Wednesday 10 December 2014

Insurance Scheme for Indonesia's Geothermal Exploration and Development - Public Policy / Risk Management / Energy


PENGANTAR

Berbagai perkembangan baru terkait dinamika dunia energi di Indonesia yang muncul akhir-akhir ini meliputi berbagai pemikiran dan wacana tentang alternatif sumber energi yang mungkin dapat diperoleh untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Sejauh ini tampaknya, pemikiran tentang pemanfaatan panas bumi (geothermal) belum menonjol terlepas apapun alasannya.
Terinspirasi dari Infografik Energi yang dimuat di harian Kompas hari ini, 10 Desember 2014 yang antara lain menunjukan total kapasitas terpasang yang sebesar 1207 MW sementara Al Gore, Nobel 2007 Peace Prize Recipient  dan mantan Wakil Presiden Amerika Serikat pada pembukaan “The Climate Project Asia Pacific Summit” memprediksikan bahwa Indonesia dapat menjadi super power dalam kelistrikan dari energi panas bumi  yang dapat menjadi surplus bagi perekonomian Indonesia, saya tertarik untuk memuat tulisan kami di bawah ini  dalam blog ini. Tulisan ini sangat erat kaitannya dengan peranan manajemen risiko dan asuransi.  
Tulisan ini dipresentasikan pada 13th Annual Meeting Indonesia Geothermal Association, 12 - 14 June 2013 dan sejak itu dimuat dalam website PENConsulting di www.penconsulting.com.







Monday 8 December 2014

Asuransi sebagai gaya hidup masyarakat - Insurance


Asuransi sebagai gaya hidup masyarakat -
Kesadaran berasuransi dan peranan asuransi wajib

