Rencana
pengenaan pajak progresif atas kepemilikan kendaraan bermotor. Patutkah?
Oleh; Dr Junaedy Ganie
Dengan alasan untuk mengurangi minat terhadap
kepemilikan kendaraan bermotor, pemerintah menerapkan pajak progresif atas
kendaraan kedua dan seterusnya yang bertingkat menjadi lebih besar. Ketentuan
ini telah diterima sebagai norma yamg berlaku. Dengan disinsentif pajak
tersebut pemerintah mengharapkan masyarakat akan memilih untuk mempergunakan
kendaran umum, bukan membeli mobil baru. Ketentuan tersebut sampai batas
tertentu dapat dimengerti namun sejauh mana keterbukaan pemerintah tentang besaran
dana yang terkumpul dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk fasilitas angkutan
umum yang lebih banyak dan lebih baik. Jika sarana angkutan umum mencukupi,
nyaman dan aman sebagian besar lapisan masyarakat tentu akan memilih kendaraan
umum. Nanti bisa dibuktikan setelah MRT dan LRT beroperasi.Pada awal kehadiran
TransJakarta (yang entah bagaiama dulu lebih dikenal dengan nama Bus
Way) saya pribadi dan beberapa rekan sering memilih naik TransJakarta untuk
menghadiri kelas pendidikan jam 5 sore di daerah 3 in 1 dan meminta supir menyusul setelah jam 7 malam karena TransJakarta
masih nyaman, memiliki frekuensi kedatangan yang cepat dan semua “kebagian” tempat
duduk. Seiring dengan meningkatnya daya
beli masyarakat, TransJakarta telah menjadi kebutuhan pokok yang lebih tinggi
dari ketersediaannya.
Selanjutnya,
belum lama ini saya mendengar adanya rencana pemerintah untuk mengenakan pajak
progresif atas dasar kepemilikan kendaraan bermotor berdasarkan domisili nama
pemilik kendaraan. Akibatnya, apabila kelak diterapkan maka beban pajak bagi mobil
anak dan keluarga yang masih tinggal bersama orang tua akan sangat membebani
masyarakat padahal kita mengetahui terdapat sejumlah anggota masyarakat yang
menumpang karena belum mampu memiliki rumah sendiri dan memiliki kendaraan bukan
untuk kemewahan tetapi untuk efisiensi dan kelancaran mobilitas karena sarana
angkutan umum yang tidak memadai. Entah apa penyebabnya selama ini sebab dari
apa yang kita sering kita dengar dari Gubernur Ahok, dapat kita simpulkan bahwa
pemerintah DKI itu sebenarnya kaya dan mampu membeli dan terbukti sekarang
mulai mengejar ketinggalannya.
Terlepas
dari pro dan kontra bahwa ketika
perekonomian sedang sulit, kebijakan perpajakan harus dibuat lebih rilek
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi, timbul pertanyaan apakah
pejabat yang merencanakan pengenaan pajak progresif atas dasar domisili
tersebut masih dianggap normal atau tidak. Melihat dari jenis pajaknya, pemikiran tentang kebijakan tersebut besar kemungkinan datang dari Pemda DKI. Pandangan yang muncul adalah bahwa pemerintah lebih
memilih memperbesar pendapatan pajak dari masyarakat yang taat pajak. Sementara
itu, di saat pencapaian target pajak yang tertinggal dari target, dari semua
lapisan potensi Wajib Pajak, rasio kepemilikan NPWP masih kecil dan dari
pemilik NPWP tersebut, jumlah yang menyerahkan SPT juga masih kecil. Semoga
aparatur negara kita dapat melakukan inovasi dan menemukan pemikiran yang lebih
kreatif dan efektif dalam meningkatkan pendapatan pajak. Bukan hanya sekedar mengambil
jalan pintas dan melupakan dampak dan tanggung jawab sendiri serta lupa bahwa dengan sarana angkutan umum yang
baik, masyarakat secara otomatis akan memanfaatkannya.
Mari kita
dukung dan menunggu bukti efektifitas dan buah dari peningkatan remunerasi bagi
pegawai kantor pajak terhadap peningkatan pendapatan pajak dengan cara yang
sehat.
Jakarta, 3 Juli 2015 / 16 Ramadan
1436 H
No comments:
Post a Comment