oleh Dr. Junaedy Ganie
(Pertama kali diterbitkan oleh Majalah Integritas dalam Edisi 19 pada Mei 2016)
Berlalu sudah berbagai pro dan kontra tentang kesiapan pelaku
industri asuransi Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tanpa
terasa, beberapa bulan telah berlalu sejak MEA secara resmi diberlakukan
sementara kegiatan bisnis asuransi domestik mungkin masih berjalan sebagai business as usual.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan informal tentang
kesiapan Indonesia memberikan indikasi bahwa sebagian pelaku usaha
perasuransian tampak masih belum sepenuhnya memahami perubahan dan konsekuensi
yang terjadi dan akan terus berkembang seiring pemberlakuan MEA. Pernyataan
sikap masing-masing pelaku usaha mungkin masih perlu diukur dari sejauh mana
pemahaman terhadap bagaimana MEA akan mempengaruhi bisnis masing-masing. Jika
demikian adanya, dikhawatirkan kita akan tertinggal semakin jauh dalam
memanfaatkan kesempatan yang dilahirkan oleh MEA.
Liberasi dan dampaknya
bagi industri asuransi Indonesia
Ke empat
prinsip dasar dari MEA terdiri dari kebebasan aliran arus barang dan jasa, kebebasan arus investasi, kebebasan arus modal
dan kebebasan arus tenaga kerja terampil. Diketahui terdapat empat mode
liberalisasi pada penyediaan jasa dalam suatu perdagangan lintas batas.
Pertama, Cross-border supply (Mode
1), yang memungkinkan penyediaan jasa secara langsung dari satu negara ke negara
lain. Dalam mode ini, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara ASEAN
lain, misalnya Singapura atau Malaysia dapat menawarkan perlindungan asuransi
kepada penduduk Indonesia secara langsung dan menerbitkan polis dan melayani
klaim yang timbul.
Kedua, Consumption abroad (Mode 2), yang
meliputi penyediaan jasa dari suatu negara ke konsumen di negara lain. Dalam
mode ini penanggung atau broker asuransi di salah satu negara Asean dapat
melayani kebutuhan asuransi penduduk negara Asean lainnya yang berkunjung ke negara
tersebut. Ketiga, Commercial presence
(Mode 3) yaitu berupa penyediaan layanan oleh penyedia jasa dari suatu negara
dalam wilayah negara lain seperti layanan oleh suatu cabang atau anak
perusahaan asing di Indonesia. Mode ini memberikan kebebasan untuk menyediakan
jasa sepanjang penyedia jasa memiliki badan usaha di negara tempat pasar atau
konsumen dituju.
Keempat,
Presence of natural persons (Mode 4)
yaitu penyediaan atau pemberian jasa oleh warga negara asing melalui kehadiran
secara pribadi di suatu negara sehingga seorang warga negara ASEAN lainnya
memiliki kebebasan untuk bekerja di perusahaan perasuransian atau usaha lainnya
dimanapun dalam wilayah ASEAN.
Pada
dasarnya bisnis asuransi merupakan
sebuah jenis usaha yang telah bersifat lintas batas terutama melalui kerjasama
dan dukungan reasuransi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bisnis
asuransi. Oleh karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa usaha
perasuransian telah bersifat global sejak dahulu kala. Namun, terdapat sejumlah
hal yang perlu mendapat perhatian serius.
Pada mode Cross-border
supply, kesiapan Indonesia mau tidak mau harus diperhatikan. Sifat bangsa
yang luar negeri minded dapat menjadi
bumerang bagi pelaku bisnis yang tidak berhasil meningkatkan daya saing
terutama pada ragam dan kualitas produk dan layanan. Pada jenis-asuransi tertentu,
faktor jangkauan penyedia jasa memegang peranan penting dan hal ini dapat
menjadi andalan dalam memenangkan atau mempertahankan pasar dalam negeri.
Sektor yang paling terancam pada pasar asuransi umum adalah penutupan asuransi atas investasi multi nasional yang mempunyai kantor
regional di negara ASEAN lainnya atau investasi berasal dari negara ASEAN
lainnya, baik untuk investasi baru maupun alasan penyatuan dan unifikasi
program asuransi yang sudah ada.
Untuk bidang asuransi kehidupan (asuransi jiwa),
persaingan akan menjadi lebih besar pada pertanggungan dengan nilai tinggi atau produk-produk yang
kompleks. Sebagai negara dengan perekonomian dan jumlah penduduk terbesar di
ASEAN, tanpa strategi yang efektif, ancaman bahwa Indonesia akan menjadi pasar besar yang
ditargetkan oleh beberapa negara ASEAN lainnya akan lebih tinggi dibanding
kesempatan untuk mengembangkan usaha di luar wilayah kecuali mungkin dalam
penyediaan jasa asuransi bagi jutaan TKI di berbagai negara. Pada mode Consumption abroad, ancaman pada sektor
asuransi kehidupan (asuransi jiwa) mungkin akan lebih besar tetapi dalam skala
yang terbatas yang akan sama halnya, sebagai perbandingan, dengan penyediaan
jasa pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dan klinik di luar negeri kepada
warga negara Indonesia yang berobat keluar negeri atau bersekolah ke luar
negeri untuk bidang pendidikan. Sebaliknya, skala kesempatan yang tersedia
dalam MEA pada saat ini bagi Indonesia juga tidak signifikan. Commercial presence sebenarnya bukan hal
baru bagi industri asuransi Indonesia. Sampai dengan tahun 1970an, masih
terdapat beberapa perusahaan asuransi yang sepenuhnya milik asing yang
beroperasi di Indonesia, sebelum diwajibkan untuk membentuk perusahaan
patungan, seperti halnya sejumlah bank asing yang beroperasi di Indonesia saat
ini. Sebagai negara yang menerapkan batas kepemilikan asing yang sangat liberal
yaitu sampai 80 persen dan bahkan sampai hampir 100 persen dalam situasi
tertentu sejak 1998. Sebagian besar pelaku usaha perasuransian multinasional yang
beroperasi di negara ASEAN lainnya telah memiliki commercial presence di Indonesia dalam bentuk usaha patungan
sementara kehadiran pelaku usaha perasuransian negara ASEAN lainnya masih dapat
dihitung dengan jari. Kehadiran perusahaan-perusahaan patungan asing selama ini
membuat pelaku usaha perasuransian domestik telah terbiasa menjalankan usaha
dan bersaing ketat dengan pesaing-pesaing internasional melalui anak usaha
mereka di Indonesia.
