Friday 3 July 2015

Rencana pengenaan pajak progresif atas kepemilikan kendaraan bermotor atas dasar domisii. Patutkah? - Public Policy


Rencana pengenaan pajak progresif atas kepemilikan kendaraan bermotor. Patutkah?

Oleh; Dr Junaedy Ganie

 Dengan alasan untuk mengurangi minat terhadap kepemilikan kendaraan bermotor, pemerintah menerapkan pajak progresif atas kendaraan kedua dan seterusnya yang bertingkat menjadi lebih besar. Ketentuan ini telah diterima sebagai norma yamg berlaku. Dengan disinsentif pajak tersebut pemerintah mengharapkan masyarakat akan memilih untuk mempergunakan kendaran umum, bukan membeli mobil baru. Ketentuan tersebut sampai batas tertentu dapat dimengerti namun sejauh mana keterbukaan pemerintah tentang besaran dana yang terkumpul dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk fasilitas angkutan umum yang lebih banyak dan lebih baik. Jika sarana angkutan umum mencukupi, nyaman dan aman sebagian besar lapisan masyarakat tentu akan memilih kendaraan umum. Nanti bisa dibuktikan setelah MRT dan LRT beroperasi.Pada awal kehadiran TransJakarta (yang entah bagaiama dulu lebih dikenal dengan  nama Bus Way) saya pribadi dan beberapa rekan sering memilih naik TransJakarta untuk menghadiri kelas pendidikan jam 5 sore di daerah 3 in 1 dan meminta supir menyusul setelah jam 7 malam karena TransJakarta masih nyaman, memiliki frekuensi kedatangan yang cepat dan semua “kebagian” tempat duduk.  Seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat, TransJakarta telah menjadi kebutuhan pokok yang lebih tinggi dari ketersediaannya.

Selanjutnya, belum lama ini saya mendengar adanya rencana pemerintah untuk mengenakan pajak progresif atas dasar kepemilikan kendaraan bermotor berdasarkan domisili nama pemilik kendaraan. Akibatnya, apabila kelak diterapkan maka beban pajak bagi mobil anak dan keluarga yang masih tinggal bersama orang tua akan sangat membebani masyarakat padahal kita mengetahui terdapat sejumlah anggota masyarakat yang menumpang karena belum mampu memiliki rumah sendiri dan memiliki kendaraan bukan untuk kemewahan tetapi untuk efisiensi dan kelancaran mobilitas karena sarana angkutan umum yang tidak memadai. Entah apa penyebabnya selama ini sebab dari apa yang kita sering kita dengar dari Gubernur Ahok, dapat kita simpulkan bahwa pemerintah DKI itu sebenarnya kaya dan mampu membeli dan terbukti sekarang mulai mengejar ketinggalannya.

Terlepas dari pro dan kontra bahwa ketika  perekonomian sedang sulit, kebijakan perpajakan harus dibuat lebih rilek untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi, timbul pertanyaan apakah pejabat yang merencanakan pengenaan pajak progresif atas dasar domisili tersebut masih dianggap normal atau tidak. Melihat dari jenis pajaknya, pemikiran tentang kebijakan tersebut besar kemungkinan datang dari Pemda DKI. Pandangan  yang muncul adalah bahwa pemerintah lebih memilih memperbesar pendapatan pajak dari masyarakat yang taat pajak. Sementara itu, di saat pencapaian target pajak yang tertinggal dari target, dari semua lapisan potensi Wajib Pajak, rasio kepemilikan NPWP masih kecil dan dari pemilik NPWP tersebut, jumlah yang menyerahkan SPT juga masih kecil. Semoga aparatur negara kita dapat melakukan inovasi dan menemukan pemikiran yang lebih kreatif dan efektif dalam meningkatkan pendapatan pajak. Bukan hanya sekedar mengambil jalan pintas dan melupakan dampak dan tanggung jawab sendiri serta  lupa bahwa dengan sarana angkutan umum yang baik, masyarakat secara otomatis akan memanfaatkannya.

