Wednesday 10 February 2021

Alasan Hakim Periksa Perkara yang Mengandung Arbitrase

Artikel saya di bawah ini telah dimuat di Hukumonline.com pada 

Jumat, 25 Desember 2020

Alasan Hakim Periksa Perkara yang Mengandung Arbitrase

Oleh: Junaedy Ganie*)​​​​​​​

Arbitrase meringankan beban pekerjaan pengadilan, namun diperlukan sinergitas yang tinggi antara lembaga peradilan umum dan arbitrase termasuk dalam peningkatan pemahaman terhadap bidang masing-masing.

Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pasal 3 UU Arbitrase ditegaskan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 undang-undang tersebut menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dimuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri (PN). Ketentuan tersebut tidak dapat diartikan lain kecuali bahwa persengketaan perdata yang timbul di bawah perjanjian yang mengandung klausul arbitrase hanya dapat diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase dan bahwa PN yang menerima permohonan untuk pemeriksaan perkara wajib menolak atau menyatakan tidak berwenang. Adalah menarik untuk mengkaji mengapa terdapat hakim yang menyatakan berwenang untuk memeriksa perkara pada perjanjian yang tunduk pada klausul arbitrase.  

Perbedaan dan Waktu Perjanjian Arbitrase

Terdapat perbedaan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan kapan perjanjian arbitrase berakhir. Kecuali dinyatakan lain atau dibatasi dalam klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian atau disepakati kemudian oleh para pihak, semua perbedaan yang mengakibatkan timbulnya suatu sengketa dengan segala akibatnya akan diperiksa dan diputus melalui forum arbitrase.

Penyimpangan masih terdapat walaupun sudah jarang terlihat, terutama di industri asuransi kerugian (asuransi) khususnya, yang Penulis duga lebih sebagai akibat ketidaktahuan atas akibat yang dapat ditimbulkannya, lemahnya quality control pada bagian underwriting atau sebagai akibat tindakan copy paste penanggung sebagai penerbit polis dari polis yang berasal dari luar negeri.

Dalam klausul khusus tersebut, penyelesaian sengketa tentang penyebab klaim akan diperiksa oleh forum arbitrase sedangkan mengenai jumlah klaim (quantum) tidak diatur sehingga harus diselesaikan melalui PN. Akibatnya, terdapat dua jenis peradilan untuk satu perkara, yang akan menimbulkan beban biaya yang besar dan waktu yang panjang yang akan merugikan semua pihak. Sekiranya Tertanggung memahami konsekuensi dari ketentuan tersebut, tentu mereka akan menolak dari semula namun Tertanggung yang umumnya awam tentang ketentuan perjanjian asuransi tidak akan menyadarinya sampai terjadi persengketaan.

Pasal 10 UU Arbitrase menyatakan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak, pewarisan, berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga  dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase. Bahkan Pasal 10 huruf h UU Arbitrase menyatakan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Dengan demikian, jelaslah bahwa setiap perbedaan, kecuali yang disepakati secara tertulis untuk dikecualikan, termasuk tentang keabsahan atau batal tidaknya termasuk permohonan pembatalan suatu perjanjian, tidak dapat diputuskan sepihak dan forum arbitrase menjadi satu-satunya forum yang berhak memeriksa dan memutusnya. Akibatnya, adalah sangat janggal jika hakim menerima dan memeriksa permohonan di PN, misalnya, tentang pembatalan perjanjian pada perjanjian yang mengandung klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Apa yang melandasinya jika terjadi demikian?

Bahkan, jauh sebelum diundangkannya UU Arbitrase, yurisprudensi Mahkamah Agung RI, kewenangan absolut forum arbitrase dapat pula dirujuk kepada Putusan MA No. 2179K/Pdt/1984 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal ada klausula arbitrase, pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dan konvensi maupun rekonvensi”. Begitu juga Putusan MA No. 225 k/Sip/1976, tanggal 30 September 1983 telah menyatakan bahwa: “Dengan adanya perjanjian klausul arbitrase, penyelesaian perselisihan adalah kewenangan absolut arbitrase, meskipun para pihak tidak mengajukan eksepsi dalam pemeriksaan persidangan”.

 

Perkara yang Mengandung Klausul Arbitrase

Selain dari putusannya bersifat final dan mengikat kedua pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa melalui arbitrase memberikan berbagai kelebihan dibanding melalui PN, misalnya mulai dari adanya kepastian jangka waktu, kepastian jumlah biaya dan adanya hak pada masing-masing pihak untuk memilih sendiri arbiter (hakim swasta) untuk memeriksa dan memutus perkaranya. Kedua arbiter lalu memilih Ketua Majelis Arbitrase. Pertimbangan dalam pemilihan arbiter tidak lepas dari penilaian masing-masing pihak atas kompetensi calon arbiter atas bidang yang dipersengketakan.

