Friday 21 April 2017

OJK & Pengawasan IKNB, Bisnis Indonesia 21 April 2017 - Public Policy


Tuesday 18 April 2017

Siapa (Berani) Mengawasi OJK ? Kontan, 17 April 2017 - Public Policy

Siapa (berani) mengawasi OJK?
Bunyi lafal sumpah atau janji Dewan Komisioner OJK dalam pasal 16 UU No. 21/2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencerminkan tuntutan yang tinggi terhadap sikap pejabat lembaga independen tersebut. Sesuai bunyi ketentuan tersebut, Dewan Komisioner OJK bersumpah/berjanji untuk tidak akan memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun selain dari sumpah/janji untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai lembaga yang mengatur, mengawasi, memeriksa, menyidik, OJK memang sebuah superbodi. Berdasarkan pasal 49 UU tentang OJK tersebut di atas, selain pejabat penyidik Kepolisian Negara, pejabat PNS tertentu dapat diberi tugas dan tanggung  jawab bidang pengawasan sektor keuangan dan diperkerjakan di OJK dengan wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Sebagai lembaga yang mengatur, mengawasi, memeriksa, menyidik, siapa yang mengawasi perilaku dan substansi pengaturan oleh OJK?
Salah satu asas yang menjadi landasan OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya adalah asas profesionalitas, yakni mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang dengan berlandaskan pada kode etik dan ketentuan perundangan-undangan dan asas integritas, yaitu berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil.
Berdasarkan pasal 26 UU No.21/2011, untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya, Dewan Komisioner membentuk organ pendukung yang mencakup Sekretariat, Dewan Audit, Komite Etik dan organ lainnya sesuai kebutuhan. Sebagai sebuah organ pendukung, organ-organ tersebut sepenuhnya berada di bawah pengawasan Anggota Dewan Komisioner tertentu. Dewan Komisisoner menetapkan dan menegakkan kode etik OJK.
Menurut Peraturan Dewan Komisioner No. 01/17/PDK/XII/2012 Tentang Kode Etik, keanggotaan Komite Etik terdiri atas Ketua, Anggota dan Sekretariat. Terdapat 2 Komite Etik, yaitu Komite Etik level Governance dan Komite Etik level Manajemen. Komite Etik level Governance yang bertugas mengawasi kepatuhan Anggota Dewan Komisioner terhadap kode etik OJK terdiri atas Wakil Ketua OJK sebagai ketua, 2 anggota Dewan Komisioner OJK bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko sebagai anggota dan 3 orang unsur profesi/akademisi sebagai anggota dan sekretariat.
Kata “2 anggota Dewan Komisioner bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko” tersebut menimbulkan tanda tanya sebab hanya ada 1 Ketua Anggota Dewan Komisioner yang membawahi Dewan Audit. Mungkin maksudnya 2 orang di bawah Ketua Anggota yang membawahi Dewan Audit. Selanjutnya, sebagai sebuah lembaga independen yang mengenakan pungutan kepada lembaga jasa keuangan yang diawasinya apakah pada tempatnya bila pembayar pungutan terwakili dalam Komite Etik?
Komite Etik Manajemen yang bertugas mengawasi kepatuhan pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik terdiri dari Wakil Ketua Dewan Komisioner sebagai ketua, 2 orang Deputi Manajemen Strategis sebagai anggota, dan 3 orang Direktur sebagai anggota dan sekretariat. Pemeriksaan pejabat dan pegawai OJK yang dilakukan oleh Komite Etik level Manajemen, bukan oleh atasan atau pemimpin bidang terkait dapat menjadi contoh bentuk penerapan independensi.

Imunitas Komite Etik
Keberadaan 3 anggota Komite Etik level Governance yang berasal dari unsur profesi.akademisi memperkuat independensi Komite Etik. Namun, untuk menjaga independensi dan mendukung keberanian Komite Etik mengingat sebagian yang diawasi berkedudukan sebagai atasan, perlu dipertimbangkan agar UU No. 21/2011 Tentang OJK memuat ketentuan tambahan yang akan melindungi atau memberikan imunitas kepada Komite Etik terhadap tekanan atau pengaruh yang mungkin timbul dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya termasuk jaminan kepastian masa jabatan kecuali dalam hal dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakannya.
Sepatutnya, kepada Komite Etik level Manajemen juga diberikan perlindungan yang sama mengingat sebagian berkedudukan sebagai bawahan. Sebagai perbandingan, sesuai ketentuan pasal 17 UU Tentang OJK dan bagian Umum Penjelasan atas UU tersebut, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan dan bahwa secara perorangan pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU tersebut. Salah satu alasan pemberhentian adalah pelanggaran terhadap. Kode Etik. Whistle blowing telah diperkenalkan OJK sebagai salah satu mekanisme penerimaan masukan.
Menurut pasal 15 Peraturan Dewan Komisioner OJK tersebut, putusan Komite Etik merupakan rekomendasi (bukan  final) yang diberikan kepada Pejabat Pemutus, yang didefinisikan sebagai Dewan Komisioner yang berwenang menetapkan sanksi atas pelanggaran Kode Etik. Tampaknya yang dimaksud dengan Pejabat Pemutus adalah Dewan Komisioner tidak termasuk Anggota Dewan Komisioner yang diduga melakukan pelanggaran.
Sesuai dengan asas akuntabilitas, setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan harus dipertanggungjawakan kepada publik sesuai dengan ketentuan pasal 38 tentang Pelaporan dan Akuntabilitas, UU No. 21/2011, OJK menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan bulanan, triwulanan dan tahunan. OJK wajib menyampaikan laporan apabila DPR memerlukan penjelasan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban ke masyarakat, OJK menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada DPR. Namun, apabila ketidakpuasan konsumen terhadap kebijakan dan tindakan lembaga jasa keuangan dapat diajukan kepada bidang terkait di OJK, kemana lembaga jasa keuangan dan masyarakat mengadu apabila tidak puas dengan OJK? Pintu mana yang harus diketuk sekiranya terdapat peraturan yang dianggap mengandung lebih banyak mudharatnya, apabila masukan langsung ke OJK tidak berhasil? Tugas Komite Etik hanya mengawasi perilaku. Apabila permasalahan diselesaikan oleh DPR, sesuai kodratnya, putusannya dapat bersifat politis.
Saat ini adalah momentum untuk meninjau kembali dan membenahi kekurangan yang ada, mengisi ruang yang kosong berdasarkan temuan dalam 5 tahun pertama keberadaan OJK. Disesuaikan dengan kondisi industri keuangan Indonesia dan kepentingan publik demi memajukan perekonomian Indonesia. Pemangku kepentingan terutama DPR dapat memikirkan jawaban atas berbagai pemikiran dan pertanyaan di atas.