PERGESERAN
POLA PIKIR DAN BUDAYA BANGSA
Dr.
Junaedy Ganie
Selama puluhan
tahun saya merasa beruntung berdiam di suatu lingkungan tempat tinggal yang para penghuninya saling
perduli dan mengenal satu sama lain dengan baik dan memiliki begitu banyak
kegiatan bersama yang memfasilitasi terciptanya lingkungan yang saling mengenal
dengan baik, mulai dari kegiatan olahraga, sosial budaya dan agama serta
kegiatan remaja. Bahkan acap kami merasa lebih baik memilih merayakan acara Tahun
Baru di lingkungan tempat tinggal karena memiliki acara yang meriah sampai
pagi. Tapi itu cerita dulu, tuntutan kehidupan dan pergeseran prioritas membuat
perubahan sehingga secara bertahap tanpa terasa kehidupan di lingkungan kami
yang memiliki alam hijau dan berbukit juga berubah. Ada yang hilang yang perlu
diraih kembali.
Jauh
sebelum menginjakan kaki di Jakarta lebih dari tiga dasa warsa lalu lalu, saya
sering mendengar pameo ‘lu-lu, gue-gue” yang
dicamkan sebagai budaya orang Jakarta. Bagian dari pemahaman tersebut diartikan
bahwa orang yang tinggal di Jakarta tidak akan saling perdulikan dan bahkan
jika pendatang atau seseorang menanyakan sebuah alamat, jangan harap orang
Jakarta akan mau memberitahu walaupun mungkin mereka mengetahuinya dan bahkan alamat
yang ditanyakan sangat dekat dari tempat bertanya. Harus begitu bersikap, kalau
mau jadi orang Jakarta. Mungkin begitu yang ada di pikiran sekelompok pendatang.
Berbeda halnya dengan pameo yang saya dengar begitu tiba di Australia dalam
kurun waktu yang tidak jauh berbeda bahwa seorang Aborigin akan dengan mudah
membantu menujukan arah walaupun dengan sikap yang khas, misalnya: “Dari sini lurus dan belok kanan pada belokan
kedua nanti. Disana bertanyalah kepada orang pertama yang anda temui”. Saya
kira ini sudah menjadi cerita usang tetapi ada yang mengatakan bahwa jika
didalami, sikap tersebut merupakan refleksi dari sikap “berpamitan” yang merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang
memberikan arti yang lain dan dapat menjadi bahan diskusi yang lain lagi.
Setelah
menetap di Jakarta, pandangan tersebut perlahan berubah karena penduduk Jakarta
tidak semuanya demikian sifatnya. Gambaran tersebut merupakan suatu refleksi
kecil dari pengalaman segelintir orang yang berkembang mempengaruhi pandangan
masyarakat yang lebih luas. Akibatnya pendatang baru yang menetap di Jakarta
yang datang dengan pemahaman yang keliru tersebut menerapkan sikap yang sama
begitu tiba di Jakarta, sesuatu yang terus berkembang padahal bukan begitu
sikap umumnya. Namun pada lingkungan dengan pendidikan yan baik terdapat sikap
yang berbeda yang menjadikan mereka kelas masyarakat yang lebih terbuka, lebih
bersahabat dan lebih bersedia membantu. Sebagai perbandingan, di kota besar
seperti London, Tokyo (walaupun memiliki hambatan bahasa) atau daerah-daerah yang warganya sadar tentang pentingnya pariwisata bagi
perekonomian negaranya atau bangga tentang tingkat adab dan budaya mereka,
permintaan petunjuk arah jalan akan dilayani dengan baik.
Pengalaman
saya sekitar 6 minggu lalu menggelitik saya untuk mencoba mendalami lebih jauh
dan menjadikannya bahan diskusi ringan untuk memperoleh pandangan dari beberapa
orang lain yang saya kenal walaupun belum dapat dijadikan suatu refleksi hasil
riset yang mendalam.