Mari kita dukung dan menunggu bukti efektifitas dan buah dari peningkatan remunerasi bagi pegawai kantor pajak terhadap peningkatan pendapatan pajak dengan cara yang sehat.

 

Jakarta, 3 Juli 2015 / 16 Ramadan 1436 H

Peregeseran Pola Pikir dan Budaya Bangsa - Pembangunan Karakter Bangsa


PERGESERAN POLA PIKIR DAN BUDAYA BANGSA

 

Dr. Junaedy Ganie

Selama puluhan tahun saya merasa beruntung berdiam di suatu lingkungan  tempat tinggal yang para penghuninya saling perduli dan mengenal satu sama lain dengan baik dan memiliki begitu banyak kegiatan bersama yang memfasilitasi terciptanya lingkungan yang saling mengenal dengan baik, mulai dari kegiatan olahraga, sosial budaya dan agama serta kegiatan remaja. Bahkan acap kami merasa lebih baik memilih merayakan acara Tahun Baru di lingkungan tempat tinggal karena memiliki acara yang meriah sampai pagi. Tapi itu cerita dulu, tuntutan kehidupan dan pergeseran prioritas membuat perubahan sehingga secara bertahap tanpa terasa kehidupan di lingkungan kami yang memiliki alam hijau dan berbukit juga berubah. Ada yang hilang yang perlu diraih kembali.

Jauh sebelum menginjakan kaki di Jakarta lebih dari tiga dasa warsa lalu lalu, saya sering mendengar pameo ‘lu-lu, gue-gue” yang dicamkan sebagai budaya orang Jakarta. Bagian dari pemahaman tersebut diartikan bahwa orang yang tinggal di Jakarta tidak akan saling perdulikan dan bahkan jika pendatang atau seseorang menanyakan sebuah alamat, jangan harap orang Jakarta akan mau memberitahu walaupun mungkin mereka mengetahuinya dan bahkan alamat yang ditanyakan sangat dekat dari tempat bertanya. Harus begitu bersikap, kalau mau jadi orang Jakarta. Mungkin begitu yang ada di pikiran sekelompok pendatang. Berbeda halnya dengan pameo yang saya dengar begitu tiba di Australia dalam kurun waktu yang tidak jauh berbeda bahwa seorang Aborigin akan dengan mudah membantu menujukan arah walaupun dengan sikap yang khas, misalnya: “Dari sini lurus dan belok kanan pada belokan kedua nanti. Disana bertanyalah kepada orang pertama yang anda temui”. Saya kira ini sudah menjadi cerita usang tetapi ada yang mengatakan bahwa jika didalami, sikap tersebut merupakan refleksi dari sikap “berpamitan” yang merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang memberikan arti yang lain dan dapat menjadi bahan diskusi yang lain lagi.  

Setelah menetap di Jakarta, pandangan tersebut perlahan berubah karena penduduk Jakarta tidak semuanya demikian sifatnya. Gambaran tersebut merupakan suatu refleksi kecil dari pengalaman segelintir orang yang berkembang mempengaruhi pandangan masyarakat yang lebih luas. Akibatnya pendatang baru yang menetap di Jakarta yang datang dengan pemahaman yang keliru tersebut menerapkan sikap yang sama begitu tiba di Jakarta, sesuatu yang terus berkembang padahal bukan begitu sikap umumnya. Namun pada lingkungan dengan pendidikan yan baik terdapat sikap yang berbeda yang menjadikan mereka kelas masyarakat yang lebih terbuka, lebih bersahabat dan lebih bersedia membantu. Sebagai perbandingan, di kota besar seperti London, Tokyo (walaupun memiliki hambatan bahasa)  atau daerah-daerah yang warganya  sadar tentang pentingnya pariwisata bagi perekonomian negaranya atau bangga tentang tingkat adab dan budaya mereka, permintaan petunjuk arah jalan akan dilayani dengan baik.

Pengalaman saya sekitar 6 minggu lalu menggelitik saya untuk mencoba mendalami lebih jauh dan menjadikannya bahan diskusi ringan untuk memperoleh pandangan dari beberapa orang lain yang saya kenal walaupun belum dapat dijadikan suatu refleksi hasil riset yang mendalam.

