Monday 26 January 2015

Nasib SPBU Nasional Setelah Subsidi Dicabut - Public Policy / Energy

 
Oleh Junaedy Ganie

Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki 2015, pemerintah menghapuskan subsidi yang telah diterapkan sejak 1977/1978 pada produk BBM RON 88 (Premium) dan menerapkan subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter untuk produk Biosolar.

Seiring dengan menurunnya harga minyak bumi di pasar internasional, harga Premium turun menjadi Rp7.600 dan Biosolar Rp7.250 per liter dan sejak 19 Januari menjadi Rp6.700 dan Rp6.400. Selanjutnya, harga akan berfluktuasi mengikuti harga keekonomian seperti halnya pada Pertamax, terutama dipengaruhi harga minyak internasional dan kurs dolar AS terhadap rupiah.

Penurunan harga disambut masyarakat dengan gembira tetapi perlu pula diantisipasi dampaknya nanti jika harga keekonomian naik tinggi.

Sementara itu, PT Pertamina (Persero) diberikan batas waktu dua tahun untuk meningkatkan kapasitas dan menjadikan produk RON 92 (Pertamax) sebagai pengganti Premium, sesuai rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Gas dan Minyak Bumi. Kebijakan ini memungkinkan SPBU asing menjual produk Premium.

Tampaknya, Indonesia sudah di ambang praktik pasar bebas sepenuhnya dalam pemasaran BBM dalam negeri, sesuatu yang ditunggu sejak lama oleh SPBU asing yang masuk ke Indonesia sebagai antisipasi atas penerapan ketentuan UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Menurut Pasal 28 ayat (2) UU tersebut, harga BBM dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, sehingga terbuka peluang bagi pelaku-pelaku usaha domestik dan asing berbisnis distribusi BBM yang sebelumnya dimonopoli oleh Pertamina.

Dengan berjalannya waktu, terjadi beberapa perkembangan seperti pembentukan BPH Migas yang kemudian mengeluarkan cetak biru strategi pengusahaan di industri minyak dan gas bumi yang diadopsi dari UU No. 22/2001, yang memuat tiga tahapan strategi pembukaan pasar BBM dengan tahap pasar bebas terbuka dimulai pada akhir 2010.

Lalu, bagaimana dampaknya terhadap Pertamina?

Nasib Pertamina akan tergantung pada kemampuan 5.300 SPBU nasional memenangkan persaingan pasar bebas. Berbagai pihak mengkhawatirkan kebijakan itu membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi pengusaha SPBU seperti Shell dan Total untuk menguasai pasar peredaran BBM di Indonesia, sehingga SPBU nasional akan tersingkir.

Jika kebijakan publik tidak memperhatikan kepentingan nasional, kekhawatiran itu sangat beralasan. Sebaliknya, penghapusan subsidi justru merupakan momentum yang tepat untuk memajukan SPBU nasional untuk kejayaan Pertamina.

Pengalaman ‘Pasti Pas’ selama ini telah mengindikasikan kemampuan SPBU nasional bertransformasi menjadi andalan Pertamina meningkatkan daya saing jaringan distribusinya.

KEBIJAKAN MARJIN

Selama ini SPBU nasional memperoleh marjin pendapatan dari Pertamina dalam jumlah nominal tertentu sebagai imbalan tanggung jawab penjualan. Jumlah itu sebenarnya belum memadai untuk memberikan kesempatan pengusaha SPBU untuk berkembang, padahal usaha ini tergolong usaha padat modal.

Akibatnya, di masa lalu adakalanya terdengar tuduhan tentang segelintir pengusaha SPBU berlaku curang untuk mengejar pendapatan.

Syukurlah, kebijakan ‘Pasti Pas’ dengan syarat-syarat yang berat dan diawasi dengan ketat telah berhasil meningkatkan kepercayaan masyarakat luas terhadap layanan SPBU Pertamina.
Pemenuhan syarat-syarat ‘Pasti Pas’ termasuk persyaratan lulus audit, memerlukan biaya besar. Ancaman pasar bebas dan kesadaran masyarakat terhadap layanan yang berkualitas tinggi menuntut SPBU nasional berbenah diri.

