Thursday 4 December 2014

Bahasa Sebagai Identitas Bangsa - Pembangunan Karakter Bangsa


Junaedy Ganie

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beruntung dengan adanya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional, bahasa yang berperan sebagai pemersatu bangsa besar yang terdiri dari ratusan suku dan bahasa daerah. Kita tidak akan berhenti mengagumi sikap para pendiri bangsa (founding fathers) yang telah mengalahkan ego kedaerahan atau bahasa ibu masing-masing dan menjadikan lingua franca Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia. Sementara itu, banyak bangsa lain yang harus menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, bukannya salah satu dari bahasa daerah yang telah ada di antara mereka.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya komunikasi diantara anak bangsa jika tidak ada Bahasa Indonesia. Tentu akan semakin pelik menjalankan roda pemerintahan atas bangsa yang tersebar di lebih dari 17,000 pulau ini jika keberadaan dan pilihan bahasa masih menjadi kendala. Betapa akan beratnya menjalankan rapat di badan legislatif di berbagai tingkatan. Entah akan terbelah menjadi berapa para wakil kita jika tidak ada Bahasa Indonesia!
Jika dasar pemilihan adalah jumlah suku terbanyak demi penerapan demokrasi, tentu Bahasa Jawa yang menjadi bahasa nasional.  Tanpa kebesaran hati dari para pendiri bangsa yang memiliki visi yang sangat luas dan jauh di usia mereka yang masih sangat muda ketika itu dan semangat membebaskan diri dari ikatan penjajahan , mungkin yang akan terpilih Bahasa Belanda, Jepang seperti beberapa negara di Asia yang memilih Bahasa Inggris. Contoh yang terdekat adalah Timor Leste yang  mungkin karena alasan historis menjadikan Bahasa Portugis dari bangsa yang nun jauh disana sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia adalah salah satu sarana pemersatu bangsa. Tetapi kebangggaan atas bahasa nasional yang merupakan salah satu identitas bangsa kita tampak  menurun. Banyak pemimpin kita yang seringkali mempergunakan istilah bahasa asing, bahkan kalimat-kalimat Inggris di depan khalayak bangsa sendiri yang sebagian besar justru memiliki pemahaman yang minim terhadap Bahasa asing. Terlepas dari UU Bahasa Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dan pejabat negara lainnya mempergunakan Bahasa Indonesia dalam pidato resmi  di dalam atau di luar negeri, mungkin tidak menjadi urusan panjang jika pemimpin kita mempergunakan Bahasa Inggris yang fasih.
Tulisan ini tidak bermaksud menafikan pentingnya penguasaan Bahasa asing dengan baik, bahkan beberapa bahasa asing jika memungkinkan. Penguasaan bahasa asing akan memperkuat daya saing Indonesia di era pasar bebas ini. Kita tidak boleh mengisolasi diri. Sebaliknya, kita berharap agar di berbagai forum internasional, bangsa Indonesia dapat lebih lantang termasuk melakukan interaksi aktif di seminar atau berbagai pertemuan sejenis, bukan sebatas ngomong kepada rekan di kursi kiri dan kanan atau sebatas berkomentar di belakang.
Perkembangan yang ada menimbulkan pertanyaan mengapa kita harus memperkenalkan dan mempergunakan istilah seperti Busway untuk kalangan pengguna bis umum? Apakah masyarakat Jakarta tidak mengerti atau tidak akan menikmati suasana kunjungan ke Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman pada hari-hari tertentu jika istilah yang dipakai adalah Hari Bebas Kendaraan (Bermotor) atau Hari Bebas Mobil, bukan Car Free Day seperti sekarang. Bahkan ada kata Rumah Sakit diganti dengan Hospital. Ada satu rumah sakit yang sudah sempat menjadi X Hospital tetapi apapun alasannya sekarang sudah diubah menjadi Rumah Sakit X lagi. Mungkin kalau perlu diganti lebih tepat menjadi Rumah Rawat, karena memang merupakan tempat perawatan dan selaras dengan kata hospital untuk melakukan perawatan atau terhadap istilah hospitalization. Bukannya Rumah Sehat seperti yang pernah didengungkan beberapa tahun yang lalu yang untung tidak jadi karena akan semakin membingungkan. Contoh lain, mengapa mempergunakan kata Exit bukan Keluar?