Dr. Junaedy Ganie
Disadari atau tidak, untuk keperluan pribadi, orang mengalihkan risiko atau berinvestasi dengan membeli asuransi bertujuan untuk menjaga gaya hidup, untuk diri sendiri atau keluarganya atau untuk meningkatkan gaya hidup mereka. Jika Anda belum termasuk kelompok yang telah memiliki perlindungan asuransi, minimum untuk kebutuhan dasar seperti asuransi kehidupan (jiwa), rumah, mobil dan pendidikan serta kesehatan, Anda tidak sendirian, malah tergolong kelompok mayoritas.
Berbagai hal menjadi penyebabnya. Misalnya, sebagian lapisan bangsa Indonesia tidak memiliki asuransi karena pengetahuan tentang keberadaan dan peran asuransi belum sampai kepada mereka. Pada sebagian lagi adalah karena citra atau persepsi asuransi di mata mereka masih belum baik terutama dari aspek layanan klaim, terlepas dari bahwa sebagiannya timbul karena pemahaman masyarakat tentang lingkup pertanggungan dan prosedur klaim asuransi yang belum baik. Persepsi tentang biaya asuransi yang dianggap tinggi merupakan salah satu lainnya.
Dari waktu ke waktu ketika menjadi pembicara umum, pengajar atau instruktur di berbagai forum termasuk di depan mahasiswa selama belasan tahun, saya memanfaatkan waktu yang tersedia untuk melakukan riset sederhana untuk mengetahui tingkat kesadaran berasuransi masyarakat Indonesia dan menjadikanya sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran berasuransi masyarakat. Tergantung dari waktu yang tersedia, adakalanya hal tersebut saya lakukan tidak lain dari sebagai ice breaker. 
Pertanyaan standar pertama yang saya ajukan antara lain adalah: “Apa harta yang paling berharga yang Anda miliki selain diri Anda sendiri dan keluarga? Hampir dipastikan mereka akan menjawab rumah atau kendaraan yang dimiliki sebagai harta yang paling mahal.
Pertanyaan tersebut saya susulkan dengan pertanyaan kedua: “Berapa premi asuransi kebakaran per tahun atas rumah tinggal yang nilainya sebesar Rp 100,000,000? Jawaban yang saya peroleh masih sering memprihatinkan karena tebakan yang saya terima masih berkisar Rp 500,000.- sampai Rp 1,000,000.-. Bahkan  dalam suatu forum besar yang dihadiri guru-guru sekolah tingkat menengah atas di ibukota, saya pernah memperoleh jawaban Rp 10,000,000 ! Bandingkan jauhnya perbedaan antara jawaban yang diberikan dengan premi asuransi kebakaran per tahun yang hanya sebesar Rp 57,000.- untuk jaminan terhadap kebakaran, sambaran petir, ledakan dan tertimpa pesawat terbang.
Saya selalu berharap sebagian dari peserta pertemuan tersebut segera membeli polis asuransi untuk perlindungan rumah, mobil dan kehidupan mereka, setelah mereka menyadari bahwa hanya dengan sekedar kelipatan dari Rp 57,000.- untuk setiap Rp 100,000,000.- nilai bangunan rumah tinggal, atau termasuk perabot dan isi lainnya yang mereka miliki, mereka akan mendapat rasa tenang dan aman bahwa harta mereka yang berharga mendapat jaminan asuransi. Namun, memang masih banyak pekerjaan rumah yang menunggu untuk mengatasi tantangan sehingga kebutuhan terhadap perlindungan asuransi, baik asuransi umum maupun asuransi kehidupan (jiwa) menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia.
Sebagian besar masyarakat masih membeli asuransi sebagai pemenuhan kewajiban dalam perjanjian kredit atau pembiayaan yang mengharuskan mereka memiliki perlindungan asuransi atau rumah atau kendaraan bermotor yang mereka beli. Perbankan dan lembaga pembiayaan berperan besar dalam peneterasi asuransi di Indonesia.
Temuan tersebut di dukung oleh hasil survei nasional literasi keuangan yang dilakukan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2013 bahwa peneterasi asuransi atau jumlah mereka yang telah menjadi pemegang polis asuransi di negara kita masih sebesar 11.81%.  Angka tersebut sebenarnya sudah mulai menggembirakan walaupun pasti belum merata. Dari sumber yang sama disebutkan bahwa masyarakat Indonesia yang paham tentang manfaat asuransi  baru mencapai 17.84%.  Sementara itu, kontribusi premi asuransi terhadap PDB adalah hanya sebesar 2.16% pada tahun 2012, naik dari 1.82% pada 2008.  Data ini mungkin juga kurang akurat sebab masih terdapat  kemungkinan penghitungan dua kali (double counting) pada premi reasuransi yang dihitung ulang pada jumlah premi keseluruhan. Meskipun demikian, bonus demografi dan besarnya populasi kelas menengah Indonesia yang terus berkembang pesat memberikan optimisme yang tinggi terhadap pertumbuhan industri asuransi di Indonesia. Hal ini terbukti pula dengan tingginya minat pelaku asing untuk mengembangkan usaha asuransi di Indonesia, baik bagi yang sudah ada maupun bagi pendatang baru.
Kita dapat mengharapkan peranan BPJS Kesehatan yang menjadi asuransi wajib sejak 2015 nanti terhadap peningkatan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan jasa perlindungan asuransi terhadap risiko yang mereka hadapi. Dari aspek kesadaran untuk membeli asuransi, BPJS akan berpengaruh positif jika layanan yang diberikan memuaskan masyarakat. Sebaliknya, BPJS dapat berpengaruh negatif jika citra dan persepsi masyarakat terhadap layanan yang diberikan tidak menggembirakan. Momentum keberadaan BPJS dapat dijadikan titik tolak bagi semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran berasuransi masyarakat Indonesia. Pelaku bisnis asuransi dan bisnis pendukung dan asosiasi terkait, pemerintah atau regulator, media masa, lembaga perlindungan konsumen dan nasabah sendiri berkepentingan untuk mengambil peran penting.
Kemampuan pelaku asuransi meningkatkan citra dan persepsi masyarakat terutama melalui layanan klaim yang diberikan memiliki pengaruh yang sangat tinggi. Dari peranan pemerintah atau regulator, salah satu bentuk yang upaya yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kesadaran berasuransi masyarakat adalah dengan menerapkan sejumlah asuransi wajib yang penting dimiliki masyarakat. Sebagai contoh adalah penerapan Asuransi Tanggung Jawab Hukum Terhadap Pihak Ketiga  yang bersifat wajib terhadap setiap pemilik kendaraan bermotor. Polis asuransi tersebut bukan saja akan meningkatkan kesadaran berasuransi tetapi akan berpengaruh besar sebagai sarana menjaga kesejahteraan masyarakat dan mengurangi dampak ekonomis yang tinggi akibat kecelakaan lalu lintas, baik terhadap kerugian harta benda maupun terhadap kehilangan jiwa dan biaya pengobatan atas luka-luka yang diderita korban kecelakaan lalu lintas. Keberadaan polis asuransi tersebut juga akan meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat dan berkurangnya korban tabrak lari yang umum terjadi.  
Pelaku bisnis asuransi komersial tentu berharap penerapannya sebagai asuransi wajib akan terbuka bagi semua perusahaan asuransi, tanpa pemerintah perlu mencadangkan modal untuk membuat perusahaan asuransi BUMN baru. Kebijakan tersebut sekaligus akan memperbesar kue asuransi nasional.
Keberadaan Asuransi Asuransi Tanggung Jawab Hukum Terhadap Pihak Ketiga tersebut telah diwacanakan sejak tahun 1970an tapi Indonesia belum melangkah dari titik yang sama. Sementara itu, sejumlah negara Asean termasuk Filipina dan Vietnam telah menerapkannya! Kita mungkin sering atau terbiasa tertinggal sehingga ketertinggalkan mungkin pula tidak lagi menjadi beban tetapi menyusul  atau meniru walaupun belum dapat mendahului akan selalu lebih baik.

