Thursday 14 May 2020

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan sebagai Saksi Fakta - Arbitration


Link to the article at hukumonline.com:

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan sebagai Saksi Fakta - Arbitration


Senin, 11 May 2020

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan Sebagai Saksi Fakta di Sidang Arbitrase
Oleh: Junaedy Ganie*)

Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa tidak memperoleh keadilan.

Sewaktu menjadi pembicara dalam suatu forum di Jakarta pada awal tahun 2020, seorang peserta menanyakan apakah forensic expert yang akan dihadirkan dalam suatu perkara penyelesaian persengketaan melalui arbitrase akan dihadirkan sebagai Ahli atau Saksi Fakta. Tambahan informasi adalah bahwa forensic expert tersebut telah bekerja untuk kepentingan penyelesaian klaim asuransi dan ditunjuk untuk melengkapi hasil penyelidikan yang dilakukan oleh loss adjuster yang ditunjuk oleh perusahaan asuransi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan telah mendorong saya mengembangkannya lebih jauh dalam tulisan ini.

Saya menjawab bahwa forensic expert bekerja berdasarkan keahliannya dan melakukannya setelah kejadian timbul (post factum), misalnya dalam klaim asuransi kebakaran, forensic expert baru terlibat setelah kebakaran padam. Forensic expert bukan pihak yang melihat langsung, mengetahui apa yang telah terjadi atau fakta yang ada sebelum timbul suatu klaim ataupun persengketaan klaim asuransi sebagaimana halnya dengan definisi Saksi Fakta.

Oleh karena itu, saya menyatakan bahwa forensic expert seharusnya dihadirkan sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. Sebagai pihak yang dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan berdasarkan keahliannya setelah timbul kejadian yang menjadi penyebab terjadinya sengketa, tidak ada pilihan yang tepat selain mendudukan forensic expert sebagai Ahli. Secara jelas, forensic expert tidak memenuhi definisi Saksi Fakta di atas.

Saya juga menyatakan bahwa kedudukan yang sama juga berlaku bagi loss adjuster, yaitu untuk dihadirkan dalam suatu persidangan arbitrase. sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. Alasan yang sama berlaku, yaitu dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan setelah kejadian, misalnya tentang penyebab kebakaran, menghitung jumlah kerugian. Loss adjuster tidak melihat, mengetahui atau terlibat apapun sewaktu kejadian terjadi, misalnya tidak mengetahui langsung jam berapa kebakaran timbul, berapa lama kebakaran berlangsung dan bagaimana kronologisnya, dari mana sumber api muncul, bagaimana proses pemadaman kebakaran berlangsung.

Loss adjuster dapat mengumpulkan informasi tersebut dari berbagai sumber setelah kejadian. Tugas loss adjuster adalah, berdasarkan keahliannya, memberikan opini dan rekomendasi dalam laporannya kepada penanggung, misalnya tentang apa penyebab kebakaran, apakah penyebab tersebut termasuk dalam lingkup pertanggungan polis dan berapa jumlah kerugian yang timbul dan berapa yang berhak diganti berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan polis.

Selanjutnya, apakah isi laporan yang disusun oleh loss adjuster atau forensic expert merupakan fakta? Penilaian loss adjuster atas keadaan yang telah terjadi (post factum) berdasarkan keahliannya belum merupakan suatu kebenaran yang mutlak, dapat berbeda dengan pendapat ahli yang lain, tergantung tingkat keahlian, pengalaman dan kehati-hatian masing-masing ahli. Sebagaimana dikemukakan di atas, kehadiran tenaga ahli pendukung seperti forensic expert dan ahli-ahli lain diperlukan terutama untuk suatu kejadian yang bersifat kompleks atau ketika loss adjuster yang ditunjuk memiliki keterbatasan, baik dalam keahlian maupun ketersediaan waktunya (availability). Oleh karena itu pendapat ahli tersebut dapat diperdebatkan dan untuk dipertimbangkan atau dikesampingkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa perkara.

