Hilangnya kata Kami dalam perbendaraan percakapan umum
Oleh Dr. Junaedy Ganie
Oleh Dr. Junaedy Ganie
Bahasa
Indonesia acapkali disebut tidak lengkap, suatu penilaian yang tidak perlu
dibantah karena Bahasa Indonesia memang merupakan suatu bahasa baru yang terus
berevolusi (berasal dari kata asing) sesuai perkembangan setiap generasi dan
zamannya masing-masing. Berbagai kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa asing
diadopsi memperkaya hazanah perbendaraan Bahasa Indonesia sehingga adopsi
tersebut bukan sesuatu yang harus dihindarkan atau dianggap tabu (berasal dari
bahasa asing). Kita dengan mudah menemukan kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab,
Inggris, Belanda dan Portugis dalam perbendaraan bahasa kita. Tetapi bagaimana
dan mengapa kata khas Indonesia dalam bahasa kita menghilang.
Meskipun
dikatakan perbendaharaan Bahasa Indonesia belum lengkap dan bahkan dikatakan
sebagai alasan kesulitan menerjemahkan science
ke dalam bahasa kita yang mungkin sebagian didasarkan kepada persepsi yang
tidak sepenuhnya benar, Bahasa Indonesia memiliki suatu kekayaan tersendiri
yang membuatnya menarik dan menjadi lebih tepat dalam memberikan deskripsi
(dari bahasa asing) atas sesuatu. Misalnya, penyebutan kata Pelangi langsung
memberikan gambaran dan pesan ke pikiran kita tentang sesuatu yang indah. Akan
berbeda penangkapan perasaan apabila kita mengganti kata tersebut dengan kata Busur
hujan sebagaimana terjemahan kata
Rainbow pada Bahasa Inggris sekiranya kita tidak memiliki kata Pelangi.
Satu
kata yang sangat khas dan mungkin hanya dimiliki oleh beberapa bahasa saja di
seluruh dunia adalah pemakaian dan perbedaan kata Kami dan Kita.
Bahasa Inggris hanya memiliki satu kata We untuk kedua kata tersebut. Kata Kami secara tegas meniadakan
orang kedua yang menjadi lawan bicara dari kelompok pembicara sementara pada
kata Kita
secara nyata orang kedua yang menjadi lawan bicara berada dalam
kelompok yang sama. Pada Bahasa Inggris pemahaman terhadap konteks (juga
berasal dari bahasa asing) pembicaraan atau topik (lagi-lagi bahasa asing)
diperlukan untuk dapat membedakan kapan We sebagai Kami dan kapan We sebagai
Kita.
Pembicaraan
pada 9 Mei lalu disela persiapan kami menyusun materi sidang arbitrase dengan sesama
rekan arbiter di susul pada hari yang sama menerima posting sebuah tulisan yang muncul dalam sebuah WA Group tentang
hilangnya kata Kami dalam pembicaraan umum mendorong saya menorehkan tulisan
singkat ini. Tulisan ini juga merupakan sebuah sumbangan kecil sebagai dukungan
atas penyelenggaraan Seminar Kamus Bahasa Melayu Seganti
Setungguan yang dilaksanakan hari ini, 19 Mei 2016 di Lahat, Sumatera
Selatan sebagai sebuah upaya melestarikan bahasa daerah yang tersebar di sejumlah
kabupaten di SumSel, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung oleh kelompok
masyarakat yang tinggal di Jakarta, Jabar dan Banten yang memiliki bahasa tersebut
sebagai bahasa pertama (mother’ tongue)).
Mengapa
akhir-akhir ini kata Kami tersebut menghilang? Bahkan tidak
hanya pada orang dewasa, tidak hanya pada pejabat tetapi pada segmen (asing
lagi) tertentu pada kelompok remaja kata Kami menghilang dan digantikan kata Kita.
Perhatikanlah berbagai wawancara di media terutama televisi. Yang saya
khawatirkan bukan sekedar hilangnya kata Kami tersebut tetapi apakah fenomena hilangnya kata Kami
menunjukan berkembangnya sifat manipulatif (no
comment) pada bangsa kita? Sebab pembicara sadar sepenuhnya bahwa lawan bicara bukan bagian dari isu yang
dibicarakan. Apakah perubahan ini menunjukan sifat persuasif (asing lagi deh)
yang berlebihan? Jika yang dimaksudkan untuk menunjukan sopan santun sehingga
lawan bicara menjadi bagian dari pembicara, apakah bukan merupakan basa basi
atau sopan santun yang berlebihan.
Saya
masih ingat dalam suatu tayangan acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne
beberapa bulan yang lalu, Karni Ilyas berkomentar pada akhir pembicaraan oleh
seorang nara sumber: “Yang dimaksudkan
dengan Kita oleh Pak Anu tadi adalah
Kami”. Ya, orang disekitarnya
dan para pendengar tidak ikut terlibat !
Jakarta, 19 Mei
2016.
No comments:
Post a Comment