Thursday 15 December 2016

Quo Vadis AJB Bumiputera 1912 - Bisnis Indonesia 13 December 2016 - Insurance



  • Home



  • Opini & Analisis

  • Quo Vadis AJB Bumiputera 1912

    Junaedy Ganie* Selasa, 13/12/2016 07:44 WIB
    AJB Bumiputera 1912 (AJB) adalah perusahaan asuransi swasta tertua di Indonesia dan satu-satunya perusahaan yang berbentuk usaha bersama. Bentuk usaha ini selaras dengan isi Pasal 33 ayat 1 UUD 1945. AJB lahir sebagai solusi dari keprihatinan atas kesejahteraan guru-guru pribumi di zaman penjajahan.
    AJB telah melalui berbagai krisis mulai dari krisis ekonomi zaman kolonial, Perang Dunia, perjuangan kemerdekaan, tiga kebijakan saneering dan krisis politik 1966. Badai krisis moneter 1998 tanpa pemerintah harus menggelontorkan dana besar seperti BLBI pada sektor perbankan. Walaupun sejak krisis tersebut dan akibat beberapa kebijakan manajemen perjalanan AJB selanjutnya melamban.
    Pemberitaan tentang restrukturisasi AJB melalui backdoor listing dalam prospektus Evergreen, 24 Oktober 2016 dengan rencana right issue sampai Rp40 triliun dapat menjadi yang terbesar kedua di Indonesia setelah right issue Bakrie pada Maret 2008. Masuknya Evergreen melalui skema restrukturisasi rumit dimulai dengan akuisisi 99% saham Bumiputera 1912, anak usaha AJB yang didirikan Juni 2016 perlu dibahas tersendiri dan wajarlah beberapa pemegang polis AJB ingin mengetahui lebih banyak.
    Dalam prinsip dasar asuransi jiwa, penanggung harus menyisihkan cadangan teknis  seimbang dengan kewajiban. Adanya beberapa versi kesenjangan antara aset dan kewajiban yang muncul di media mulai dari Rp2,7 triliun – Rp15 triliun, bahkan lebih menimbulkan pertanyaan tentang tertib administrasi AJB. Apapun skemanya, dana hasil right issue diperkirakan untuk menutup kesenjangan yang ada.
    Namun, terdapat argumentasi bahwa kewajiban AJB kini adalah untuk sampai 2077. AJB tidak terdesak untuk memperoleh dana sangat besar yang dibayar dengan perpindahan aset, yang penting adalah upaya penyehatan agar mampu memenuhi  kewajiban jangka pendek dimulai dengan klaim yang akan jatuh tempo pada 2017 dibanding proyeksi pendapatan yang katanya akan senjang.
    AJB didirikan dengan struktur tanpa modal dan pemegang polis (kecuali pemegang polis tertentu) adalah pemegang saham (anggota AJB). Anggota tidak memindahkan risiko seperti  asuransi pada umumnya tetapi sharing of risk, sharing of burden. Ancaman pencairan polis serentak oleh nasabah seharusnya tidak terjadi seperti pada perbankan atau perusahaan asuransi lainnya sebab AJB berutang kepada pemegang saham sendiri. Masalahnya, tidak terbukanya AJB selama ini membuat sebagian besar pemegang polis mungkin tidak menyadari bahwa mereka adalah pemegang saham.
    Penerapan RBC sebagai ukuran kesehatan usaha bersama dipertanyakan oleh pihak yang berpendapat bahwa ukuran yang wajar adalah tingkat likuiditas. Permasalahannya, AJB belum keluar dari kesulitan likuiditas, bahkan semakin parah walapun OJK telah terlibat dalam pemilihan pengurus sejak 2013. Terakhir, OJK mengambil langkah besar pada 21 Oktober 2016 berdasarkan Pasal 62 UU No. 40/2014 tentang Usaha Perasuransian, menonaktifkan direksi dan dewan komisaris dan menunjuk Pengelola Statuter (PS).
    Dalam Pasal 60 ayat (2) g, dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, OJK berwenang menetapkan pengendali perusahaan asuransi dan Pasal 65 menyatakan bahwa PS wajib mempertanggugnjawabkan segala keputusan dan tindakan kepada OJK. Menurut Pasal 2 Per. OJK No. 41/POJK.05/2015, OJK dapat menunjuk dan menetapkan penggunaan PS untuk mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi pengurus, sejalan dengan pernyataan pejabat OJK bahwa Badan Perwakilan Anggota (BPA) tidak lagi memiliki organ-organ di bawahnya, tidak dapat menyentuh PS, selain didasari UU tentang OJK No. 11/2011.
    Penunjukan PS diikuti dengan perikatan perjanjian penjualan 99% saham anak perusahaan kepada Evergreen sehari setelah pengangkatan PS. Apabila persetujuannya dari OJK, mungkinkah terdapat benturan dengan prinsip yang melekat pada kedudukan BPA sebagai perwakilan pemegang polis dan ketentuan Anggaran Dasar (AD) AJB mengingat tanggung jawab BPA adalah kepada pemegang polis yang tidak dimintai persetujuan atas kebijakan tersebut?
    Dalam hal terjadi kerugian yang tidak dapat ditutup oleh dana cadangan umum dan dana jaminan, menurut Pasal 38 AD AJB, Sidang Luar Biasa BPA akan memutuskan apakah AJB akan dilikuidasi atau dilanjutkan dengan bentuk usaha sama atau berubah menjadi bentuk lain. Apabila dilanjutkan, sisa kerugian dibagi secara prorata di antara anggota AJB sesuai cara yang ditetapkan BPA.

