Junaedy Ganie
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
beruntung dengan adanya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional, bahasa yang
berperan sebagai pemersatu bangsa besar yang terdiri dari ratusan suku dan
bahasa daerah. Kita tidak akan berhenti mengagumi sikap para pendiri bangsa (founding fathers) yang telah
mengalahkan ego kedaerahan atau bahasa ibu masing-masing dan menjadikan lingua franca Bahasa Melayu sebagai
Bahasa Indonesia. Sementara itu, banyak bangsa lain yang harus menjadikan
Bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, bukannya salah satu dari bahasa daerah yang
telah ada di antara mereka.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya
komunikasi diantara anak bangsa jika tidak ada Bahasa Indonesia. Tentu akan
semakin pelik menjalankan roda pemerintahan atas bangsa yang tersebar di lebih
dari 17,000 pulau ini jika keberadaan dan pilihan bahasa masih menjadi kendala.
Betapa akan beratnya menjalankan rapat di badan legislatif di berbagai
tingkatan. Entah akan terbelah menjadi berapa para wakil kita jika tidak ada
Bahasa Indonesia!
Jika dasar pemilihan adalah jumlah
suku terbanyak demi penerapan demokrasi, tentu Bahasa Jawa yang menjadi bahasa
nasional. Tanpa kebesaran hati dari para
pendiri bangsa yang memiliki visi yang sangat luas dan jauh di usia mereka yang
masih sangat muda ketika itu dan semangat membebaskan diri dari ikatan
penjajahan , mungkin yang akan terpilih Bahasa Belanda, Jepang seperti beberapa
negara di Asia yang memilih Bahasa Inggris. Contoh yang terdekat adalah Timor
Leste yang mungkin karena alasan
historis menjadikan Bahasa Portugis dari bangsa yang nun jauh disana sebagai
bahasa nasional.
Bahasa Indonesia adalah salah satu
sarana pemersatu bangsa. Tetapi kebangggaan atas bahasa nasional yang merupakan
salah satu identitas bangsa kita tampak
menurun. Banyak pemimpin kita yang seringkali mempergunakan istilah bahasa
asing, bahkan kalimat-kalimat Inggris di depan khalayak bangsa sendiri yang
sebagian besar justru memiliki pemahaman yang minim terhadap Bahasa asing.
Terlepas dari UU Bahasa Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia dan pejabat negara lainnya mempergunakan Bahasa Indonesia dalam
pidato resmi di dalam atau di luar
negeri, mungkin tidak menjadi urusan panjang jika pemimpin kita mempergunakan
Bahasa Inggris yang fasih.
Tulisan ini tidak bermaksud menafikan
pentingnya penguasaan Bahasa asing dengan baik, bahkan beberapa bahasa asing jika
memungkinkan. Penguasaan bahasa asing akan memperkuat daya saing Indonesia di
era pasar bebas ini. Kita tidak boleh mengisolasi diri. Sebaliknya, kita
berharap agar di berbagai forum internasional, bangsa Indonesia dapat lebih
lantang termasuk melakukan interaksi aktif di seminar atau berbagai pertemuan sejenis,
bukan sebatas ngomong kepada rekan di
kursi kiri dan kanan atau sebatas berkomentar di belakang.
Perkembangan yang ada menimbulkan
pertanyaan mengapa kita harus memperkenalkan dan mempergunakan istilah seperti Busway untuk kalangan pengguna bis umum?
Apakah masyarakat Jakarta tidak mengerti atau tidak akan menikmati suasana
kunjungan ke Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman pada hari-hari tertentu jika
istilah yang dipakai adalah Hari Bebas
Kendaraan (Bermotor) atau Hari Bebas
Mobil, bukan Car Free Day seperti
sekarang. Bahkan ada kata Rumah Sakit diganti dengan Hospital. Ada satu rumah sakit yang sudah sempat menjadi X Hospital tetapi apapun alasannya
sekarang sudah diubah menjadi Rumah Sakit
X lagi. Mungkin kalau perlu diganti lebih tepat menjadi Rumah Rawat, karena memang merupakan
tempat perawatan dan selaras dengan kata hospital
untuk melakukan perawatan atau terhadap istilah hospitalization. Bukannya Rumah
Sehat seperti yang pernah didengungkan beberapa tahun yang lalu yang untung
tidak jadi karena akan semakin membingungkan. Contoh lain, mengapa
mempergunakan kata Exit bukan Keluar?
