Wednesday 16 September 2015

Ayo Kerja atau Mari bekerja?


Ayo Kerja atau Mari bekerja?  - Pembangunan Karakter Bangsa

Oleh Dr. Junaedy Ganie

Slogan “Ayo Kerja” sudah menjadi pemandangan umum terutama di kantor-kantor pemerintah.  Slogan tersebut tentu dimaksudkan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk giat bekerja dan fokus pada tugas masing-masing sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan kreatif anak bangsa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Ayo” adalah sebuah kata seru untuk mengajak atau memberikan dorongan, contoh yang diberikan “Ayo cepat, kita berangkat sekarang!” Dalam contoh tersebut tampak adanya dorongan agar seseorang berbuat sedangkan yang mendorong ikut terlibat dalam mencapai suatu tujuan yang sama.

Namun, pengertian atas suatu kata dapat berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Pemahaman umum tentang kata “Ayo” atau dalam pemakaian sehari-hari lebih cenderung atau sering dipergunakan untuk menyuruh atau memberikan instruksi. Kalau pemahaman awam atas kata “Ayo” adalah demikian maka slogan tersebut terdengar seperti menyuruh orang lain untuk bekerja atau pemimpin atau seseorang harus diikuti memberikan instruksi untuk bekerja. Kata tersebut mengandung muatan adanya superioritas pada yang mengajak atau pada saat yang sama mengandung kekecewaan seperti pada “Kenapa salah semua? Ayo! (Why is everything wrong. Come on, tell me!) dalam contoh yang dimuat dalam Kamus Indonesia Inggris oleh John M. Echols dan Hassan Shadily. Akibatnya, slogan “Ayo Kerja” akan terdengar seperti instruksi dan lebih jauh lagi dapat bersifat otoriter. Kalau demikian, maka akan timbul pertanyaan tentang siapa yang akan bekerja jika semuanya menyuruh bekerja?

Salah satu kunci kesuksesan suatu pesan atau slogan adalah kesamaan persepsi antara tujuan dan pemahaman umum. Jika tidak, tujuan dari suatu slogan tidak akan tercapai secara optimum. Coba dibandingkan apabila yang dipergunakan adalah istilah “Mari bekerja”. Pilihan kata “Mari bekerja” bermuatan positif sebab “Mari bekerja” sepenuhnya terdengar mengajak untuk bersama-sama bekerja dan terdengar setara, bukan terdengar lebih sebagai menyuruh bekerja. Bagaimana pendapat Anda?


Jakarta, 16 September 2015

Saturday 5 September 2015

Batalnya Kereta Super Cepat Jakarta - Bandung


Batalnya Kereta Super Cepat Jakarta – Bandung – Public Policy

Oleh Dr. Junaedy Ganie

Batalnya rencana pembangunan kereta super cepat menghubungkan Jakarta dan Bandung tentu disambut dengan rasa syukur oleh banyak lapisan masyarakat, terutama dari mereka yang pro kepada keseimbangan pembangunan di negara kita dan perhatian pada prioritas pembangunan nasional.

Mungkin memang sulit untuk dicerna rencana yang sempat beberapa lama menggelayut sebagai rencana besar yang akan menyejajarkan Indonesia dengan sejumlah negara lain yang telah memilikinya, yaitu pertanyaan apakah betul untuk jarak tempuh yang hanya 150 km diperlukan kereta dengan kecepatan 350 km per jam. Kita beruntung, setelah sekian lama mempelajari dan menimbang diketahui bahwa kecepatan maksimum tersebut ternyata tidak akan pernah tercapai karena kereta super cepat tersebut diperlukan untuk menaikan dan menurunkan penumpang di sejumlah setasiun di jalan dan diperlukan 14 menit untuk mencapai kecepatan maksimum tersebut. Terlepas dari tingkat kemandirian dan keekonomiannya, sementara kita menghabiskan BBM yang tinggi karena setiap hari harus bergulat dengan tingkat kemacetan di Jakarta dan Bandung yang mungkin telah menjadi yang terparah di dunia, apakah tidak lebih penting mengutamakan mempercepat mengatasi tingkat kemacetan dalam kota yang semakin parah terlebih dahulu? Bukan tidak mungkin sekiranya dilaksanakan tanpa keberhasilan dalam pembenahan sistem transportasi dalam kota, kereta super cepat tersebut atau merujuk kepada pemikiran baru, kereta kecepatan menengah, justru akan semakin menambah berat beban kemacetan di dalam kota.

Dari aspek ekonomian dan kemampuan jangkauan masyarakat, para ahli mengemukakan bahwa di negara manapun tidak ada kereta super cepat yang beroperasi tanpa dukungan dari pemerintah. Dukungan dimaksud sangat mungkin berupa subsidi, apapun bentuk atau namanya. Selama ini, pertanyaan besar yang menggantung adalah bagaimana mungkin suatu proyek besar yang tidak mempergunakan APBN dan akan murni sebagai kerjasama “B to B” tidak akan membebani negara jika mitranya adalah BUMN sementara proyek sejenis mengandung risiko keekonomian yang tinggi dalam kaitan dengan jangkauan kemampuan daya beli masyarakat yang akan menjadi penumpangnya.

Dari aspek keseimbangan pembangunan, Indonesia memiliki lebih dari 1,000 km rel tua yang terbelangkalai. Mungkin tidak ada 1 km pun tambahan rel baru di luar pulau Jawa sejak proklamasi kemerdekaan 70 tahun yang lalu. Alangkah besarnya dampak daya dukung transportasi kereta api terhadap kemajuan perekonomian di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua apabila telah terhubung dengan jalur kereta api. Daya saing dari tingkat efisiensi yang timbul dan daya ungkit yang akan melahirkan sentra pertumbuhan ekonomi baru akan melahirkan efek berantai yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Alhamdulillah, transportasi udara terus berkembang sehingga semakin banyak orang yang dapat berpergian dengan pesawat udara. Cakupan kebutuhan masyarakat yang masih besar menunjukan potensi yang besar pula bagi maskapai penerbangan untuk terus bertumbuh, apapun tingkat kesulitan yang menjadi tantangan di tengah hambatan pertumbuhan perekonomian dewasa ini.

Dari sisi yang berbeda, negeri yang luas dan memiliki padang rumput yang luas tapi tidak memilik ternak yang cukup untuk menjadi sumber protein rakyatnya, biaya transportasi ternak dari NTT ke Jakarta lebih tinggi dari biaya kapal pengangkut ternak dari Australia. Masyarakat menunggu, mungkin belum pemenuhan janji tetapi langkah konkrit strategi handal yang akan menghubungkan Nusantara melalui tranportasi laut pada negara yang terdiri dari lebih dari 17,000 pulau ini. Program “Tol Laut” masih memerlukan sosialisasi yang baik kepada masyarakat tentang apa yang dimaksud terutama dengan memberikan contoh nyata yang berkesinabungan. Dari aspek nama sendiri, “Tol Laut” mungkin perlu dipikirkan kembali. Seorang pakar hukum kelautan pernah berguyon dalam suatu diskusi informal mengatakan bukankah secara harfiah artinya adalah suatu sistem transportasi yang mengenakan biaya untuk melintasinya.

It is high time to set a list of priorities and stick to it dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan, kekurangan dan keutuhan kesatuan bangsa yang majemuk ini.

Jakarta, 5 September 2015.