    PAYUNG HUKUM
    Isu vital lainnya adalah belum adanya payung hukum menaungi usaha bersama. Menurut Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian, usaha bersama akan diatur dalam UU tersendiri. Terhadap judicial review diajukan tim advokasi AJB, Mahkamah Konstitusi (MK) pada April 2014 memutuskan bahwa UU tentang usaha bersama harus dibuat paling lambat 2 Oktober 2016.
    Menurut Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014, usaha bersama akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Terakhir, pada 21 November 2016, Kemenkeu menyatakan bahwa PP sedang dalam proses. Apabila usaha bersama diatur dalam PP, apakah pemerintah tidak menyimpangi ketentuan Pasal 10 (1) UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa tindak lanjut atas putusan MK harus diatur dengan UU.
    Keberhasilan OJK membangkitkan AJB sangat dinanti, apapun bentuknya. Ikhtiar OJK yang katanya melibatkan Kemeneg BUMN dan Kemenkeu dalam melakukan restrukturisasi AJB patut dipuji termasuk upaya mendorong partisipasi berbagai BUMN seperti melalui kerjasama bancassurance. Dimana mereka dalam skema Evergreen? Jika benar AJB yang sedang kesulitan keuangan duduk sebagai stand by buyer, apakah berarti bila right issue gagal, semua kembali ke titik nol lagi? Siapa yang siap? Transparansi akan menjernihkan banyak hal.
    Belum lama ini diberitakan bahwa rencana right issue, yang semula akan tuntas akhir tahun ini, ditunda ke awal 2017 disebabkan dinamika dunia keuangan setelah kemenangan Trump. Apakah terdapat opsi lain yang dapat ditempuh untuk membangkitkan raksasa ini dan bagaimana urutannya?
    Dengan sejarah panjang, 3.000 karyawan, 30.000 agen, 5 juta pemegang polis, AJB adalah aset nasional yang perlu didukung untuk berada di garda depan bisnis asuransi nasional yang memiliki potensi sangat besar sebagaimana keberhasilan investasi asing di Indonesia. Namun, semua benturan ketentuan perundang-undangan perlu diatasi lebih dahulu agar terdapat payung hukum yang pasti.
    Selain kebijakan right issue, perlu dipertimbangkan upaya memperbaiki kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek melalui struktur dan bisnis model yang kuat, pengurus yang tepat bersamaan dengan mobilisasi kekuatan bersama untuk mempertahankan agar AJB dapat tetap menjadi usaha yang monumental.
    Kegagalan usaha terkait erat dengan kegagalan dalam manajemen perusahaan, pengawasan, pengendalian dan efektifitas peraturan. Ke depan adalah vital untuk mendudukan pertanggungjawaban pengelolaan dan pengawasan secara proporsional dan memastikan berjalannya GCG secara baik. Terpenting adalah bagaimana perlindungan kepentingan pemegang polis dapat dipenuhi.

    *) Junaedy Ganie, Pakar asuransi, manajemen, dan hukum bisnis

    Monday 1 August 2016

    Tantangan & Kesempatan Bisnis Asuransi Dalam MEA - Insurance


    oleh Dr. Junaedy Ganie
    (Pertama kali diterbitkan oleh Majalah Integritas dalam Edisi 19 pada Mei 2016)
    Berlalu sudah berbagai pro dan kontra tentang kesiapan pelaku industri asuransi Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tanpa terasa, beberapa bulan telah berlalu sejak MEA secara resmi diberlakukan sementara kegiatan bisnis asuransi domestik mungkin masih berjalan sebagai business as usual.

    Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan informal tentang kesiapan Indonesia memberikan indikasi bahwa sebagian pelaku usaha perasuransian tampak masih belum sepenuhnya memahami perubahan dan konsekuensi yang terjadi dan akan terus berkembang seiring pemberlakuan MEA. Pernyataan sikap masing-masing pelaku usaha mungkin masih perlu diukur dari sejauh mana pemahaman terhadap bagaimana MEA akan mempengaruhi bisnis masing-masing. Jika demikian adanya, dikhawatirkan kita akan tertinggal semakin jauh dalam memanfaatkan kesempatan yang dilahirkan oleh MEA.

    Liberasi dan dampaknya bagi industri asuransi Indonesia

    Ke empat prinsip dasar dari MEA terdiri dari kebebasan aliran arus barang dan jasa, kebebasan arus investasi, kebebasan arus modal dan kebebasan arus tenaga kerja terampil. Diketahui terdapat empat mode liberalisasi pada penyediaan jasa dalam suatu perdagangan lintas batas. Pertama, Cross-border supply (Mode 1), yang memungkinkan penyediaan jasa secara langsung dari satu negara ke negara lain. Dalam mode ini, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara ASEAN lain, misalnya Singapura atau Malaysia dapat menawarkan perlindungan asuransi kepada penduduk Indonesia secara langsung dan menerbitkan polis dan melayani klaim yang timbul.