Apa yang terjadi jika Ahli dihadirkan sebagai Saksi Fakta dan sebaliknya?
Adalah hak masing-masing pihak apakah akan mengajukan Ahli sebagai Saksi Fakta dalam suatu persidangan atau jika hendak mengajukan Saksi Fakta sebagai Ahli. Di sinilah para arbiter harus berperan untuk memberikan masukan kepada para pihak tentang implikasi jika terjadi salah pengajuan kapasitas. Persidangan akan kehilangan esensi jika terjadi kesalahan kapasitas. Jika kehadiran akan menimbulkan konflik kepentingan atau tidak akan mendatangkan manfaat yang wajar, arbiter atau majelis harus menolak, baik dengan atau tanpa adanya protes dari pihak lawan berperkara. Di sini perlu dibedakan antara ahli yang dihadirkan untuk memberikan keahlian teoritis dalam bidangnya dengan ahli yang menyusun laporan ahli yang menjadi materi pokok persengketaan.

Memang ada kalanya ahli dihadirkan pihak sebagai saksi fakta di persidangan. “Saksi Fakta” tersebut tidak akan memberikan manfaat banyak bagi pihak yang mengajukan dan arbiter atau majelis arbitrase sebab yang akan terjadi umumnya. Pertama, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan pihak yang mengajukan tidak dapat lari jauh dari tentang keahlian dan pendapat “saksi fakta” sehingga sidang akan terganggu interupsi pihak lawan yang protes atas pertanyaan-pertanyaan tentang keahlian dan pendapat “saksi fakta”.

Kedua, “saksi fakta” tidak dapat memberikan banyak informasi tentang fakta sebelum persengketaan timbul. Sebagai contoh, jika ahli yang menyediakan jasa meneliti dan mengevaluasi penyebab jalan longsor dihadirkan sebagai saksi fakta, maka akan sangat terbatas yang dapat dikemukakannya di persidangan sebab hal-hal yang dilihat, diketahui setelah persengketaan bukan kapasitas saksi fakta. Arbiter atau majelis akan lebih bijaksana untuk menolak kehadiran ahli yang hendak diajukan sebagai saksi fakta sebagaimana patutnya menolak menghadirkan ahli yang seharusnya didudukan sebagai saksi fakta sebab dapat menimbulkan konflik kepentingan atau penolakan. Terdapat tembok pemisah yang jelas diantara keduanya.

Bagaimana status laporan Ahli yang menjadi pokok persengketaan jika Ahli tersebut tidak dihadirkan untuk verifikasi atau dihadirkan sebagai Saksi Fakta?
Sebagaimana dikemukakan di atas, pendapat atau isi laporan yang disusun oleh loss adjuster atau ahli apapun yang menyediakan jasanya untuk melengkapi jasa loss adjuster bukan merupakan kebenaran mutlak atau fakta tetapi pendapat yang disusun berdasarkan keahlian sehingga dapat berbeda dengan pendapat ahli yang lain, apapun alasannya.

Oleh karena itu, arbiter perlu menguji dan menggali kebenaran dengan menghadirkan loss adjuster atau ahli-ahli lain yang pendapatnya yang menjadi bagian dari dasar laporan loss adjuster. Para arbiter juga perlu memperhatikan dan mempertimbangkan argumentasi hukum dan teknis pihak yang menolak kebenaran isi laporan dan pendapat ahli atau ahli-ahli lain yang dihadirkan pihak lawan yang berbeda dengan pendapat loss adjuster penyusun laporan sebelum memutus suatu perkara.

Adalah lumrah bahwa para arbiter belum tentu sangat ahli dalam bidang yang dipersengketakan sehingga dalam mengambil putusan akan mendengarkan pendapat ahli atau ahli-ahli dari kedua belah pihak. Bahkan menunjuk sendiri ahli yang diperlukan atas biaya para pihak. Selanjutnya, jika laporan ahli yang disusun loss adjuster sebagai rekomendasi bagi penanggung ditolak oleh pihak lawan dan menjadi materi pokok persengketaan, apakah arbiter atau majelis dapat menjadikannya sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memutus perkara tanpa menghadirkan ahli penyusun laporan di persidangan untuk melakukan verifikasi atas kebenarannya dan memberikan hak kepada lawan untuk melakukan pemeriksaan silang (cross-examination)? Apakah para arbiter akan memperoleh dasar pertimbangan hukum yang kuat untuk memutus jika loss adjuster tidak dihadirkan sebagai ahli?

