Monday 1 August 2016

Tantangan & Kesempatan Bisnis Asuransi Dalam MEA - Insurance


oleh Dr. Junaedy Ganie
(Pertama kali diterbitkan oleh Majalah Integritas dalam Edisi 19 pada Mei 2016)
Berlalu sudah berbagai pro dan kontra tentang kesiapan pelaku industri asuransi Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Tanpa terasa, beberapa bulan telah berlalu sejak MEA secara resmi diberlakukan sementara kegiatan bisnis asuransi domestik mungkin masih berjalan sebagai business as usual.

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan informal tentang kesiapan Indonesia memberikan indikasi bahwa sebagian pelaku usaha perasuransian tampak masih belum sepenuhnya memahami perubahan dan konsekuensi yang terjadi dan akan terus berkembang seiring pemberlakuan MEA. Pernyataan sikap masing-masing pelaku usaha mungkin masih perlu diukur dari sejauh mana pemahaman terhadap bagaimana MEA akan mempengaruhi bisnis masing-masing. Jika demikian adanya, dikhawatirkan kita akan tertinggal semakin jauh dalam memanfaatkan kesempatan yang dilahirkan oleh MEA.

Liberasi dan dampaknya bagi industri asuransi Indonesia

Ke empat prinsip dasar dari MEA terdiri dari kebebasan aliran arus barang dan jasa, kebebasan arus investasi, kebebasan arus modal dan kebebasan arus tenaga kerja terampil. Diketahui terdapat empat mode liberalisasi pada penyediaan jasa dalam suatu perdagangan lintas batas. Pertama, Cross-border supply (Mode 1), yang memungkinkan penyediaan jasa secara langsung dari satu negara ke negara lain. Dalam mode ini, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara ASEAN lain, misalnya Singapura atau Malaysia dapat menawarkan perlindungan asuransi kepada penduduk Indonesia secara langsung dan menerbitkan polis dan melayani klaim yang timbul.

Kedua, Consumption abroad (Mode 2), yang meliputi penyediaan jasa dari suatu negara ke konsumen di negara lain. Dalam mode ini penanggung atau broker asuransi di salah satu negara Asean dapat melayani kebutuhan asuransi penduduk negara Asean lainnya yang berkunjung ke negara tersebut. Ketiga, Commercial presence (Mode 3) yaitu berupa penyediaan layanan oleh penyedia jasa dari suatu negara dalam wilayah negara lain seperti layanan oleh suatu cabang atau anak perusahaan asing di Indonesia. Mode ini memberikan kebebasan untuk menyediakan jasa sepanjang penyedia jasa memiliki badan usaha di negara tempat pasar atau konsumen dituju.

Keempat, Presence of natural persons (Mode 4) yaitu penyediaan atau pemberian jasa oleh warga negara asing melalui kehadiran secara pribadi di suatu negara sehingga seorang warga negara ASEAN lainnya memiliki kebebasan untuk bekerja di perusahaan perasuransian atau usaha lainnya dimanapun dalam wilayah ASEAN.

Pada dasarnya bisnis asuransi  merupakan sebuah jenis usaha yang telah bersifat lintas batas terutama melalui kerjasama dan dukungan reasuransi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bisnis asuransi. Oleh karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa usaha perasuransian telah bersifat global sejak dahulu kala. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu mendapat perhatian serius.

Pada mode Cross-border supply, kesiapan Indonesia mau tidak mau harus diperhatikan. Sifat bangsa yang luar negeri minded dapat menjadi bumerang bagi pelaku bisnis yang tidak berhasil meningkatkan daya saing terutama pada ragam dan kualitas produk dan layanan. Pada jenis-asuransi tertentu, faktor jangkauan penyedia jasa memegang peranan penting dan hal ini dapat menjadi andalan dalam memenangkan atau mempertahankan pasar dalam negeri. Sektor yang paling terancam pada pasar asuransi umum adalah penutupan asuransi atas investasi multi nasional yang mempunyai kantor regional di negara ASEAN lainnya atau investasi berasal dari negara ASEAN lainnya, baik untuk investasi baru maupun alasan penyatuan dan unifikasi program asuransi yang sudah ada.

Untuk bidang asuransi kehidupan (asuransi jiwa), persaingan akan menjadi lebih besar pada pertanggungan dengan nilai tinggi atau produk-produk yang kompleks. Sebagai negara dengan perekonomian dan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, tanpa strategi yang efektif, ancaman bahwa Indonesia akan menjadi pasar besar yang ditargetkan oleh beberapa negara ASEAN lainnya akan lebih tinggi dibanding kesempatan untuk mengembangkan usaha di luar wilayah kecuali mungkin dalam penyediaan jasa asuransi bagi jutaan TKI di berbagai negara. Pada mode Consumption abroad, ancaman pada sektor asuransi kehidupan (asuransi jiwa) mungkin akan lebih besar tetapi dalam skala yang terbatas yang akan sama halnya, sebagai perbandingan, dengan penyediaan jasa pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dan klinik di luar negeri kepada warga negara Indonesia yang berobat keluar negeri atau bersekolah ke luar negeri untuk bidang pendidikan. Sebaliknya, skala kesempatan yang tersedia dalam MEA pada saat ini bagi Indonesia juga tidak signifikan. Commercial presence sebenarnya bukan hal baru bagi industri asuransi Indonesia. Sampai dengan tahun 1970an, masih terdapat beberapa perusahaan asuransi yang sepenuhnya milik asing yang beroperasi di Indonesia, sebelum diwajibkan untuk membentuk perusahaan patungan, seperti halnya sejumlah bank asing yang beroperasi di Indonesia saat ini. Sebagai negara yang menerapkan batas kepemilikan asing yang sangat liberal yaitu sampai 80 persen dan bahkan sampai hampir 100 persen dalam situasi tertentu sejak 1998. Sebagian besar pelaku usaha perasuransian multinasional yang beroperasi di negara ASEAN lainnya telah memiliki commercial presence di Indonesia dalam bentuk usaha patungan sementara kehadiran pelaku usaha perasuransian negara ASEAN lainnya masih dapat dihitung dengan jari. Kehadiran perusahaan-perusahaan patungan asing selama ini membuat pelaku usaha perasuransian domestik telah terbiasa menjalankan usaha dan bersaing ketat dengan pesaing-pesaing internasional melalui anak usaha mereka di Indonesia.