    Kedua, Consumption abroad (Mode 2), yang meliputi penyediaan jasa dari suatu negara ke konsumen di negara lain. Dalam mode ini penanggung atau broker asuransi di salah satu negara Asean dapat melayani kebutuhan asuransi penduduk negara Asean lainnya yang berkunjung ke negara tersebut. Ketiga, Commercial presence (Mode 3) yaitu berupa penyediaan layanan oleh penyedia jasa dari suatu negara dalam wilayah negara lain seperti layanan oleh suatu cabang atau anak perusahaan asing di Indonesia. Mode ini memberikan kebebasan untuk menyediakan jasa sepanjang penyedia jasa memiliki badan usaha di negara tempat pasar atau konsumen dituju.

    Keempat, Presence of natural persons (Mode 4) yaitu penyediaan atau pemberian jasa oleh warga negara asing melalui kehadiran secara pribadi di suatu negara sehingga seorang warga negara ASEAN lainnya memiliki kebebasan untuk bekerja di perusahaan perasuransian atau usaha lainnya dimanapun dalam wilayah ASEAN.

    Pada dasarnya bisnis asuransi  merupakan sebuah jenis usaha yang telah bersifat lintas batas terutama melalui kerjasama dan dukungan reasuransi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bisnis asuransi. Oleh karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa usaha perasuransian telah bersifat global sejak dahulu kala. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu mendapat perhatian serius.

    Pada mode Cross-border supply, kesiapan Indonesia mau tidak mau harus diperhatikan. Sifat bangsa yang luar negeri minded dapat menjadi bumerang bagi pelaku bisnis yang tidak berhasil meningkatkan daya saing terutama pada ragam dan kualitas produk dan layanan. Pada jenis-asuransi tertentu, faktor jangkauan penyedia jasa memegang peranan penting dan hal ini dapat menjadi andalan dalam memenangkan atau mempertahankan pasar dalam negeri. Sektor yang paling terancam pada pasar asuransi umum adalah penutupan asuransi atas investasi multi nasional yang mempunyai kantor regional di negara ASEAN lainnya atau investasi berasal dari negara ASEAN lainnya, baik untuk investasi baru maupun alasan penyatuan dan unifikasi program asuransi yang sudah ada.

    Untuk bidang asuransi kehidupan (asuransi jiwa), persaingan akan menjadi lebih besar pada pertanggungan dengan nilai tinggi atau produk-produk yang kompleks. Sebagai negara dengan perekonomian dan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, tanpa strategi yang efektif, ancaman bahwa Indonesia akan menjadi pasar besar yang ditargetkan oleh beberapa negara ASEAN lainnya akan lebih tinggi dibanding kesempatan untuk mengembangkan usaha di luar wilayah kecuali mungkin dalam penyediaan jasa asuransi bagi jutaan TKI di berbagai negara. Pada mode Consumption abroad, ancaman pada sektor asuransi kehidupan (asuransi jiwa) mungkin akan lebih besar tetapi dalam skala yang terbatas yang akan sama halnya, sebagai perbandingan, dengan penyediaan jasa pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dan klinik di luar negeri kepada warga negara Indonesia yang berobat keluar negeri atau bersekolah ke luar negeri untuk bidang pendidikan. Sebaliknya, skala kesempatan yang tersedia dalam MEA pada saat ini bagi Indonesia juga tidak signifikan. Commercial presence sebenarnya bukan hal baru bagi industri asuransi Indonesia. Sampai dengan tahun 1970an, masih terdapat beberapa perusahaan asuransi yang sepenuhnya milik asing yang beroperasi di Indonesia, sebelum diwajibkan untuk membentuk perusahaan patungan, seperti halnya sejumlah bank asing yang beroperasi di Indonesia saat ini. Sebagai negara yang menerapkan batas kepemilikan asing yang sangat liberal yaitu sampai 80 persen dan bahkan sampai hampir 100 persen dalam situasi tertentu sejak 1998. Sebagian besar pelaku usaha perasuransian multinasional yang beroperasi di negara ASEAN lainnya telah memiliki commercial presence di Indonesia dalam bentuk usaha patungan sementara kehadiran pelaku usaha perasuransian negara ASEAN lainnya masih dapat dihitung dengan jari. Kehadiran perusahaan-perusahaan patungan asing selama ini membuat pelaku usaha perasuransian domestik telah terbiasa menjalankan usaha dan bersaing ketat dengan pesaing-pesaing internasional melalui anak usaha mereka di Indonesia.