Demikian juga halnya, jika ahli yang menyusun laporan pendukung yang menjadi dasar material bagi loss adjuster untuk membuat pendapat dan rekomendasinya kepada penanggung tidak dapat berbicara tentang kejadian yang post factum dan tidak dapat memberikan opini sebab dihadirkan sebagai saksi fakta? Apabila laporan ahli seperti loss  adjuster yang menjadi pokok persengketaan telah dijadikan dasar pertimbangan hukum tanpa verifikasi atas laporan tersebut di persidangan oleh arbiter/majelis arbitrase untuk menolak atau mengabulkan tuntutan arbitrase suatu pihak, terdapat risiko yang besar bahwa penuntut atau pihak yang dirugikan tidak mendapat keadilan yang menjadi haknya dalam persidangan, terlepas apapun putusan akhir dari arbiter. Arbiter atau majelis arbitrase akan sulit untuk berbuat adil atau tampak adil apabila tidak melakukan verifikasi atas isi laporan loss adjuster yang ditolak pihak lawan yang justru menjadi materi pokok persengketaan.   

Apakah arbiter dapat menyampingkan argumentasi salah satu pihak dan pendapat ahli yang diajukan salah satu pihak tanpa memuatnya dalam pertimbangan hukum?
Arbiter tunggal atau majelis arbitrase dapat saja mengenyampingkan pendapat satu atau lebih ahli tanpa memuat dalam pertimbangan hukumnya apabila terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang kuat yang dimuat dalam pertimbangan hukum yang dengan sendirinya akan membantah pendapat berbeda dari ahli lain.

Namun, ketika laporan yang menjadi pokok persengketaan tidak diverifikasi di persidangan, tidak ada kesempatan pihak lawan untuk melakukan pemeriksaaan silang atas keterangan ahli yang menyusun laporan (atau pendapat ahli pendukung ahli utama) yang isinya menjadi sumber persengketaan dan ahli pendukung tidak dapat berbicara banyak sebab didudukan sebagai saksi fakta, arbiter atau majelis arbitrase tidak patut untuk menafikan keberadaan pendapat ahli yang berbeda dengan isi laporan yang menjadi pokok persengketaan tanpa mengemukakan bantahan yang lengkap dan memiliki dasar yang kuat dalam pertimbangan hukumnya.

Tanpa melakukannya, laporan yang tidak diverifikasi tersebut tidak patut untuk menjadi dasar pengambilan putusan. Keadaan akan menjadi semakin tidak patut apabila argumentasi hukum dan teknis pihak yang dikalahkan tidak dibahas dan dipertentangkan dengan laporan yang menjadi dasar pertimbangan hukum arbiter. Akibatnya, pihak yang dikalahkan juga tidak akan dapat mengerti dasar penolakan sehingga dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi citra arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang adil.

Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa tidak memperoleh keadilan. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang kalah untuk menuntut keadilan sekiranya merasa pengadil telah lalai sementara arbiter memiliki hak imunitas di bawah pasal 21 No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) dan putusan arbitrase bersifat final and binding?

Imunitas arbiter akan gugur apabila dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan arbiter atau majelis arbitrase. Meskipun bukan merupakan obyek dari pasal 70 UU Arbitrase, atas dugaan yang terkait langsung substansi yang menjadi dasar timbulnya persengketaan, seyogyanya tersedia pintu untuk melakukan upaya pembatalan ke Pengadilan Negeri. Namun, hal ini akan mengalahkan semangat bahwa arbitrase akan menyelesaikan persengketaan secara imparsial, cepat dan adil sebab para pihak harus memasuki ranah persengketaan panjang yang memerlukan waktu dan dana yang bisa sangat besar. Mungkin sudah waktunya Kode Etik Arbiter pada lembaga arbitrase manapun di Indonesia mengatur pasal untuk mengujinya apabila dalam proses pengambilan putusan arbiter melakukan kelalaian.