Sebagai negara yang terbuka terhadap dan merupakan tujuan investasi
asing dalam asuransi, baik berupa pendirian perusahaan patungan baru maupun akuisisi
terhadap usaha domestik yang ada, mode commercial
presence tidak akan berpengaruh banyak pada peta persaingan usaha.
Perusahaan-perusahaan yang telah lebih dahulu hadir di Indonesia tunduk pada kebijakan
regional tentang persaingan dalam kawasan masing-masing dan pada perjanjian
dengan pemegang saham domestik (shareholders
agreement). Tinggal lagi, untuk ke depan apakah commercial presence akan dalam bentuk usaha patungan semata atau
dimungkinkan juga dalam bentuk cabang dari luar negeri. Pertanyaan besar adalah
karena akhir-akhir ini pangsa pasar pelaku domestik, terutama dalam sektor
asuransi kehidupan (asuransi jiwa) semakin tergerus, pesaing MEA akan membuat
tingkat persaingan menjadi semakin ketat. Pada saat yang sama, sebenarnya
Indonesia memiliki daya saing untuk mengembangkan sayap keluar wilayah karena
sebagian negara ASEAN dapat menjadi pasar yang menguntungkan sebagaimana halnya
berita tentang Pertamina yang mengembangkan usaha SPBU di negara ASEAN lain
atau beberapa pengusaha properti Indonesia yang telah berjaya lebih dahulu.
Mode Presence of
natural persons akan sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM industri
perasuransian Indonesia. Kesempatan berkarir dalam industri asuransi di dalam
negeri masih sangat besar. Sementara itu, tenaga kerja ahli Indonesia telah
mulai dilirik oleh negara-negara tetangga terutama Singapura walaupun sebagian
dimaksudkan untuk menggarap pasar Indonesia. Akibatnya, kelangkaan terhadap
tenaga terlatihyang terus berlangsung ditambah kemampuan SDM berbahasa Inggris
yang masih terbatas bagi bisnis asuransi yang memang bersifat internasional
serta pesatnya pertumbuhan perusahaan perasuransian asing di Indonesia akan
memberikan tekanan pada kehadiran penyedia jasa asing di Indonesia. Sebaliknya,
mode ini juga akan menjadi pintu bagi tenaga-tenaga ahli Indonesia yang langka
terutama aktuaris dan underwriter
untuk berkarir di negara ASEAN lain yang sebaliknya akan menciptakan celah yang
lebih besar pada pasar tenaga kerja Indonesia.
Keseimbangan
Kepentingan
Dalam kerangka MEA, Indonesia telah memberikan komitmen
untuk meliberalisasi sektor asuransi sejak tahap awal implementasi MEA yang
tampak melebihi komitmen yang diberikan oleh Singapura dan Malaysia, apalagi
Thailand. Bahkan dibanding dengan Hongkong pun dalam hal-hal tertentu Indonesia
selama ini memang sangat liberal dibanding negara yang telah berada dalam liga
persaingan internasional tersebut. Sebagai contoh, penanggung Indonesia
dilarang memasarkan produk asuransi kepada TKI yang bekerja di Hongkong
sementara warga negara asing di Indonesia diberikan kebebasan untuk membeli
polis asuransi dari luar negeri. Dari keempat mode liberalisasi tersebut,
dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki, Singapura adalah
anggota ASEAN yang akan paling diuntungkan. Mengingat bahwa seyogyanya
implementasi MEA perlu memperhatikan tujuan kebijakan nasional dan kepentingan
nasional serta tingkat kesiapan masing-masing negara anggota. Komitmen
pemerintah dan tahapan Indonesia dalam integrasi bidang asuransi mungkin belum
diketahui umum. Sejumlah peraturan yang berlaku perlu masih perlu diubah
disesuaikan komitmen dan tahapan yang dikehendaki atau harus dipenuhi. Apa pun
pilihan kebijakan yang akan diambil, adalah penting untuk memperhatikan
keseimbangan antara aspek perlindungan kepentingan dan kenyamanan konsumen,
kesiapan pelaku usaha Indonesia dan aspek kepentingan nasional jangka panjang.
Setelah diputuskan dengan pertimbangan yang matang adalah penting adaya
kepaduan (cohesiveness) antara
komitmen dalam kerangka MEA dengan persiapan dan penyesuaian yang perlu
dilakukan, baik dari aspek peraturan, perilaku bisnis dan kemampuan SDM serta
teknologi. Tidak kalah pentingnya adalah adanya kesamaan visi, persepsi dan
keyakinan yang sama antara regulator dan pelaku bisnis perasuransian dengan
tujuan pokok untuk memanfaatkan MEA sebagai kebijakan untuk meningkatkan daya
saing dan perluasan pasar demi memajukan perekonomian Indonesia.
No comments:
Post a Comment