Sebaliknya, sifat dan kedudukan hakim yang menangani semua jenis perkara, tidak dipilih oleh pihak yang bersengketa sangat memungkinkan bahwa hakim yang ditunjuk tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang yang dipersengketakan. Besar kemungkinan pula terdapat kesenjangan pengetahuan hakim tentang arbitrase dan ketentuan hukum serta kebiasaan dalam bidang usaha yang dipersengketakan, misalnya untuk bidang jasa keuangan seperti asuransi yang bersifat khas. Akibatnya, dalam pertimbangannya, terdapat kemungkinan hakim menerapkan putusan atas pertimbangan yang tidak tepat yang menimbulkan kerugian pada satu atau para pihak.

Sebagai contoh dalam perkara asuransi, sejak hari pertama belajar asuransi, instruktur akan mengatakan bahwa ketentuan yang diketik dan ditempel ke polis atau ditambahkan sebagai endorsemen, berkedudukan menggantikan (supercede) ketentuan tentang hal yang sama atau berjudul sama yang dicetak dalam polis. Namun, peran pengawasan yang lemah pada penanggung tertentu, dapat menimbulkan salah kaprah berupa penerbitan beberapa klausul atau ketentuan tentang hal yang sama dibuat berapa kali, misalnya klausul penyelesaian sengketa pertama yang dicetak di polis, disusul oleh adanya klausul sejenis sebagai klausul kedua yang kemudian, entah apa alasannya, terdapat penanggung menerbitkan pula klausul penyelesaian sengketa ketiga! Logika hukum dan kebiasaan dalam praktik asuransi yang mengikat tentu mengatakan bahwa yang berlaku adalah yang ketiga. Apa gunanya klausul baru sekiranya yang berlaku adalah klausul terdahulu. Tampak di sini penanggung, apapun alasannya, telah menimbulkan kerancuan bagi pihak awam dan akibatnya jika hakim tidak memiliki pemahaman tentang perjanjian dan kebiasaan asuransi, mungkin saja hakim dapat melakukan kekeliruan dan tidak memahami bahwa klausul penyelesaian sengketa yang berlaku adalah yang terakhir.   

Sikap yang mungkin timbul sebagai akibat dari kekeliruan atau ketidakpahaman terhadap ketentuan dan praktik dalam perjanjian asuransi dapat berakibat fatal dan merugikan salah satu pihak. Sebagai contoh, dalam klausul penyelesaian sengketa standar Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), apabila para pihak gagal menyelesaikan perselisihan secara musyawarah mufakat, polis memberikan hak kepada tertanggung, untuk memilih antara penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau melalui PN dan bahwa pilihan tertanggung mengikat penanggung sepenuhnya. Tentu akan timbul pertanyaan besar jika PN tetap memeriksa perkara padahal tertanggung telah menggunakan haknya untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase, bahkan ketika persidangan arbitrase telah berlangsung.

Sebagai contoh, dalam suatu perkara ditemukan bahwa hakim PN tetap menyatakan berwenang untuk memeriksa perkara yang sama, menolak eksepsi tertanggung tentang kewenangan absolut forum arbitrase dan hakim menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa klausul pertama memberikan penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat, klausul kedua adalah penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan klausul ketiga mengandung penyelesaian melalui PN dan hakim menolak eksepsi tertanggung tentang kewenangan absolut lembaga arbitrase dengan alasan bahwa berdasarkan klausul ketiga penanggung berhak membawa perkara ke PN. Padahal masing-masing dari ketiga klausul penyelesaian sengketa tersebut memberikan hak absolut kepada tertanggung untuk memilih antara forum arbitrase dan PN, sesuai dengan standar yang berlaku berdasarkan ketentuan AAUI dan tertanggung telah memberitahu penanggung secara tertulis bahwa tertanggung memilih forum arbitrase. Apakah kekeliruan yang fatal ini mencerminkan adanya kesenjangan pemahaman pada hakim yang memeriksa perkara?  

Apabila setelah mendengar dalil-dalil hukum yang secara tegas meniadakan kewenangannya untuk memeriksa suatu perkara yang tunduk kepada perjanjian arbitrase, hakim masih menyatakan berwenang untuk memeriksa perkara, maka hakim harus mampu dalam pertimbangan hukumnya mencerminkan logika dan dasar hukum atas sikapnya.

Arbitrase meringankan beban pekerjaan pengadilan. Diperlukan sinergitas yang tinggi antara lembaga peradilan umum dan arbitrase termasuk dalam peningkatan pemahaman terhadap bidang masing-masing, termasuk tentang adanya kewenangan absolut forum arbitrase jika perjanjian memuat klausul penyelesaian perselisihan melalui arbitrase. Terakhir, untuk menegakan keadilan dan kepastian hukum, diperlukan jaminan bahwa peran saluran perlindungan oleh lembaga-lembaga pengawas atas kepentingan pihak yang dapat dirugikan akibat kekeliruan, keawaman atau alasan-alasan lain dapat berfungsi dengan baik.

*)Dr. Junaedy Ganie, FCBArb, MCIArb, seorang Arbiter Senior.