*)Dr. Junaedy Ganie, FCBArb, MCIArb, ANZIIF (Fellow), AAIK (HC), CIP, ChFC, CLU, adalah Arbiter Senior.



Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.




Monday 30 March 2020

OJK dan Rejuvenasi Asuransi (FSA and Insurance Rejuvenation)

I wrote the article below in Kompas Daily on 24 March 2020. It discusses how the Financial Service Authority (OJK) may collaborate with other stakeholders to rejuvenate the insurance industry in Indonesia. 

You may find a link in Kompas Daily to the English version which is available to its subscribers of premium contents: OJK and Insurance Rejuvenation




Thursday 5 March 2020

JIWASRAYA, NASIBMU KINI - Kebijakan Publik

Dear All,
The article below was published in Kompas daily on 9 January 2020. The topic is still quite relevant today. For easy reading, I have also prepared the typewritten version under the printed article.
Warmest regards


Kompas, Opini, 9 Januari 2020




JIWASRAYA, NASIBMU KINI
Junaedy Ganie
Pengamat Kebijakan Publik, Pakar Hukum & Asuransi, Praktisi Bisnis

Bisnis asuransi merupakan bisnis kepercayaan yang produknya masih harus dijual, di tawarkan melalui berbagai strategi dengan perjuangan berat. Belum didatangi pembeli perusahaan asuransi harus berjuang keras memperoleh kepercayaan masyarakat atas kemampuannya memenuhi janji di masa depan, yaitu ketika klaim diajukan. Di sinilah, faktor modal, reputasi, produk dan kualitas layanan, kompetensi manajemen, pengawasan internal dan eksternal, teknologi, serta sumber daya manusia (SDM) berperan sangat besar.  
Didirikan pada tahun 1859 bernama NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatchappij van 1859 menjadikan Jiwasraya perusahaan asuransi tertua di Indonesia. Sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN), Jiwasraya menikmati sejumlah privilege yang tak dimiliki pesaing non-BUMN. Tinggi kepercayaan BUMN lain melakukan sinergi penempatan asuransi dengan Jiwasraya. Modal, bukan soal sebab di mata masyarakat luas, kedudukan sebagai BUMN memberikan jaminan pemerintah : tidak akan pernah bangkrut !
Faktor-faktor daya saing tadi bukan beban bagi Jiwasraya dalam persaingan. Pembeli polis Jiwasraya, melalui 7 bank termasuk bank BUMN dan bank-bank asing, mempercayakan keamanan dana mereka. Per Desember 2019 ada 17,000 pemegang polis dari 7 juta nasabah Jiwasraya, termasuk 470 warga negara Korea Selatan. Namun, BUMN ini telah menimbulkan nestapa kepada para nasabah yang ditunggak klaimnya, mencapai Rp 802 milyar per Oktober 2018 dan Rp 12.4 triliun per Desember 2019. Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin, kerugian negara mencapai Rp 13.7 triliun per September 2019, dan bahkan sebenarnya lebih besar lagi. Ini rekor tersendiri.

Dalam 10 - 15 tahun terakhir, industri asuransi jiwa mengalami pertumbuhan fenomenal, bahkan sempat bertahun-tahun tumbuh dua digit, terutama didukung saluran bancassurance dan sejumlah produk yang mengandung komponen investasi, bukan polis proteksi umumnya. Pertumbuhan yang tinggi, peningkatan kemakmuran agen-agen asuransi seiring dengan meningkatnya minat membeli asuransi membuat profesi agen asuransi berhasil menarik berbagai lapisan masyarakat. Potensi bisnis asuransi jiwa yang sangat menjanjikan di Indonesia membuat investor dari banyak negara berlomba-lomba membawa dana besar memasuki sektor asuransi Indonesia.
Perusahaan asuransi jiwa seperti tak ada matinya dan selalu cepat bangkit kembali dari dampak penurunan atau gejolak ekonomi.  Lalu, apa yang terjadi dengan Jiwasraya yang perusahaan dan direksinya bertabur penghargaan? Keberhasilan Jiwasraya menjual polis JS Saving Plan sempat membuat pesaing kelabakan. Pesaing mungkin menyimpulkan strategi itu hanya Jiwasraya, sebagai BUMN, yang dapat melakukannya!
Seperti selimut pelindung hanya BUMN yang beruntung memilikinya. Menoleh ke belakang, sebagai orang yang ketika memimpin transformasi korporasi menyeluruh di sebuah perusahaan asuransi jiwa anak BUMN, menghentikan penjualan baru atas 38 produk, terutama yang memberi jaminan keuntungan tinggi. Ini sebagai antisipasi atas ketakpastian dan tren penurunan suku bunga global. Terkuaknya kegagalan Jiwasraya membayar klaim jatuh tempo Rp 802 milyar pada Oktober 2018 memberikan jawaban. Menyedihkan nasib yang menimpa Jiwasraya yang konon nilai ekuitasnya negatif Rp 23.92 triliun kuartal III-2019, menyusul kegagalan Asuransi Jiwa Bumiputera 1912, pelopor asuransi jiwa anak bangsa.

