Artikel saya di bawah ini telah dimuat di Hukumonline.com pada
Jumat, 25 Desember 2020
Alasan Hakim Periksa Perkara yang Mengandung Arbitrase
Oleh: Junaedy Ganie*)
Arbitrase meringankan beban pekerjaan pengadilan,
namun diperlukan sinergitas yang tinggi antara lembaga peradilan umum dan
arbitrase termasuk dalam peningkatan pemahaman terhadap bidang masing-masing.
Menurut
Pasal 1 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam
pasal 3 UU Arbitrase ditegaskan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Pasal 11 undang-undang tersebut menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang dimuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri (PN). Ketentuan tersebut tidak dapat diartikan lain kecuali bahwa
persengketaan perdata yang timbul di bawah perjanjian yang mengandung klausul
arbitrase hanya dapat diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase
dan bahwa PN yang menerima permohonan untuk pemeriksaan perkara wajib menolak
atau menyatakan tidak berwenang. Adalah menarik untuk mengkaji mengapa terdapat
hakim yang menyatakan berwenang untuk memeriksa perkara pada perjanjian yang
tunduk pada klausul arbitrase.
Perbedaan
dan Waktu Perjanjian Arbitrase
Terdapat
perbedaan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan kapan perjanjian
arbitrase berakhir. Kecuali dinyatakan lain atau dibatasi dalam klausul
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam perjanjian atau disepakati
kemudian oleh para pihak, semua perbedaan yang mengakibatkan timbulnya suatu
sengketa dengan segala akibatnya akan diperiksa dan diputus melalui forum
arbitrase.
Penyimpangan
masih terdapat walaupun sudah jarang terlihat, terutama di industri asuransi
kerugian (asuransi) khususnya, yang Penulis duga lebih sebagai akibat
ketidaktahuan atas akibat yang dapat ditimbulkannya, lemahnya quality
control pada bagian underwriting atau sebagai akibat
tindakan copy paste penanggung sebagai penerbit polis dari
polis yang berasal dari luar negeri.
Dalam
klausul khusus tersebut, penyelesaian sengketa tentang penyebab klaim akan
diperiksa oleh forum arbitrase sedangkan mengenai jumlah klaim (quantum)
tidak diatur sehingga harus diselesaikan melalui PN. Akibatnya, terdapat dua
jenis peradilan untuk satu perkara, yang akan menimbulkan beban biaya yang
besar dan waktu yang panjang yang akan merugikan semua pihak. Sekiranya
Tertanggung memahami konsekuensi dari ketentuan tersebut, tentu mereka akan
menolak dari semula namun Tertanggung yang umumnya awam tentang ketentuan
perjanjian asuransi tidak akan menyadarinya sampai terjadi persengketaan.
Pasal 10
UU Arbitrase menyatakan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal
disebabkan oleh meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak,
novasi, insolvensi salah satu pihak, pewarisan, berlakunya syarat-syarat
hapusnya perikatan pokok, bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut
dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase. Bahkan Pasal 10 huruf h UU Arbitrase menyatakan bahwa
suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh berakhirnya atau
batalnya perjanjian pokok.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa setiap perbedaan, kecuali yang disepakati secara
tertulis untuk dikecualikan, termasuk tentang keabsahan atau batal tidaknya
termasuk permohonan pembatalan suatu perjanjian, tidak dapat diputuskan sepihak
dan forum arbitrase menjadi satu-satunya forum yang berhak memeriksa dan
memutusnya. Akibatnya, adalah sangat janggal jika hakim menerima dan memeriksa
permohonan di PN, misalnya, tentang pembatalan perjanjian pada perjanjian yang
mengandung klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Apa yang
melandasinya jika terjadi demikian?
Bahkan, jauh sebelum diundangkannya
UU Arbitrase, yurisprudensi Mahkamah Agung RI, kewenangan absolut forum
arbitrase dapat pula dirujuk kepada Putusan MA No. 2179K/Pdt/1984 yang
menyatakan bahwa: “Dalam
hal ada klausula arbitrase, pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan
mengadili gugatan baik dan konvensi maupun rekonvensi”. Begitu
juga Putusan MA No. 225 k/Sip/1976, tanggal 30 September 1983 telah menyatakan
bahwa: “Dengan adanya
perjanjian klausul arbitrase, penyelesaian perselisihan adalah kewenangan
absolut arbitrase, meskipun para pihak tidak mengajukan eksepsi dalam
pemeriksaan persidangan”.
Perkara yang Mengandung
Klausul Arbitrase
Selain dari putusannya
bersifat final dan mengikat kedua pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa
melalui arbitrase memberikan berbagai kelebihan dibanding melalui PN, misalnya
mulai dari adanya kepastian jangka waktu, kepastian jumlah biaya dan adanya hak
pada masing-masing pihak untuk memilih sendiri arbiter (hakim swasta) untuk
memeriksa dan memutus perkaranya. Kedua arbiter lalu memilih Ketua Majelis
Arbitrase. Pertimbangan dalam pemilihan arbiter tidak lepas dari penilaian
masing-masing pihak atas kompetensi calon arbiter atas bidang yang
dipersengketakan.