    Sebagai negara yang terbuka terhadap dan merupakan tujuan investasi asing dalam asuransi, baik berupa pendirian perusahaan patungan baru maupun akuisisi terhadap usaha domestik yang ada, mode commercial presence tidak akan berpengaruh banyak pada peta persaingan usaha. Perusahaan-perusahaan yang telah lebih dahulu hadir di Indonesia tunduk pada kebijakan regional tentang persaingan dalam kawasan masing-masing dan pada perjanjian dengan pemegang saham domestik (shareholders agreement). Tinggal lagi, untuk ke depan apakah commercial presence akan dalam bentuk usaha patungan semata atau dimungkinkan juga dalam bentuk cabang dari luar negeri. Pertanyaan besar adalah karena akhir-akhir ini pangsa pasar pelaku domestik, terutama dalam sektor asuransi kehidupan (asuransi jiwa) semakin tergerus, pesaing MEA akan membuat tingkat persaingan menjadi semakin ketat. Pada saat yang sama, sebenarnya Indonesia memiliki daya saing untuk mengembangkan sayap keluar wilayah karena sebagian negara ASEAN dapat menjadi pasar yang menguntungkan sebagaimana halnya berita tentang Pertamina yang mengembangkan usaha SPBU di negara ASEAN lain atau beberapa pengusaha properti Indonesia yang telah berjaya lebih dahulu.

    Mode Presence of natural persons akan sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM industri perasuransian Indonesia. Kesempatan berkarir dalam industri asuransi di dalam negeri masih sangat besar. Sementara itu, tenaga kerja ahli Indonesia telah mulai dilirik oleh negara-negara tetangga terutama Singapura walaupun sebagian dimaksudkan untuk menggarap pasar Indonesia. Akibatnya, kelangkaan terhadap tenaga terlatihyang terus berlangsung ditambah kemampuan SDM berbahasa Inggris yang masih terbatas bagi bisnis asuransi yang memang bersifat internasional serta pesatnya pertumbuhan perusahaan perasuransian asing di Indonesia akan memberikan tekanan pada kehadiran penyedia jasa asing di Indonesia. Sebaliknya, mode ini juga akan menjadi pintu bagi tenaga-tenaga ahli Indonesia yang langka terutama aktuaris dan underwriter untuk berkarir di negara ASEAN lain yang sebaliknya akan menciptakan celah yang lebih besar pada pasar tenaga kerja Indonesia.

    Keseimbangan Kepentingan

    Dalam kerangka MEA, Indonesia telah memberikan komitmen untuk meliberalisasi sektor asuransi sejak tahap awal implementasi MEA yang tampak melebihi komitmen yang diberikan oleh Singapura dan Malaysia, apalagi Thailand. Bahkan dibanding dengan Hongkong pun dalam hal-hal tertentu Indonesia selama ini memang sangat liberal dibanding negara yang telah berada dalam liga persaingan internasional tersebut. Sebagai contoh, penanggung Indonesia dilarang memasarkan produk asuransi kepada TKI yang bekerja di Hongkong sementara warga negara asing di Indonesia diberikan kebebasan untuk membeli polis asuransi dari luar negeri. Dari keempat mode liberalisasi tersebut, dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki, Singapura adalah anggota ASEAN yang akan paling diuntungkan. Mengingat bahwa seyogyanya implementasi MEA perlu memperhatikan tujuan kebijakan nasional dan kepentingan nasional serta tingkat kesiapan masing-masing negara anggota. Komitmen pemerintah dan tahapan Indonesia dalam integrasi bidang asuransi mungkin belum diketahui umum. Sejumlah peraturan yang berlaku perlu masih perlu diubah disesuaikan komitmen dan tahapan yang dikehendaki atau harus dipenuhi. Apa pun pilihan kebijakan yang akan diambil, adalah penting untuk memperhatikan keseimbangan antara aspek perlindungan kepentingan dan kenyamanan konsumen, kesiapan pelaku usaha Indonesia dan aspek kepentingan nasional jangka panjang. Setelah diputuskan dengan pertimbangan yang matang adalah penting adaya kepaduan (cohesiveness) antara komitmen dalam kerangka MEA dengan persiapan dan penyesuaian yang perlu dilakukan, baik dari aspek peraturan, perilaku bisnis dan kemampuan SDM serta teknologi. Tidak kalah pentingnya adalah adanya kesamaan visi, persepsi dan keyakinan yang sama antara regulator dan pelaku bisnis perasuransian dengan tujuan pokok untuk memanfaatkan MEA sebagai kebijakan untuk meningkatkan daya saing dan perluasan pasar demi memajukan perekonomian Indonesia. 


    Thursday 19 May 2016

    Hilangnya kata Kami dari Bahasa Indonesia - Pembangunan Karakter Bangsa


    Hilangnya kata Kami dalam perbendaraan percakapan umum

    Oleh Dr. Junaedy Ganie 

              Bahasa Indonesia acapkali disebut tidak lengkap, suatu penilaian yang tidak perlu dibantah karena Bahasa Indonesia memang merupakan suatu bahasa baru yang terus berevolusi (berasal dari kata asing) sesuai perkembangan setiap generasi dan zamannya masing-masing. Berbagai kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa asing diadopsi memperkaya hazanah perbendaraan Bahasa Indonesia sehingga adopsi tersebut bukan sesuatu yang harus dihindarkan atau dianggap tabu (berasal dari bahasa asing). Kita dengan mudah menemukan kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab, Inggris, Belanda dan Portugis dalam perbendaraan bahasa kita. Tetapi bagaimana dan mengapa kata khas Indonesia dalam bahasa kita menghilang.