Praktik diantara pengembang sangat
berpengaruh terhadap penggunaan istilah asing. Tidak ada salahnya kita
mengadopsi istilah Bahasa Inggris jika memang kita belum memiliki padanan yang
tepat. Bahasa Indonesia atau Melayu dari dulu juga mengadopsi berbagai kata
asing, baik dari Bahasa Arab, Belanda, Portugis, bahkan Spanyol. Tetapi apakah perlu mempergunakan kata City untuk nama komplek perumahan
sementara kata Kota sudah ada. Salah
satu pengembang membangun komplek yang
diberi nama Kota Bunga, Kota Wisata
yang rasanya lebih nyaman di telinga dan lebih dekat dibandingkan kalau diganti
menjadi Flower City atau Tourism City. Kata “Pelangi” misalnya lebih indah dibanding kata “Rainbow” yang mungkin berasal dari “busur hujan”. Di awal tahun 2000an, walaupun tidak lama, diterapkan larangan mempergunakan istilah
asing pada sektor properti sehingga
nama-nama komplek perumahan, apartemen dan lapangan golf berganti nama. Walaupun,
beberapa nama asing seperti Green Garden
dipertahankan sedekat mungkin menjadi Gren
Gaden yang entah apa artinya. Banyak juga contoh yang menujukan perkembangan
yang bagus seperti kentalnya penggunakan kata “pengembang”, bukan lagi developer
seperti dulu. Sudah lama pula kita bersahabat dengan kata ruko, rukan dan rusun yang dulu semuanya mempergunakan istilah dalam Bahasa Inggris.
Tanpa peranan aktif pemerintah, kita dapat
semakin kehilangan identitas dan dalam kurun waktu tertentu Bahasa Indonesia
mungkin akan menjadi bentuk lain dari istilah Inggris, mulai dari developer, properti, relestat, resor,
apartemen, residen dan lain sebagainya dan mungkin akan berangsur hilang
peranannya sebagai alat perekat bangsa Indonesia.
Terdapat istilah tertentu yang tidak
dapat lagi diindahkan karena telah menjadi bagian dari bahasa kita karena kita
tidak mengenalnya sebelumnya.
Selanjutnya, tidak dapat dikesampingkan, sebagian media masa dan
sebagian pejabat berperan besar dalam menimbulkan kerancuan pemakaian Bahasa
asing. Coba perhatikan pemakaian istilah “kondusif”
yang sangat populer. Kita sudah lazim mendengar keterangan pihak-pihak
tertentu seperti “Keadaaan di kampung X telah
kondusif” setelah terjadi kerusuhan, tawuran atau bentrokan. Kata tersebut
tampaknya membangun suatu pengertian tersendiri yang lahir dari salah kaprah.
Entah apa maksudnya jika kita kita kembali ke istilah tersebut dalam Bahasa
Inggris.
Berdasarkan terjemahan dalam kamus
Bahasa Inggris – Indonesia oleh John M. Echols dan Hassan Sadhily, kata “conducive” adalah kata sifat yang
artinya “menghasilkan, mendatangkan, mengakibatkan” dan tidak dipakai
berdiri sendiri tetapi mengantar kepada hasil
tertentu, contoh yang diberikan adalah “Exercise
is conducive to good health” yang dapat diartikan “Latihan atau olahraga
mendatangkan kesehatan yang baik”. Bandingkan dengan penggunaan umum atas
istilah tersebut – yaitu “Keadaan di kampung X kondusif
(mendatangkan, menghasilkan, mengakibatkan)”. Titik. Ngga bingung kan?
Namanya juga salah kaprah sehingga
terus berlangsung dan dapat berkembang menjadi arti tersendiri, menyimpang dari
pengertian asalnya. Akibatnya, kata “kondusif”
mendapat tempat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang lumayan panjang artinya, yaitu “memberi
peluang pada hasil yang diinginkan yang bersifat mendukung”.Asal jangan
semakin banyak istilah yang salah kaprah seperti ini karena akan menyulitkan pemakai Bahasa
Inggris atau asing lainnya untuk belajar bahasa kita! Apalagi, salah satu
oleh-oleh dari perjalanan Presiden Jokowi ke manca negara pada awal
pemerintahannya adalah informasi tentang meningkatnya minat untuk belajar
Bahasa Indonesia di Australia dan Tiongkok.
Ada pendapat yang menarik: Tata bahasa mencerminkan pola atau struktur berpikir seseorang. Mari saling mengingatkan karena siapa
yang akan menjaga bahasa nasional kita jika bukan kita sendiri.
Jakarta, 4 Desember
2014
(Ruang Tunggu BANI).
No comments:
Post a Comment