Karawang, 6 Desember 2014.

Thursday 4 December 2014

Bahasa Sebagai Identitas Bangsa - Pembangunan Karakter Bangsa


Junaedy Ganie

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beruntung dengan adanya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional, bahasa yang berperan sebagai pemersatu bangsa besar yang terdiri dari ratusan suku dan bahasa daerah. Kita tidak akan berhenti mengagumi sikap para pendiri bangsa (founding fathers) yang telah mengalahkan ego kedaerahan atau bahasa ibu masing-masing dan menjadikan lingua franca Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia. Sementara itu, banyak bangsa lain yang harus menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, bukannya salah satu dari bahasa daerah yang telah ada di antara mereka.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya komunikasi diantara anak bangsa jika tidak ada Bahasa Indonesia. Tentu akan semakin pelik menjalankan roda pemerintahan atas bangsa yang tersebar di lebih dari 17,000 pulau ini jika keberadaan dan pilihan bahasa masih menjadi kendala. Betapa akan beratnya menjalankan rapat di badan legislatif di berbagai tingkatan. Entah akan terbelah menjadi berapa para wakil kita jika tidak ada Bahasa Indonesia!
Jika dasar pemilihan adalah jumlah suku terbanyak demi penerapan demokrasi, tentu Bahasa Jawa yang menjadi bahasa nasional.  Tanpa kebesaran hati dari para pendiri bangsa yang memiliki visi yang sangat luas dan jauh di usia mereka yang masih sangat muda ketika itu dan semangat membebaskan diri dari ikatan penjajahan , mungkin yang akan terpilih Bahasa Belanda, Jepang seperti beberapa negara di Asia yang memilih Bahasa Inggris. Contoh yang terdekat adalah Timor Leste yang  mungkin karena alasan historis menjadikan Bahasa Portugis dari bangsa yang nun jauh disana sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia adalah salah satu sarana pemersatu bangsa. Tetapi kebangggaan atas bahasa nasional yang merupakan salah satu identitas bangsa kita tampak  menurun. Banyak pemimpin kita yang seringkali mempergunakan istilah bahasa asing, bahkan kalimat-kalimat Inggris di depan khalayak bangsa sendiri yang sebagian besar justru memiliki pemahaman yang minim terhadap Bahasa asing. Terlepas dari UU Bahasa Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dan pejabat negara lainnya mempergunakan Bahasa Indonesia dalam pidato resmi  di dalam atau di luar negeri, mungkin tidak menjadi urusan panjang jika pemimpin kita mempergunakan Bahasa Inggris yang fasih.
Tulisan ini tidak bermaksud menafikan pentingnya penguasaan Bahasa asing dengan baik, bahkan beberapa bahasa asing jika memungkinkan. Penguasaan bahasa asing akan memperkuat daya saing Indonesia di era pasar bebas ini. Kita tidak boleh mengisolasi diri. Sebaliknya, kita berharap agar di berbagai forum internasional, bangsa Indonesia dapat lebih lantang termasuk melakukan interaksi aktif di seminar atau berbagai pertemuan sejenis, bukan sebatas ngomong kepada rekan di kursi kiri dan kanan atau sebatas berkomentar di belakang.
Perkembangan yang ada menimbulkan pertanyaan mengapa kita harus memperkenalkan dan mempergunakan istilah seperti Busway untuk kalangan pengguna bis umum? Apakah masyarakat Jakarta tidak mengerti atau tidak akan menikmati suasana kunjungan ke Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman pada hari-hari tertentu jika istilah yang dipakai adalah Hari Bebas Kendaraan (Bermotor) atau Hari Bebas Mobil, bukan Car Free Day seperti sekarang. Bahkan ada kata Rumah Sakit diganti dengan Hospital. Ada satu rumah sakit yang sudah sempat menjadi X Hospital tetapi apapun alasannya sekarang sudah diubah menjadi Rumah Sakit X lagi. Mungkin kalau perlu diganti lebih tepat menjadi Rumah Rawat, karena memang merupakan tempat perawatan dan selaras dengan kata hospital untuk melakukan perawatan atau terhadap istilah hospitalization. Bukannya Rumah Sehat seperti yang pernah didengungkan beberapa tahun yang lalu yang untung tidak jadi karena akan semakin membingungkan. Contoh lain, mengapa mempergunakan kata Exit bukan Keluar?