    Meskipun dikatakan perbendaharaan Bahasa Indonesia belum lengkap dan bahkan dikatakan sebagai alasan kesulitan menerjemahkan science ke dalam bahasa kita yang mungkin sebagian didasarkan kepada persepsi yang tidak sepenuhnya benar, Bahasa Indonesia memiliki suatu kekayaan tersendiri yang membuatnya menarik dan menjadi lebih tepat dalam memberikan deskripsi (dari bahasa asing) atas sesuatu. Misalnya, penyebutan kata Pelangi langsung memberikan gambaran dan pesan ke pikiran kita tentang sesuatu yang indah. Akan berbeda penangkapan perasaan apabila kita mengganti kata tersebut dengan kata Busur hujan sebagaimana terjemahan kata Rainbow pada Bahasa Inggris sekiranya kita tidak memiliki kata Pelangi.

    Satu kata yang sangat khas dan mungkin hanya dimiliki oleh beberapa bahasa saja di seluruh dunia adalah pemakaian dan perbedaan kata Kami dan Kita. Bahasa Inggris hanya memiliki satu kata We untuk kedua kata tersebut. Kata Kami secara tegas meniadakan orang kedua yang menjadi lawan bicara dari kelompok pembicara sementara pada kata Kita secara nyata orang kedua yang menjadi lawan bicara berada dalam kelompok yang sama. Pada Bahasa Inggris pemahaman terhadap konteks (juga berasal dari bahasa asing) pembicaraan atau topik (lagi-lagi bahasa asing) diperlukan untuk dapat membedakan kapan We sebagai Kami dan kapan We sebagai Kita.

    Pembicaraan pada 9 Mei lalu disela persiapan kami menyusun materi sidang arbitrase dengan sesama rekan arbiter di susul pada hari yang sama menerima posting sebuah tulisan yang muncul dalam sebuah WA Group tentang hilangnya kata Kami dalam pembicaraan umum mendorong saya menorehkan tulisan singkat ini. Tulisan ini juga merupakan sebuah sumbangan kecil sebagai dukungan atas penyelenggaraan Seminar Kamus Bahasa Melayu Seganti Setungguan yang dilaksanakan hari ini, 19 Mei 2016 di Lahat, Sumatera Selatan sebagai sebuah upaya melestarikan bahasa daerah yang tersebar di sejumlah kabupaten di SumSel, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung oleh kelompok masyarakat yang tinggal di Jakarta, Jabar dan Banten yang memiliki bahasa tersebut sebagai bahasa pertama (mother’ tongue)).

    Mengapa akhir-akhir ini kata Kami tersebut menghilang? Bahkan tidak hanya pada orang dewasa, tidak hanya pada pejabat tetapi pada segmen (asing lagi) tertentu pada kelompok remaja kata Kami menghilang dan digantikan kata Kita. Perhatikanlah berbagai wawancara di media terutama televisi. Yang saya khawatirkan bukan sekedar hilangnya kata Kami tersebut  tetapi apakah fenomena hilangnya kata Kami menunjukan berkembangnya sifat manipulatif (no comment) pada bangsa kita? Sebab pembicara sadar sepenuhnya bahwa  lawan bicara bukan bagian dari isu yang dibicarakan. Apakah perubahan ini menunjukan sifat persuasif (asing lagi deh) yang berlebihan? Jika yang dimaksudkan untuk menunjukan sopan santun sehingga lawan bicara menjadi bagian dari pembicara, apakah bukan merupakan basa basi atau sopan santun yang berlebihan.

    Saya masih ingat dalam suatu tayangan acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne beberapa bulan yang lalu, Karni Ilyas berkomentar pada akhir pembicaraan oleh seorang nara sumber: “Yang dimaksudkan dengan Kita oleh Pak Anu tadi adalah Kami. Ya, orang disekitarnya dan para pendengar tidak ikut terlibat !

    Jakarta, 19 Mei 2016.




    Friday 15 April 2016

    Adjudication in Insurance


    by
    Dr. Junaedy Ganie, SE, MH, FCBArb., MCIArb., ANZIIF (Snr. Assoc.), AAIK (HC), CIP, CLU, ChFC 
    Frans Lamury, ANZIIF (Snr. Assoc.), AAIK (HC)

    ( First published in Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Vol. 8 No. 1 March 2016)






    Abstrak
    Makalah ini membahas implementasi ajudikasi dalam klaim asuransi Proses adjudikasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa, seperti yang lazim dijalankan di Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). Termasuk dalam pembahasan presensi masing-masing pihak didalam kontrak asuransi, biaya, kerahasiaan atau confidentiality, perwakilan para pihak, dan seterusnya. Statistik BMAI menunjukkan bahwa dari sebanyak 456 klaim asuransi yang ditolak, hasil adjudikasi dan mediasi yang dilaksanakan oleh BMAI mencatat adanya 216 klaim atau 48% yang diputuskan untuk dibayar oleh asuransi, 120 kasus klaim atau 26% ditarik kembali oleh insurer dan sisanya 120 kasus klaim atau 26% dinyatakan pihak asuransi tak bersalah.