Ketika itu, setelah bertanya bolak balik pada beberapa orang untuk mencari sebuah alamat, kami yang datang dari arah yang berbeda dan dengan kendaraan yang berbeda mengalami pengalaman yang sama, yaitu kesulitan menemukan alamat suatu perusahaan besar di jalan yang besar pula di daerah Jakarta Utara. Entah bagaimana, alat bantu navigasi di kendaraan kami juga tidak berhasil membantu banyak karena menuntun kami memasuki pilihan jalan yang tidak kami kehendaki karena kondisinya yang jelek atau kotor. Semua orang  yang ditanya supir saya tidak berhasil memberi arah yang menuntun kami ke tempat tujuan dan membuat kami harus membuang banyak waktu karena harus berputar-putar dengan tidak jelas sehingga saya akhirnya memutuskan untuk turun dan bertanya langsung kepada seseorang di depan sebuah pabrik, seseorang yang belakangan saya ketahui bekerja di pabrik tersebut. Ternyata jangankan untuk mengetahui lokasi jalan/alamat yang saya hendak tuju, pekerja tersebut bahkan tidak tahu nama jalan tempat pabrik tempatnya bekerja! Katanya dia hanya mengenal nama Blok saja dan tidak tahu nama jalannya. Rasa panasaran terhadap sikap tersebut membuat saya memasuki gedung pabrik tersebut dan bertanya langsung kepada sekitar 8 – 10 orang yang sedang berkumpul di dalam. Ternyata mereka juga tidak dapat memastikan nama jalan di depan tempat mereka bekerja dan tidak sepakat dengan nomor Blok lokasi pabrik mereka. Sebagian mengatakan Blok C dan ada yang mengatakan Blok G. Dari pengejaran melalui pertanyaan-pertanyaan, saya dapat membaca situasi dan sikap masing-masing sehingga menilai yang mengatakan Blok G tampak lebih dapat diandalkan jawabannya dan dari seseorang diantara mereka tersebut saya berhasil mengetahui bahwa untuk sampai ke alamat yang hendak saya tuju saya hanya perlu keluar dari gedung pabrik mereka ke arah kanan dan langsung belok kanan sekitar 50 meter kemudian dan adalah bangunan ketiga setelah belokan tersebut, sama-sama di Blok G.

Ternyata keadaan tersebut tidak berdiri sendiri. Seorang kolega mengatakan dia melakukan pengujian tunggal setelah mendengar pengalaman saya dan dia sangat terkejut mengetahui bahwa supirnya yang telah bekerja 3 bulan padanya tidak mengetahui nama jalan di samping rumahnya yang menjadi lokasinya tempatnya mencuci mobil setiap pagi! Tidak mengetahui alamat yang ditanyakan adalah sesuatu yang dapat dimaklumi tetapi tidak mengetahui nama jalan tempat mencari nafkah menimbulkan tanda tanya besar tentang keganjilan pada pola pikir dan budaya sekelompok masyarakat.

Pengalaman tersebut dan beberapa diskusi yang saya alami membawa saya pada suatu kesimpulan yang mungkin menarik untuk diuji oleh peminat atau ahli perilaku perubahan budaya masyarakat dan dampaknya tentang apakah tingkat kesulitan perekonomian dan tekanan kehidupan sehari-hari menciptakan suatu kelas masyarakat yang hanya berpikir singkat seperti yang dikemukakan buruh-buruh pabrik yang saya ceritakan di atas: “Yang penting saya tahu bagaimana bisa sampai ke tempat saya bekerja”. Atau seperti jawaban si supir, “Kita kan sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan saya yakin supir-supir lain di sekitar juga seperti saya” walaupun dia memiliki begitu banyak waktu kosong yang tersedia sewaktu menunggu tugas mengantar majikannya.

Dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan pembangunan masyarakat Indonesia jika gambaran di atas merupakan indikasi pola pikir dan budaya yang berkembang di kalangan bawah. Hal ini juga berarti betapa pentingnya penerapan program Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi dalam janji kampanyenya dulu.

Jakarta, 3 Juli 2015/16 Ramadan 1436 H