Batalnya Kereta Super Cepat Jakarta – Bandung – Public Policy
Oleh Dr.
Junaedy Ganie
Batalnya rencana pembangunan kereta super cepat
menghubungkan Jakarta dan Bandung tentu disambut dengan rasa syukur oleh banyak
lapisan masyarakat, terutama dari mereka yang pro kepada keseimbangan
pembangunan di negara kita dan perhatian pada prioritas pembangunan nasional.
Mungkin memang sulit untuk dicerna rencana yang
sempat beberapa lama menggelayut sebagai rencana besar yang akan menyejajarkan
Indonesia dengan sejumlah negara lain yang telah memilikinya, yaitu pertanyaan apakah
betul untuk jarak tempuh yang hanya 150 km diperlukan kereta dengan kecepatan
350 km per jam. Kita beruntung, setelah sekian lama mempelajari dan menimbang
diketahui bahwa kecepatan maksimum tersebut ternyata tidak akan pernah tercapai
karena kereta super cepat tersebut diperlukan untuk menaikan dan menurunkan
penumpang di sejumlah setasiun di jalan dan diperlukan 14 menit untuk mencapai
kecepatan maksimum tersebut. Terlepas dari tingkat kemandirian dan
keekonomiannya, sementara kita menghabiskan BBM yang tinggi karena setiap hari
harus bergulat dengan tingkat kemacetan di Jakarta dan Bandung yang mungkin
telah menjadi yang terparah di dunia, apakah tidak lebih penting mengutamakan mempercepat
mengatasi tingkat kemacetan dalam kota yang semakin parah terlebih dahulu?
Bukan tidak mungkin sekiranya dilaksanakan tanpa keberhasilan dalam pembenahan
sistem transportasi dalam kota, kereta super cepat tersebut atau merujuk kepada
pemikiran baru, kereta kecepatan menengah, justru akan semakin menambah berat
beban kemacetan di dalam kota.
Dari aspek ekonomian dan kemampuan jangkauan
masyarakat, para ahli mengemukakan bahwa di negara manapun tidak ada kereta
super cepat yang beroperasi tanpa dukungan dari pemerintah. Dukungan dimaksud
sangat mungkin berupa subsidi, apapun bentuk atau namanya. Selama ini, pertanyaan
besar yang menggantung adalah bagaimana mungkin suatu proyek besar yang tidak
mempergunakan APBN dan akan murni sebagai kerjasama “B to B” tidak akan membebani negara jika mitranya adalah BUMN sementara
proyek sejenis mengandung risiko keekonomian yang tinggi dalam kaitan dengan
jangkauan kemampuan daya beli masyarakat yang akan menjadi penumpangnya.
Dari aspek keseimbangan pembangunan, Indonesia memiliki
lebih dari 1,000 km rel tua yang terbelangkalai. Mungkin tidak ada 1 km pun
tambahan rel baru di luar pulau Jawa sejak proklamasi kemerdekaan 70 tahun yang
lalu. Alangkah besarnya dampak daya dukung transportasi kereta api terhadap
kemajuan perekonomian di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua apabila telah
terhubung dengan jalur kereta api. Daya saing dari tingkat efisiensi yang
timbul dan daya ungkit yang akan melahirkan sentra pertumbuhan ekonomi baru akan
melahirkan efek berantai yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Alhamdulillah, transportasi udara terus berkembang
sehingga semakin banyak orang yang dapat berpergian dengan pesawat udara.
Cakupan kebutuhan masyarakat yang masih besar menunjukan potensi yang besar
pula bagi maskapai penerbangan untuk terus bertumbuh, apapun tingkat kesulitan yang menjadi tantangan di tengah hambatan pertumbuhan perekonomian dewasa ini.
Dari sisi yang berbeda, negeri yang luas dan
memiliki padang rumput yang luas tapi tidak memilik ternak yang cukup untuk
menjadi sumber protein rakyatnya, biaya transportasi ternak dari NTT ke Jakarta
lebih tinggi dari biaya kapal pengangkut ternak dari Australia. Masyarakat menunggu,
mungkin belum pemenuhan janji tetapi langkah konkrit strategi handal yang akan
menghubungkan Nusantara melalui tranportasi laut pada negara yang terdiri dari
lebih dari 17,000 pulau ini. Program “Tol Laut” masih memerlukan sosialisasi
yang baik kepada masyarakat tentang apa yang dimaksud terutama dengan
memberikan contoh nyata yang berkesinabungan. Dari aspek nama sendiri, “Tol Laut” mungkin perlu dipikirkan
kembali. Seorang pakar hukum kelautan pernah berguyon dalam suatu diskusi
informal mengatakan bukankah secara harfiah artinya adalah suatu sistem
transportasi yang mengenakan biaya untuk melintasinya.
It is high time to set a list of priorities and stick to it dengan
memperhatikan keseimbangan kepentingan, kekurangan dan keutuhan kesatuan bangsa
yang majemuk ini.
Jakarta, 5 September 2015.
No comments:
Post a Comment