    Kata kunci : Adjudikasi, Aspek Hukum, Asuransi, Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), Kontrak Asuransi, Confidentiality.
    What is Adjudication?
    The legal definition of Adjudication is the legal process of resolving a dispute. Three types of disputes that are resolved through adjudication: disputes between private parties, such as individuals or corporations; disputes between private parties and public officials; and disputes between public officials or public bodies. The requirements of full adjudication include notice to all interested parties (all parties with a legal interest in, or legal right affected by, the dispute) and opportunities for all parties to present evidence and arguments. The adjudicative process is governed by formal rules of evidence and procedure. Its objective is to reach a reasonable settlement of the controversy at hand. A decision is rendered by an impartial, passive fact finder, usually a judge, jury, or administrative tribunal.
    A hearing in which the parties are given an opportunity to present their evidence and arguments is essential to adjudication. Following the hearing, the decision maker is expected to deliver a reasoned opinion. This opinion is the basis for review if the decision is appealed to a higher tribunal (a court of
    appeals). It also helps ensure that decisions are not reached arbitrarily. Finally, a well- reasoned opinion forces the judge to carefully think through his or her decision in order to be able to explain the process followed in reaching it.
    Adjudication of a controversy generally ensures a fair and equitable outcome. Because courts are governed by evidentiary and procedural rules (in US as well as by stare decisis), the adjudicative process assures litigants of some degree of efficiency, uniformity, and predictability of result. 
    Adjudication at BMAI
    In Indonesia, one of the institutions which conduct the adjudication is Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). BMAI was established in September 2016. It is an association comprising of all insurance companies and reinsurance companies operating in Indonesia whose membership in the association is on a compulsory basis. The objective of its establishment is to provide fair and simple insurance claim settlement processes through an alternative dispute resolution in order to raise public
    confidence and interest towards insurance protection while contributing to the increase in welfare of the society.
    BMAI handles claims disputes between Insurers and Insurers/Policyholders/ Beneficiaries on both admission of liability and amount of loss or benefit payable from Insurers as well as with respect dispute on reinstatement or surrender of life insurance policy. It also deals with admission of liability and amount of claims disputes between members of BMAI. The mediation has the objective to resolve the disputes by engaging mediators and facilitating peaceful means without making any evaluation or award on the disputed case. The adjudication tribunal will conduct the hearings and issue the adjudication award in the event that amicable resolution through mediation process cannot be achieved.
    Reasons for the BMAI establishment
    There was a common phrase occasionally appeared in the readers column in a media that insurance persons are usually very persistent and that they will keep coming back trying to convince people of their need for insurance protection, be it for their personal assets, life or commercial property and interest or liability risks. They will always show up until a deal is closed but where are they at the time of claims? It is a reflection that settlement of claim disputes by the insurers are not always satisfactorily to the insurance consumers, known as Insureds. To the Insureds, especially individual policyholders, a claim rejection from an insurer may bring them to a dead end while keeping in mind that many cannot afford to go to costly legal proceedings at court or arbitration and especially when the amount involved can be smaller than the legal costs. Combined with their lack of knowledge towards policy terms and conditions and the heavy burden to carry being in a legal dispute, many might give up their rights while the consequence of such an attitude would only lead to stronger public perception of distrust towards insurance protection with no doubt will tarnish the reputation of the insurance industry.
    Prior to the establishment of BMAI, insurance claims disputes were settled through arbitration proceedings or court. However, many of the claims involved small amounts while their legal costs could be higher than the amount in dispute while the process can take a long time (specifically on settlement through court). As such, settlement of claims in that nature through court or arbitration would be inefficient. Within the same period, insurance companies were facing a number of unfair bankruptcy legal suits from disputed claims such as the cases with Manulife and Prudential that had to go a long way to avoid bringing healthy insurers into liquidation from unfair bankruptcy risks, a situation which was later changed under the Bankruptcy Law Nr. 37 Year 2004 to the advantages of the insurance industry. The insurance industry was also happy to see that a judicial review attempt by legal practitioner to turn down what so called the exclusivity of the insurance and reinsurance companies were unsuccessful. In return, the insurance industry had to demonstrate its stronger sense of commitment to provide access for consumers to file for their claims and be placed in a stronger bargaining position.
    Claims service is the display window of the insurance service providers. Effective, low cost and fair claim settlement process will contribute greatly to the reputation and credibility of the national insurance industry and hence would create better public acceptance and pave for bigger market share nationally while making the insurance industry as one of the preferred career destinations in Indonesia.
    It is also believed that dispute settlement through a dedicated and specialised institution such as BMAI will be better and more effective than settlement through Consumer Dispute Settlement Agency or Badan Penyelesaian Sen gketa Konsumen (BPSK) as mandated by Consumer Protection Law. Keeping such situations in mind, insurance practitioners had agreed upon the necessity to provide a simple, low cost and effective platform for the Insureds to bring disputed claims and hence the establishment of BMAI.
    BMAI’s Jurisdiction
    According to BMAI, adjudication is a means of dispute resolution outside of arbitration and court proceeding that parties have agreed to be settled through BMAI and subject to the maximum claim amount set under the prevailing Rules and Procedures of BMAI. Adjudication process at BMAI is designed as a simplification of an arbitration process wherein there is only one written statements from each party is required i.e. the Claimant’s Statement of Claims and the Respondent’s Statement of Defence. There is neither replication nor rejoinder.
    BMAI will deal with adjudication request from eligible Claimant as follows:
    1.  When member of BMAI cannot resolve a dispute directly with the Claimant based on the claims filed by the Claimant within 30 days since the objection from the Claimant is received by the Respondent.
    2.  The amount of claim or benefit in dispute is not more than Rp 750 million per claim for general insurance and Rp 500 million per claim for life insurance.
    3.  The nature of claims submitted not on the decision of commercial consideration, on pricing policy or other policies such as premium rate, cost and foreign exchange rate or any case being under investigation by the authority.