Praktik diantara pengembang sangat berpengaruh terhadap penggunaan istilah asing. Tidak ada salahnya kita mengadopsi istilah Bahasa Inggris jika memang kita belum memiliki padanan yang tepat. Bahasa Indonesia atau Melayu dari dulu juga mengadopsi berbagai kata asing, baik dari Bahasa Arab, Belanda, Portugis, bahkan Spanyol.  Tetapi apakah perlu mempergunakan kata City untuk nama komplek perumahan sementara kata Kota sudah ada. Salah satu pengembang  membangun komplek yang diberi nama Kota Bunga, Kota Wisata yang rasanya lebih nyaman di telinga dan lebih dekat dibandingkan kalau diganti menjadi Flower City atau Tourism City. Kata “Pelangi” misalnya lebih indah dibanding kata “Rainbow” yang mungkin berasal dari “busur hujan”. Di awal tahun 2000an, walaupun tidak lama,  diterapkan larangan mempergunakan istilah asing pada sektor properti sehingga nama-nama komplek perumahan, apartemen dan lapangan golf berganti nama. Walaupun, beberapa nama asing seperti Green Garden dipertahankan sedekat mungkin menjadi Gren Gaden yang entah apa artinya. Banyak juga contoh yang menujukan perkembangan yang bagus seperti kentalnya penggunakan kata “pengembang”, bukan lagi developer seperti dulu. Sudah lama pula kita bersahabat dengan kata ruko, rukan dan rusun yang dulu semuanya  mempergunakan istilah dalam Bahasa  Inggris.
Tanpa peranan aktif pemerintah, kita dapat semakin kehilangan identitas dan dalam kurun waktu tertentu Bahasa Indonesia mungkin akan menjadi bentuk lain dari istilah Inggris, mulai dari developer, properti, relestat, resor, apartemen, residen dan lain sebagainya dan mungkin akan berangsur hilang peranannya sebagai alat perekat bangsa Indonesia.
Terdapat istilah tertentu yang tidak dapat lagi diindahkan karena telah menjadi bagian dari bahasa kita karena kita tidak mengenalnya sebelumnya.  Selanjutnya, tidak dapat dikesampingkan, sebagian media masa dan sebagian pejabat berperan besar dalam menimbulkan kerancuan pemakaian Bahasa asing. Coba perhatikan pemakaian istilah “kondusif” yang sangat populer.  Kita sudah  lazim mendengar keterangan pihak-pihak tertentu seperti “Keadaaan di kampung X telah kondusif” setelah terjadi kerusuhan, tawuran atau bentrokan. Kata tersebut tampaknya membangun suatu pengertian tersendiri yang lahir dari salah kaprah. Entah apa maksudnya jika kita kita kembali ke istilah tersebut dalam Bahasa Inggris.
Berdasarkan terjemahan dalam kamus Bahasa Inggris – Indonesia oleh John M. Echols dan Hassan Sadhily, kata “conducive” adalah kata sifat yang artinya  “menghasilkan, mendatangkan, mengakibatkan” dan tidak dipakai berdiri sendiri tetapi  mengantar kepada hasil tertentu, contoh yang diberikan adalah “Exercise is conducive to good health” yang dapat diartikan “Latihan atau olahraga mendatangkan kesehatan yang baik”. Bandingkan dengan penggunaan umum atas istilah tersebut – yaitu “Keadaan di kampung X kondusif (mendatangkan, menghasilkan, mengakibatkan)”. Titik. Ngga bingung kan?  
Namanya juga salah kaprah sehingga terus berlangsung dan dapat berkembang menjadi arti tersendiri, menyimpang dari pengertian asalnya. Akibatnya, kata “kondusif” mendapat tempat  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang lumayan panjang artinya, yaitu  “memberi peluang pada hasil yang diinginkan yang bersifat mendukung”.Asal jangan semakin banyak istilah yang salah kaprah seperti  ini karena akan menyulitkan pemakai Bahasa Inggris atau asing lainnya untuk belajar bahasa kita! Apalagi, salah satu oleh-oleh dari perjalanan Presiden Jokowi ke manca negara pada awal pemerintahannya adalah informasi tentang meningkatnya minat untuk belajar Bahasa Indonesia di Australia dan Tiongkok. 
Ada pendapat yang menarik: Tata bahasa mencerminkan pola atau struktur berpikir seseorang. Mari saling mengingatkan karena siapa yang akan menjaga bahasa nasional kita jika bukan kita sendiri.

Jakarta, 4 Desember 2014
(Ruang Tunggu BANI).