuntabilitas kepemimpinan dan pengawasan
Sementara menunggu langkah otoritas terkait nasib klaim nasabah dan masa depan Jiwasraya, mudah-mudahan pemikiran dari penulis yang lebih dari 30 tahun mendalami bidang perasuransian dapat menjadi masukan bagi semua pemangku kepentingan.
Pertama, seleksi jajaran manajemen BUMN. Seringnya gonta ganti kepemimpinan BUMN terutama BUMN besar, baik saat di bawah menteri yang sama maupun setelah terjadi penggantian menteri, menimbulkan tandatanya. Selain soal kesinambungan strategi korporasi, apakah seleksi telah dilakukan secara benar? Apakah kesuksesan usaha saja tak cukup, apakah kesalahan, kegagalan menyingkirkan? Adakah peran tekanan politik atas seleksi dan kebijakan dan pengelolaan usaha. Ini tidak bertujuan mengecilkan arti keberhasilan kepemimpinan beberapa BUMN.
Kedua, efektifitas peran dewan komisaris yang memberi nasihat dan mengawasi pengelolaan oleh direksi sangat tergantung latar belakang dan adanya kompetensi yang saling melengkapi di antara dewan komisaris. Jika didominasi oleh penunjukan yang bersifat politis semata, perannya sulit berjalan baik. Peran dewan komisaris adakalanya menjadi “pengetuk pintu” hubungan dengan pihak ketiga mungkin tetap diperlukan. Namun, kesesuaian atas kebutuhan perseroan dan keseimbangan fungsi adalah keniscayaan.
Tanpa kombinasi itu, rapat direksi dan dewan komisaris dapat menjadi formalitas semata. Dalam kasus Garuda, apa yang akan terjadi pada pembukuan labanya dan bonus pengurus jika dua anggota dewan komisaris tidak menolak laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Bagaimana pula akuntabilitas penurunan laba Jiwasraya tahun 2017 yang dari 2.4 triliun turun drastis menjadi Rp 360 milyar?
Ketiga, komite perangkat direksi dan perangkat dewan komisaris yang berfungsi. Dalam kasus Jiwasraya, patut dipertanyakan apakah tiga komite direksi, yaitu Produk, Investasi dan Risiko, telah berperan efektif. Demikian juga halnya peran tiga komite perangkat dewan komisaris, yaitu Audit, Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi & Nominasi, termasuk adanya pendekatan six eyes dengan adanya anggota komite qualified dari eksternal.
Keempat, pertemuan antara kebutuhan pelaku usaha, konsumen, dengan peran regulasi dan peran pengawasan Otoritas Jasa Keuangan OJK dengan tujuan sama, yaitu kemajuan usaha, keseimbangan kepentingan bagi semua pelaku usaha terkait, akuntabilitas direksi, dewan komisaris dan komite pendukungnya, akuntabilitas lembaga pendukung termasuk aktuaris dan Kantor Akuntan Publik,  perlindungan konsumen, jaminan keandalan produk, kecukupan cadangan, ketegasan sanksi atas keterlambatan atau gagal bayar, dan kepentingan nasional.
Adalah penting memastikan kompetensi, pengalaman dan kelengkapan infrastruktur SDM otoritas terkait tidak kalah dengan kemampuan pelaku industri yang diawasi. Peran DPR yang dari waktu ke waktu memanggil Pengurus BUMN, interaksi langsung Kementerian BUMN dan peran pengawasan oleh pemegang saham, keberadaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sebenarnya membuat infrastruktur pengawasan BUMN telah berlapis.  

Pembiaran?
Kelima, apabila borok Jiwasraya sudah ada sejak lama, apakah selama ini terjadi pembiaraan atau tak ada kepemimpinan, di tingkat mana pun berani bersikap, membuka permasalahan, merembukkan solusi terbaik ketika masalah belum sebesar sekarang? Akan lebih celaka lagi jika solusi yang dipilih justru mengandung risiko lebih besar yang di mata ahli hanya akan menjadi bom waktu dan memperbesar petaka. Bagaimana kegagalan dalam rangkaian proses perencanaan, pengelolaan, rencana usaha dan pengawasan atau sejak dari desain produk sampai ke pengawasan akhir terjadi?
Keenam, tindakan nyata lahir dari kemauan politik yang kuat untuk mengharmonisasi perbedaaan ketentuan antara UU BUMN dan UU Kekayaan Negara tentang status penyertaan modal dari kekayaan negara. Kapan dianggap sebagai tindak pidana dan murni strategi korporasi yang prudent berdasarkan standar, kondisi dan nilai-nilai saat keputusan korporasi diambil. Tanpa kepastian, pengurus BUMN akan tetap dihantui risiko merugikan kekayaan negara yang timbul dari tindakan kebijakan korporasi atau, sebaliknya, terjadi kerugian negara tanpa pertanggungjawaban.
Langkah pemerintah menangani kasus BUMN ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas jaminan asuransi secara umum dantanggung jawab pemerintah sebagai pemegang saham. Masyarakat Indonesia telah dewasa dan mampu memilah bahwa kegagalan Jiwasraya tak serta-merta mencerminkan risiko kegagalan pada sektor asuransi jiwa secara umum. Namun, belum adanya pembentukan Perusahaan Penjamin Polis sebagaimana Lembaga Penjamin Simpanan pada perbankan, dan apapun penyebab gagal bayar Jiwasraya, jelas bukan karena kesalahan nasabah telah mempercayakan uang mereka pada Jiwasraya. Sebagaimana nasabah yang menyimpan uang di bank BUMN, hak nasabah perlu diutamakan.
Entahlah ada kelalaian bank penjual dalam memberikan penjelasan ke calon nasabah. Jika pilihannya likuidasi, tentu telah dipikirkan secara matang. Dalam upaya penyelamatan AJB Bumiputera, bentuknya sebagai Usaha Bersama (Mutual) dapat dianggap sebagai hambatan, Jiwasraya yang bukan sebuah Usaha Bersama mungkin menyembunyikan tantangan tersendiri. 
Pemberian bunga berjalan sebuah langkah antara yang baik. Akan menarik bentuk tanggung jawab terhadap klaim yang timbul, sekaligus atau bertahap sesuai kemampuan dan pilihan terbaik yang tersedia, termasuk melahirkan Jiwasraya Putera. Jika holding asuransi, apakah sebatas sesama BUMN atau melangkah jauh melibatkan berbagai perusahaan asuransi jiwa, anak BUMN, seperti BNI Life, BRI Life, Axa Mandiri, Inhealth.
Apapun, kini Jiwasraya di tangan kepemimpinan jago-jago merger dan akuisisi (M&A) dan restructuring yang tentu sangat menghargai efektifitas kepemimpinan, pengawasan dan peraturan. Pemerintah pernah melahirkan Reindo menggantikan IndoRe yang mengalami kesulitan keuangan, sesama perusahaan reasuransi BUMN. Ketika itu tidak melibatkan nasabah secara langsung dan perusahaan-perusahaan asuransi yang mereasuransikan kepada IndoRe tidak diketahui gagal bayar kepada nasabah akibat non aktifnya IndoRe. Wallahualam.
Queenstown, New Zealand, 26 Desember 2019
Dr. Junaedy Ganie


No comments:

Post a Comment