Ketika
itu, setelah bertanya bolak balik pada beberapa orang untuk mencari sebuah
alamat, kami yang datang dari arah yang berbeda dan dengan kendaraan yang
berbeda mengalami pengalaman yang sama, yaitu kesulitan menemukan alamat suatu
perusahaan besar di jalan yang besar pula di daerah Jakarta Utara. Entah
bagaimana, alat bantu navigasi di kendaraan kami juga tidak berhasil membantu banyak
karena menuntun kami memasuki pilihan jalan yang tidak kami kehendaki karena
kondisinya yang jelek atau kotor. Semua orang
yang ditanya supir saya tidak berhasil memberi arah yang menuntun kami
ke tempat tujuan dan membuat kami harus membuang banyak waktu karena harus
berputar-putar dengan tidak jelas sehingga saya akhirnya memutuskan untuk turun
dan bertanya langsung kepada seseorang di depan sebuah pabrik, seseorang yang
belakangan saya ketahui bekerja di pabrik tersebut. Ternyata jangankan untuk
mengetahui lokasi jalan/alamat yang saya hendak tuju, pekerja tersebut bahkan
tidak tahu nama jalan tempat pabrik tempatnya bekerja! Katanya dia hanya
mengenal nama Blok saja dan tidak tahu nama jalannya. Rasa panasaran terhadap
sikap tersebut membuat saya memasuki gedung pabrik tersebut dan bertanya
langsung kepada sekitar 8 – 10 orang yang sedang berkumpul di dalam. Ternyata
mereka juga tidak dapat memastikan nama jalan di depan tempat mereka bekerja
dan tidak sepakat dengan nomor Blok lokasi pabrik mereka. Sebagian mengatakan
Blok C dan ada yang mengatakan Blok G. Dari pengejaran melalui
pertanyaan-pertanyaan, saya dapat membaca situasi dan sikap masing-masing
sehingga menilai yang mengatakan Blok G tampak lebih dapat diandalkan
jawabannya dan dari seseorang diantara mereka tersebut saya berhasil mengetahui
bahwa untuk sampai ke alamat yang hendak saya tuju saya hanya perlu keluar dari
gedung pabrik mereka ke arah kanan dan langsung belok kanan sekitar 50 meter
kemudian dan adalah bangunan ketiga setelah belokan tersebut, sama-sama di Blok
G.
Ternyata keadaan
tersebut tidak berdiri sendiri. Seorang kolega mengatakan dia melakukan
pengujian tunggal setelah mendengar pengalaman saya dan dia sangat terkejut
mengetahui bahwa supirnya yang telah bekerja 3 bulan padanya tidak mengetahui
nama jalan di samping rumahnya yang menjadi lokasinya tempatnya mencuci mobil
setiap pagi! Tidak mengetahui alamat yang ditanyakan adalah sesuatu yang dapat
dimaklumi tetapi tidak mengetahui nama jalan tempat mencari nafkah menimbulkan
tanda tanya besar tentang keganjilan pada pola pikir dan budaya sekelompok
masyarakat.
Pengalaman
tersebut dan beberapa diskusi yang saya alami membawa saya pada suatu
kesimpulan yang mungkin menarik untuk diuji oleh peminat atau ahli perilaku perubahan
budaya masyarakat dan dampaknya tentang apakah tingkat kesulitan perekonomian
dan tekanan kehidupan sehari-hari menciptakan suatu kelas masyarakat yang hanya
berpikir singkat seperti yang dikemukakan buruh-buruh pabrik yang saya
ceritakan di atas: “Yang penting saya
tahu bagaimana bisa sampai ke tempat saya bekerja”. Atau seperti jawaban si
supir, “Kita kan sudah sibuk dengan
urusan masing-masing dan saya yakin supir-supir lain di sekitar juga seperti
saya” walaupun dia memiliki begitu banyak waktu kosong yang tersedia sewaktu
menunggu tugas mengantar majikannya.
Dapat
dibayangkan betapa beratnya tantangan pembangunan masyarakat Indonesia jika
gambaran di atas merupakan indikasi pola pikir dan budaya yang berkembang di
kalangan bawah. Hal ini juga berarti betapa pentingnya penerapan program Revolusi
Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi dalam janji kampanyenya dulu.
Jakarta,
3 Juli 2015/16 Ramadan 1436 H
No comments:
Post a Comment