Akuntabilitas kepemimpinan dan pengawasan
Sementara menunggu langkah otoritas terkait nasib klaim nasabah dan masa depan Jiwasraya, mudah-mudahan pemikiran dari penulis yang lebih dari 30 tahun mendalami bidang perasuransian dapat menjadi masukan bagi semua pemangku kepentingan.
Pertama, seleksi jajaran manajemen BUMN. Seringnya gonta ganti kepemimpinan BUMN terutama BUMN besar, baik saat di bawah menteri yang sama maupun setelah terjadi penggantian menteri, menimbulkan tandatanya. Selain soal kesinambungan strategi korporasi, apakah seleksi telah dilakukan secara benar? Apakah kesuksesan usaha saja tak cukup, apakah kesalahan, kegagalan menyingkirkan? Adakah peran tekanan politik atas seleksi dan kebijakan dan pengelolaan usaha. Ini tidak bertujuan mengecilkan arti keberhasilan kepemimpinan beberapa BUMN.
Kedua, efektifitas peran dewan komisaris yang memberi nasihat dan mengawasi pengelolaan oleh direksi sangat tergantung latar belakang dan adanya kompetensi yang saling melengkapi di antara dewan komisaris. Jika didominasi oleh penunjukan yang bersifat politis semata, perannya sulit berjalan baik. Peran dewan komisaris adakalanya menjadi “pengetuk pintu” hubungan dengan pihak ketiga mungkin tetap diperlukan. Namun, kesesuaian atas kebutuhan perseroan dan keseimbangan fungsi adalah keniscayaan.
Tanpa kombinasi itu, rapat direksi dan dewan komisaris dapat menjadi formalitas semata. Dalam kasus Garuda, apa yang akan terjadi pada pembukuan labanya dan bonus pengurus jika dua anggota dewan komisaris tidak menolak laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Bagaimana pula akuntabilitas penurunan laba Jiwasraya tahun 2017 yang dari 2.4 triliun turun drastis menjadi Rp 360 milyar?
Ketiga, komite perangkat direksi dan perangkat dewan komisaris yang berfungsi. Dalam kasus Jiwasraya, patut dipertanyakan apakah tiga komite direksi, yaitu Produk, Investasi dan Risiko, telah berperan efektif. Demikian juga halnya peran tiga komite perangkat dewan komisaris, yaitu Audit, Pemantau Risiko dan Komite Remunerasi & Nominasi, termasuk adanya pendekatan six eyes dengan adanya anggota komite qualified dari eksternal.
Keempat, pertemuan antara kebutuhan pelaku usaha, konsumen, dengan peran regulasi dan peran pengawasan Otoritas Jasa Keuangan OJK dengan tujuan sama, yaitu kemajuan usaha, keseimbangan kepentingan bagi semua pelaku usaha terkait, akuntabilitas direksi, dewan komisaris dan komite pendukungnya, akuntabilitas lembaga pendukung termasuk aktuaris dan Kantor Akuntan Publik,  perlindungan konsumen, jaminan keandalan produk, kecukupan cadangan, ketegasan sanksi atas keterlambatan atau gagal bayar, dan kepentingan nasional.
Adalah penting memastikan kompetensi, pengalaman dan kelengkapan infrastruktur SDM otoritas terkait tidak kalah dengan kemampuan pelaku industri yang diawasi. Peran DPR yang dari waktu ke waktu memanggil Pengurus BUMN, interaksi langsung Kementerian BUMN dan peran pengawasan oleh pemegang saham, keberadaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sebenarnya membuat infrastruktur pengawasan BUMN telah berlapis.  