Praktik diantara pengembang sangat berpengaruh terhadap penggunaan istilah asing. Tidak ada salahnya kita mengadopsi istilah Bahasa Inggris jika memang kita belum memiliki padanan yang tepat. Bahasa Indonesia atau Melayu dari dulu juga mengadopsi berbagai kata asing, baik dari Bahasa Arab, Belanda, Portugis, bahkan Spanyol.  Tetapi apakah perlu mempergunakan kata City untuk nama komplek perumahan sementara kata Kota sudah ada. Salah satu pengembang  membangun komplek yang diberi nama Kota Bunga, Kota Wisata yang rasanya lebih nyaman di telinga dan lebih dekat dibandingkan kalau diganti menjadi Flower City atau Tourism City. Kata “Pelangi” misalnya lebih indah dibanding kata “Rainbow” yang mungkin berasal dari “busur hujan”. Di awal tahun 2000an, walaupun tidak lama,  diterapkan larangan mempergunakan istilah asing pada sektor properti sehingga nama-nama komplek perumahan, apartemen dan lapangan golf berganti nama. Walaupun, beberapa nama asing seperti Green Garden dipertahankan sedekat mungkin menjadi Gren Gaden yang entah apa artinya. Banyak juga contoh yang menujukan perkembangan yang bagus seperti kentalnya penggunakan kata “pengembang”, bukan lagi developer seperti dulu. Sudah lama pula kita bersahabat dengan kata ruko, rukan dan rusun yang dulu semuanya  mempergunakan istilah dalam Bahasa  Inggris.
Tanpa peranan aktif pemerintah, kita dapat semakin kehilangan identitas dan dalam kurun waktu tertentu Bahasa Indonesia mungkin akan menjadi bentuk lain dari istilah Inggris, mulai dari developer, properti, relestat, resor, apartemen, residen dan lain sebagainya dan mungkin akan berangsur hilang peranannya sebagai alat perekat bangsa Indonesia.
Terdapat istilah tertentu yang tidak dapat lagi diindahkan karena telah menjadi bagian dari bahasa kita karena kita tidak mengenalnya sebelumnya.  Selanjutnya, tidak dapat dikesampingkan, sebagian media masa dan sebagian pejabat berperan besar dalam menimbulkan kerancuan pemakaian Bahasa asing. Coba perhatikan pemakaian istilah “kondusif” yang sangat populer.  Kita sudah  lazim mendengar keterangan pihak-pihak tertentu seperti “Keadaaan di kampung X telah kondusif” setelah terjadi kerusuhan, tawuran atau bentrokan. Kata tersebut tampaknya membangun suatu pengertian tersendiri yang lahir dari salah kaprah. Entah apa maksudnya jika kita kita kembali ke istilah tersebut dalam Bahasa Inggris.
Berdasarkan terjemahan dalam kamus Bahasa Inggris – Indonesia oleh John M. Echols dan Hassan Sadhily, kata “conducive” adalah kata sifat yang artinya  “menghasilkan, mendatangkan, mengakibatkan” dan tidak dipakai berdiri sendiri tetapi  mengantar kepada hasil tertentu, contoh yang diberikan adalah “Exercise is conducive to good health” yang dapat diartikan “Latihan atau olahraga mendatangkan kesehatan yang baik”. Bandingkan dengan penggunaan umum atas istilah tersebut – yaitu “Keadaan di kampung X kondusif (mendatangkan, menghasilkan, mengakibatkan)”. Titik. Ngga bingung kan?  
Namanya juga salah kaprah sehingga terus berlangsung dan dapat berkembang menjadi arti tersendiri, menyimpang dari pengertian asalnya. Akibatnya, kata “kondusif” mendapat tempat  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang lumayan panjang artinya, yaitu  “memberi peluang pada hasil yang diinginkan yang bersifat mendukung”.Asal jangan semakin banyak istilah yang salah kaprah seperti  ini karena akan menyulitkan pemakai Bahasa Inggris atau asing lainnya untuk belajar bahasa kita! Apalagi, salah satu oleh-oleh dari perjalanan Presiden Jokowi ke manca negara pada awal pemerintahannya adalah informasi tentang meningkatnya minat untuk belajar Bahasa Indonesia di Australia dan Tiongkok. 
Ada pendapat yang menarik: Tata bahasa mencerminkan pola atau struktur berpikir seseorang. Mari saling mengingatkan karena siapa yang akan menjaga bahasa nasional kita jika bukan kita sendiri.

Jakarta, 4 Desember 2014
(Ruang Tunggu BANI).

 

 

 

No comments:

Post a Comment