Sebaliknya, sifat dan
kedudukan hakim yang menangani semua jenis perkara, tidak dipilih oleh pihak
yang bersengketa sangat memungkinkan bahwa hakim yang ditunjuk tidak memiliki
pengetahuan yang cukup tentang bidang yang dipersengketakan. Besar kemungkinan
pula terdapat kesenjangan pengetahuan hakim tentang arbitrase dan ketentuan
hukum serta kebiasaan dalam bidang usaha yang dipersengketakan, misalnya untuk
bidang jasa keuangan seperti asuransi yang bersifat khas. Akibatnya, dalam
pertimbangannya, terdapat kemungkinan hakim menerapkan putusan atas
pertimbangan yang tidak tepat yang menimbulkan kerugian pada satu atau para
pihak.
Sebagai contoh dalam
perkara asuransi, sejak hari pertama belajar asuransi, instruktur akan
mengatakan bahwa ketentuan yang diketik dan ditempel ke polis atau ditambahkan
sebagai endorsemen, berkedudukan menggantikan (supercede) ketentuan tentang hal yang sama
atau berjudul sama yang dicetak dalam polis. Namun, peran pengawasan yang lemah
pada penanggung tertentu, dapat menimbulkan salah kaprah berupa penerbitan
beberapa klausul atau ketentuan tentang hal yang sama dibuat berapa kali,
misalnya klausul penyelesaian sengketa pertama yang dicetak di polis, disusul
oleh adanya klausul sejenis sebagai klausul kedua yang kemudian, entah apa
alasannya, terdapat penanggung menerbitkan pula klausul penyelesaian sengketa
ketiga! Logika hukum dan kebiasaan dalam praktik asuransi yang mengikat tentu
mengatakan bahwa yang berlaku adalah yang ketiga. Apa gunanya klausul baru
sekiranya yang berlaku adalah klausul terdahulu. Tampak di sini penanggung,
apapun alasannya, telah menimbulkan kerancuan bagi pihak awam dan akibatnya
jika hakim tidak memiliki pemahaman tentang perjanjian dan kebiasaan asuransi,
mungkin saja hakim dapat melakukan kekeliruan dan tidak memahami bahwa klausul
penyelesaian sengketa yang berlaku adalah yang terakhir.
Sikap yang mungkin timbul
sebagai akibat dari kekeliruan atau ketidakpahaman terhadap ketentuan dan
praktik dalam perjanjian asuransi dapat berakibat fatal dan merugikan salah
satu pihak. Sebagai contoh, dalam klausul penyelesaian sengketa standar
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), apabila para pihak gagal menyelesaikan
perselisihan secara musyawarah mufakat, polis memberikan hak kepada
tertanggung, untuk memilih antara penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau
melalui PN dan bahwa pilihan tertanggung mengikat penanggung sepenuhnya. Tentu
akan timbul pertanyaan besar jika PN tetap memeriksa perkara padahal
tertanggung telah menggunakan haknya untuk memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, bahkan ketika persidangan arbitrase telah berlangsung.
Sebagai contoh, dalam
suatu perkara ditemukan bahwa hakim PN tetap menyatakan berwenang untuk
memeriksa perkara yang sama, menolak eksepsi tertanggung tentang kewenangan
absolut forum arbitrase dan hakim menyatakan dalam pertimbangan hukumnya,
bahwa klausul pertama memberikan
penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat, klausul kedua adalah
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan klausul ketiga mengandung penyelesaian
melalui PN dan hakim menolak eksepsi tertanggung tentang kewenangan absolut
lembaga arbitrase dengan alasan bahwa berdasarkan klausul ketiga penanggung
berhak membawa perkara ke PN. Padahal masing-masing dari ketiga klausul
penyelesaian sengketa tersebut memberikan hak absolut kepada tertanggung untuk
memilih antara forum arbitrase dan PN, sesuai dengan standar yang berlaku
berdasarkan ketentuan AAUI dan tertanggung telah memberitahu penanggung secara
tertulis bahwa tertanggung memilih forum arbitrase. Apakah kekeliruan yang
fatal ini mencerminkan adanya kesenjangan pemahaman pada hakim yang memeriksa
perkara?
Apabila setelah mendengar
dalil-dalil hukum yang secara tegas meniadakan kewenangannya untuk memeriksa
suatu perkara yang tunduk kepada perjanjian arbitrase, hakim masih menyatakan
berwenang untuk memeriksa perkara, maka hakim harus mampu dalam pertimbangan
hukumnya mencerminkan logika dan dasar hukum atas sikapnya.
Arbitrase meringankan
beban pekerjaan pengadilan. Diperlukan sinergitas yang tinggi antara lembaga
peradilan umum dan arbitrase termasuk dalam peningkatan pemahaman terhadap
bidang masing-masing, termasuk tentang adanya kewenangan absolut forum
arbitrase jika perjanjian memuat klausul penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase. Terakhir, untuk menegakan keadilan dan kepastian hukum, diperlukan
jaminan bahwa peran saluran perlindungan oleh lembaga-lembaga pengawas atas
kepentingan pihak yang dapat dirugikan akibat kekeliruan, keawaman atau
alasan-alasan lain dapat berfungsi dengan baik.
*)Dr. Junaedy Ganie,
FCBArb, MCIArb, seorang Arbiter Senior.
No comments:
Post a Comment