Sayangnya, tuntutan itu belum disertai dengan keberpihakan untuk memberdayakan mereka menjadi andalan Pertamina meningkatkan daya saingnya.

Sewaktu harga BBM dinaikan dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 (44,4%) untuk Premium dan Rp5.500 (22,2%) untuk Biosolar, kenaikan marjin pendapatan pengusaha SPBU sangat minim dan bahkan menurun secara rasio. Sewaktu harga Premium dan Biosolar pada 18 Nopember 2014, naik menjadi 31% dan 36,4%, nominal marjin pendapatan SPBU tidak naik sama sekali.

Pengusaha SPBU seolah-olah dituntut ikut berkontribusi mengurangi subsidi pemerintah.

Sementara kenaikan harga mengurangi beban pemerintah secara signifikan, pengusaha SPBU harus mengeluarkan modal kerja lebih besar untuk membeli BBM dengan harga baru dan membayar pajak penghasilan lebih besar.

Sebagian mungkin harus meminjam uang dari bank untuk membiayainya. Belum lagi, dampak kenaikan biaya hidup akibat kenaikan harga BBM dan kenaikan UMR menuntut pengusaha SPBU menaikan upah.

Setelah kenaikan 17% sejak subsidi dihapus, rasio marjin SPBU masih lebih kecil dari pada ketika pemerintah menanggung subsidi besar di masa lalu. Pemerintah belum mendukung Pertamina memberdayakan SPBU nasional menjadi jaringan distribusi dengan kualitas layanan yang tinggi.
Riset sederhana tentang besaran penghasilan bersih sebuah SPBU yang mewakili omzet rata-rata setelah dipotong biaya dibandingkan dengan tingkat investasi dan nilai aset SPBU akan menemukan rasio marjin yang wajar.

Bandingkan dengan marjin yang tinggi yang pernah diterima oleh pengusaha untuk bertindak semata-mata sebagai operator bagi SPBU asing tanpa harus mengeluarkan investasi pembangunan SPBU. Adapun, pengusaha SPBU Pertamina harus membiayai pembangunan SPBU terlebih dahulu.
Hiswana Migas agar terus meyakinkan pemerintah tentang besaran marjin yang pantas untuk SPBU. Pendekatan rasio marjin pendapatan akan lebih tepat mengingat fluktuasi harga.

DUKUNGAN TEKNIS

Pengusaha SPBU nasional pada umumnya tergolong pengusaha UKM dan sebagian besar masih dimiliki oleh pengusaha yang mengelola bisnisnya secara konvensional.
Usaha SPBU yang melibatkan uang tunai dalam jumlah yang besar mengakibatkan banyak pengawas SPBU bukan diangkat karena kemampuan manajemen dan teknis tetapi faktor kejujuran dan loyalitas.

Sementara itu, kualitas layanan SPBU nasional adalah cermin dari daya saing Pertamina. Namun, adilkah menuntut SPBU nasional mampu bersaing dengan SPBU asing tanpa kebijakan yang mendukung sebelum mendorong mereka ke arena pasar bebas?

Sebagai solusi, selain dari marjin yang pantas, dukungan teknis Pertamina secara proaktif akan menjadi daya ungkit dalam daya saing ujung tombak distribusinya terutama pada layanan konsumen,efisiensi operasional dan menghindarkan kerugian ekonomis.

Termasuk pula aspek penyusutan BBM, baik pada saat penerimaan maupun selama belum terjual, karena faktor teknis atau manusia.

Tuntutan dan upaya peningkatan kualitas memerlukan biaya tinggi.

Kuncinya, solusi yang dapat menyelesaikan masalah secara menyeluruh, tanpa merugikan konsumen. Akhir kata, penghapusan subsidi memungkinkan pemerintah menerapkan strategi pembangunan nasional yang terarah. Namun, masa depan Pertamina patut dipertanyakan.

Pertamina akan kalah bersaing jika SPBU nasional tidak didukung penuh untuk mampu bersaing dengan SPBU kelas dunia yang didukung kekuatan modal tanpa batas dan standar layanan yang didukung manajemen dan kemampuan teknis andal.

*) JUNAEDY GANIE, Pengamat usaha SPBU nasional

No comments:

Post a Comment