    Existence of BMAI under the insurance contract.
    All insurers being the members of BMAI are required to attach an “Important Notice” to each insurance policy issued to the Insureds/Policyholders containing a statement that in the event they do not agree to any claim declinature by the Insurers, they are entitled to bring the claim to BMAI to resolve through a mediation or adjudication provided any one claim will not exceed Rp 750 million for general insurance and Rp 500 million for life insurance. The notice clearly states that the mediation and adjudication services are provided free of charge to the consumers and that they are free to accept or decline the adjudication award of BMAI.
    In addition, all members of BMAI are also required to put in their letter of claims repudiation to the Insureds – and this is very effective- an “Important Notes” which states that although their claim is rejected, but if they do not agree with the reasons of repudiation, they may bring the case to BMAI for settlement through mediation and adjudication process. Again, the services are provided free of charge and that they are free to accept or decline the adjudication award of BMAI.
    As the Dispute Clause attached to the insurance policy has stated the existence and function of BMAI, the Important Notice above is somewhat redundant albeit, the current Dispute Clause needs rewording in order for the sequence of events leading from the mediation process to the adjudication proceeding to flow clearly. It is better to transfer vital elements from the Important Notice which has not been incorporated under the Dispute Clause to the Dispute Clause to convert the relevant important provisions from merely as an insurer’s statement into an agreement stated in the insurance policy binding both insurers and the insured
    Cost of Adjudication
    In accordance with its mission to provide low cost dispute resolution and increase insurance protection credibility before the public, BMAI provides adjudication without charging any cost to either party in dispute, except for the cost of any witness or expert brought to the proceeding to be borne by the requesting party. BMAI survives from the membership fee payable from all the members.
    Confidentiality
    The adjudication process is closed to the public and confidential in nature. Either party is not permitted to communicate with any or all members of the tribunal in any way except during the hearing process. BMAI or either party may claim for indemnification for loss or damage arising out of any breach of confidentiality or assurance for avoidance of reoccurrence of similar breach.
    Representation
    Both parties in dispute have to appear at the hearing without the presence of either third party lawyer or Claimant’s broker. No legal representation is allowed at the hearing. Individual Claimant may be accompanied by up to 2 persons who will have no right to speak at the hearing except at the permission from the tribunal. Institutional Claimant has to appoint one and at the most 3 persons, who should be their own permanent employees, as the permanent authorised representative at the adjudication process. Respondent has to appoint one and up to 3 persons, who should be their own permanent employees, as the permanent authorised representative at the adjudication process.
    Period of adjudication process
    Adjudication process to be completed in no more than 60 days from the date of the establishment of the Tribunal and may be extended based on specific reasons. BMAI
    applies strict and shorter time limit for each stage in the adjudication process in order to ensure that it can provide a simpler, faster and efficient claims dispute settlement.
    Law, Language and Place of Adjudication
    The applicable law is the law of the seat of the adjudication. The adjudication process is conducted in the Indonesian language unless both parties agree to select any other language. Adjudication process is to be held at the place determined by the Board of BMAI.
    Nature of the Adjudication
    It is compulsory for the Respondent to abide by the award delivered by the Tribunal while the Claimant is entitled to opt whether to accept or decline the award. The award will become final and bind both parties once the Claimant has agreed with the award. Neither party may refuse or provide injunction against the award but to adhere to the award based on utmost good faith. BMAI will closely monitor compliance of the parties to the contents of the award and will liaise with the Financial Service Authority (OJK) on any kind of non­compliance to the award.
    Adjudication Process
    1.      In the event that a dispute cannot be resolved through a mediation process, Claimant may submit a request for adjudication based on the prescribed form and complete supporting information to the Chairman of BMAI and such request for adjudication must be made within 10 days from the date a mediation process declared to be unsuccessful to reach amicable settlement.
    2.      The Board of BMAI has to advise Claimant confirmation of acceptance of or declinature of the adjudication request within 10 days of receipt of such request. In case of a declinature, BMAI has to provide reason (s) for the declinature. Claimant is allowed to resubmit their request by complying to the conditions stated within 15 days from the date of BMAI’s declinature.
    3.      Prior to the commencement of the adjudication process, each party will have to sign a prescribed Adjudication Agreement Letter stating among others as follows:
    a.  Either party will not involve BMAI as witness whenever the dispute will be brought to arbitration or court and nor will they demand adjudicator or BMAI to surrender, in part or in whole, the adjudication documents.
    b.  Both parties will submit and bound entirely by the rules and procedure of BMAI.
    c.  Both parties will hold BMAI and the member of the Tribunal harmless of any claim or indemnity arising out of their action or any other matter related to their services or the dispute or claim submitted by the Claimant.
    4.    According to its Rules and Procedures, the Board of BMAI will form an Adjudication Tribunal of 3 adjudicators and in each tribunal at least one member is to possess legal profession background. According to the official Profile of the Association, the Tribunal of 3 comprises of 1 former judge at court of justice and 2 former insurance practitioners and it is the Chairman of BMAI who is responsible to form the Tribunal. One of the members will be the appointed Chairman of the Tribunal. Only BMAI’s registered adjudicator may be appointed as member of the tribunal.
    5.    In case there is a need to extend the period of submission of Response from the Respondent, such delay may not be longer than 7 days from the initial date set.
    6.   Cancellation of a Request for Adjudication after submission of Response from the Respondent may only be granted by the agreement of the Respondent.
    7.    Any change to the Request for Adjudication after submission of Response from the Respondent may only be allowed by the agreement of the Respondent provided the change relates to factual matters not on the legal basis of the Adjudication Request.
    8.    Examination of the dispute is conducted in writing. Oral examination or hearing only at the discretion of the Tribunal.
    9.    Both parties have equitable rights and opportunity to put forward the statement of cases, submit evidences and their respective witnesses.
    10.  Either party may not record the hearing process by any means.
    11.  Tribunal will only examine the case based on a single Claim Proposal and a single Response from the other party. There shall be subsequent Submission and Response or Conclusion as the case of the common arbitration proceeding in Indonesia.
    12.  Should the parties agree to try to reach an amicable settlement during the course of the adjudication, the Tribunal may allow the parties to postpone the adjudication process up to maximum of 30 days.
    Has BMAI met its intended role?
    From the period of its establishment in September 2006 to 2013, BMAI had handled 476 cases. Out of which, 252 cases were settled amicably by mediation and 35 cases were resolved by adjudication. There were 90 cases found to be outside the jurisdiction of BMAI and interestingly there were 99 cases withdrawn by the Claimants. There is no outstanding case to date. In average there were 5.47 cases per month and 65.7 cases per year. In 2014 and 2015 there were 51 cases and 50 cases respectively in total. The higher number of cases settled by mediation had also reflected the competence of the mediators to bring disputing parties to amicable resolution.