Pembiaran?
Kelima, apabila borok Jiwasraya sudah ada sejak lama, apakah selama ini terjadi pembiaraan atau tak ada kepemimpinan, di tingkat mana pun berani bersikap, membuka permasalahan, merembukkan solusi terbaik ketika masalah belum sebesar sekarang? Akan lebih celaka lagi jika solusi yang dipilih justru mengandung risiko lebih besar yang di mata ahli hanya akan menjadi bom waktu dan memperbesar petaka. Bagaimana kegagalan dalam rangkaian proses perencanaan, pengelolaan, rencana usaha dan pengawasan atau sejak dari desain produk sampai ke pengawasan akhir terjadi?
Keenam, tindakan nyata lahir dari kemauan politik yang kuat untuk mengharmonisasi perbedaaan ketentuan antara UU BUMN dan UU Kekayaan Negara tentang status penyertaan modal dari kekayaan negara. Kapan dianggap sebagai tindak pidana dan murni strategi korporasi yang prudent berdasarkan standar, kondisi dan nilai-nilai saat keputusan korporasi diambil. Tanpa kepastian, pengurus BUMN akan tetap dihantui risiko merugikan kekayaan negara yang timbul dari tindakan kebijakan korporasi atau, sebaliknya, terjadi kerugian negara tanpa pertanggungjawaban.
Langkah pemerintah menangani kasus BUMN ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat atas jaminan asuransi secara umum dantanggung jawab pemerintah sebagai pemegang saham. Masyarakat Indonesia telah dewasa dan mampu memilah bahwa kegagalan Jiwasraya tak serta-merta mencerminkan risiko kegagalan pada sektor asuransi jiwa secara umum. Namun, belum adanya pembentukan Perusahaan Penjamin Polis sebagaimana Lembaga Penjamin Simpanan pada perbankan, dan apapun penyebab gagal bayar Jiwasraya, jelas bukan karena kesalahan nasabah telah mempercayakan uang mereka pada Jiwasraya. Sebagaimana nasabah yang menyimpan uang di bank BUMN, hak nasabah perlu diutamakan.
Entahlah ada kelalaian bank penjual dalam memberikan penjelasan ke calon nasabah. Jika pilihannya likuidasi, tentu telah dipikirkan secara matang. Dalam upaya penyelamatan AJB Bumiputera, bentuknya sebagai Usaha Bersama (Mutual) dapat dianggap sebagai hambatan, Jiwasraya yang bukan sebuah Usaha Bersama mungkin menyembunyikan tantangan tersendiri. 
Pemberian bunga berjalan sebuah langkah antara yang baik. Akan menarik bentuk tanggung jawab terhadap klaim yang timbul, sekaligus atau bertahap sesuai kemampuan dan pilihan terbaik yang tersedia, termasuk melahirkan Jiwasraya Putera. Jika holding asuransi, apakah sebatas sesama BUMN atau melangkah jauh melibatkan berbagai perusahaan asuransi jiwa, anak BUMN, seperti BNI Life, BRI Life, Axa Mandiri, Inhealth.
Apapun, kini Jiwasraya di tangan kepemimpinan jago-jago merger dan akuisisi (M&A) dan restructuring yang tentu sangat menghargai efektifitas kepemimpinan, pengawasan dan peraturan. Pemerintah pernah melahirkan Reindo menggantikan IndoRe yang mengalami kesulitan keuangan, sesama perusahaan reasuransi BUMN. Ketika itu tidak melibatkan nasabah secara langsung dan perusahaan-perusahaan asuransi yang mereasuransikan kepada IndoRe tidak diketahui gagal bayar kepada nasabah akibat non aktifnya IndoRe. Wallahualam.
Queenstown, New Zealand, 26 Desember 2019
Dr. Junaedy Ganie