Sebagai negara yang terbuka terhadap dan merupakan tujuan investasi asing dalam asuransi, baik berupa pendirian perusahaan patungan baru maupun akuisisi terhadap usaha domestik yang ada, mode commercial presence tidak akan berpengaruh banyak pada peta persaingan usaha. Perusahaan-perusahaan yang telah lebih dahulu hadir di Indonesia tunduk pada kebijakan regional tentang persaingan dalam kawasan masing-masing dan pada perjanjian dengan pemegang saham domestik (shareholders agreement). Tinggal lagi, untuk ke depan apakah commercial presence akan dalam bentuk usaha patungan semata atau dimungkinkan juga dalam bentuk cabang dari luar negeri. Pertanyaan besar adalah karena akhir-akhir ini pangsa pasar pelaku domestik, terutama dalam sektor asuransi kehidupan (asuransi jiwa) semakin tergerus, pesaing MEA akan membuat tingkat persaingan menjadi semakin ketat. Pada saat yang sama, sebenarnya Indonesia memiliki daya saing untuk mengembangkan sayap keluar wilayah karena sebagian negara ASEAN dapat menjadi pasar yang menguntungkan sebagaimana halnya berita tentang Pertamina yang mengembangkan usaha SPBU di negara ASEAN lain atau beberapa pengusaha properti Indonesia yang telah berjaya lebih dahulu.

Mode Presence of natural persons akan sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM industri perasuransian Indonesia. Kesempatan berkarir dalam industri asuransi di dalam negeri masih sangat besar. Sementara itu, tenaga kerja ahli Indonesia telah mulai dilirik oleh negara-negara tetangga terutama Singapura walaupun sebagian dimaksudkan untuk menggarap pasar Indonesia. Akibatnya, kelangkaan terhadap tenaga terlatihyang terus berlangsung ditambah kemampuan SDM berbahasa Inggris yang masih terbatas bagi bisnis asuransi yang memang bersifat internasional serta pesatnya pertumbuhan perusahaan perasuransian asing di Indonesia akan memberikan tekanan pada kehadiran penyedia jasa asing di Indonesia. Sebaliknya, mode ini juga akan menjadi pintu bagi tenaga-tenaga ahli Indonesia yang langka terutama aktuaris dan underwriter untuk berkarir di negara ASEAN lain yang sebaliknya akan menciptakan celah yang lebih besar pada pasar tenaga kerja Indonesia.

Keseimbangan Kepentingan

Dalam kerangka MEA, Indonesia telah memberikan komitmen untuk meliberalisasi sektor asuransi sejak tahap awal implementasi MEA yang tampak melebihi komitmen yang diberikan oleh Singapura dan Malaysia, apalagi Thailand. Bahkan dibanding dengan Hongkong pun dalam hal-hal tertentu Indonesia selama ini memang sangat liberal dibanding negara yang telah berada dalam liga persaingan internasional tersebut. Sebagai contoh, penanggung Indonesia dilarang memasarkan produk asuransi kepada TKI yang bekerja di Hongkong sementara warga negara asing di Indonesia diberikan kebebasan untuk membeli polis asuransi dari luar negeri. Dari keempat mode liberalisasi tersebut, dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki, Singapura adalah anggota ASEAN yang akan paling diuntungkan. Mengingat bahwa seyogyanya implementasi MEA perlu memperhatikan tujuan kebijakan nasional dan kepentingan nasional serta tingkat kesiapan masing-masing negara anggota. Komitmen pemerintah dan tahapan Indonesia dalam integrasi bidang asuransi mungkin belum diketahui umum. Sejumlah peraturan yang berlaku perlu masih perlu diubah disesuaikan komitmen dan tahapan yang dikehendaki atau harus dipenuhi. Apa pun pilihan kebijakan yang akan diambil, adalah penting untuk memperhatikan keseimbangan antara aspek perlindungan kepentingan dan kenyamanan konsumen, kesiapan pelaku usaha Indonesia dan aspek kepentingan nasional jangka panjang. Setelah diputuskan dengan pertimbangan yang matang adalah penting adaya kepaduan (cohesiveness) antara komitmen dalam kerangka MEA dengan persiapan dan penyesuaian yang perlu dilakukan, baik dari aspek peraturan, perilaku bisnis dan kemampuan SDM serta teknologi. Tidak kalah pentingnya adalah adanya kesamaan visi, persepsi dan keyakinan yang sama antara regulator dan pelaku bisnis perasuransian dengan tujuan pokok untuk memanfaatkan MEA sebagai kebijakan untuk meningkatkan daya saing dan perluasan pasar demi memajukan perekonomian Indonesia. 