    From the total number of insurance claims dispute cases brought by the insuring parties to be resolved by BMAI, we can appreciate the positive impact BMAI has brought to the insurance businesses. The smaller number of cases in 2014 and 2015 might had reflected BMAI’s contribution to the better attitude of the insurers in their daily claims handling and hence claims rejections might have reduced. In terms of the benefits BMAI has brought to the insurers, policyholders and beneficiaries as the following statistics show.
    Life Insurance
    Out of 165 claims cases rejected by insurers and brought to BMAI for mediation, there were 70 cases (42%) that insurers were liable to pay and there were 49 cases (30%) insurers were not liable to pay while on the other 46 cases (28%) claimants decided to withdraw.
    Out of 25 cases that were not resolved by mediation and subsequently brought to adjudication proceeding, the tribunal awarded that there were 18 cases (72%) that insurers had to pay. This made it in total, insurers at the end, had to pay 88 cases or 53.3% of the claims they initially rejected.
    General insurance
    There were 236 cases brought to the mediators at BMAI and out of which insurers were liable to pay 105 cases (45%) and 57 cases (24%) insurers did not have to pay and there were 74 cases (31%) claimants agreed to withdraw. There were 30 cases not resolved by mediation that were brought to adjudication tribunal and out of which 23 cases (77%) insurers had to settled and 7 cases (23%) insurers were not liable. It made in total, insurers had to pay 123 cases or 54% of total claims initially rejected.

    Social insurance
    There was no claim dispute brought to BMAI under social insurance.
    From the above statistics, we can see the insurance industry had rejected 456 claims that the Insureds/Policyholders/ Beneficiaries had brought to BMAI. Following the mediation and adjudication services provided by BMAI, insurers had to pay 216 claim cases (48%) and claimants decided to withdraw 120 cases (26%) while for the remaining 120 cases or 26% that insurers were indeed not liable.
    Conclusion
    The above figures have demonstrated that the insurance industry has successfully established a mechanism to control the attitude of their members to improve quality of their services to their customers by the establishment of BMAI. By doing so, the credibility and public confidence and interest towards insurance businesses will also increase. To the benefit of the society, the insureds whom without the existence of BMAI might never be able to find a fair, simple and low cost means to resolve and recover their rights with respect the claims insurers have rejected. Both the mediation and adjudication proceeding would have provided a learning experience to the insurers involved. The number of claims the claimants finally withdrew also proved that not all claims lodged with insurers are claimable and this situation indicates the need for the insurers to ensure a fair and efficient claim assessment system to be put inplace.
    Jakarta, 22 Februari 2016