Wednesday 19 August 2015

Obituary: Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, PhD. - BANI Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Vol. 7 No.2, June 2015


 
 


by Junaedy Ganie

ABSTRACT

BANI join with the rest of the arbitration community in lamenting the passing of Professor DR Priyatna Abdurrasyid.  Other tributes have elaborated on his tremendous contribution to the arbitration practices in Indonesia and to the legal profession. He was one of the founders of BANI Arbitration Center; his record of achievement and service to the BANI and the wider arbitration practices was unique and immeasurable.

Over more than 22 years, he translated lay hopes for BANI organization into something that made coherent sense within the formal legal structures.  This took ingenuity, patience, and dedication far beyond the ordinary. The BANI will be forever in his debt for fashioning the regulatory framework from which it started.  Working with him in and around BANI that he had chaired for decades, arbitrator community came to a deeper appreciation of his multi-faceted mind, and always eager to share the fruits of wide experience in arbitration and the air space law.

Prof Priyatna held key governmental positions during his life, among others Vice Attorney General and legal advisors in Ministries of Mining and Transportation and Director at the International Institute of Air and Space Law.  His legacy to the current development of Air and Space Law in Indonesia as well as in the regions and worldwide is always remembered by his colleagues and students.   Prof Priyatna was also a writer of many articles, books and publications on Air Space and Arbitration.

He was always the scholar and a gentleman.  He was courteous and the epitome of kindness in his interactions with us.  We will miss him and we extend our sincere condolences to his wife and family.

May he rest in peace.

 

           Kabar duka dari BANI tentang meninggalnya Pak Pri, panggilan akrab almarhum Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, PhD saya terima sewaktu sedang berada di luar kota, sehingga menyesal tidak dapat menghadiri pemakaman almarhum.  Kepergian almarhum merupakan kehilangan besar bagi BANI yang telah dipimpin almarhum selama 22 tahun sejak 1993 dan bagi semua kolega sesama arbiter dan Pengurus BANI yang kehilangan seorang tokoh panutan yang berjasa besar.  Pak Pri adalah salah satu pendiri BANI pada tahun 1977.  Bagi bangsa Indonesia kepergian almarhum juga merupakan kehilangan tokoh perjuangan kemerdekaan dan tokoh penegak hukum yang memiliki sikap keteladanan yang tinggi.  Kepergian almarhum hanya satu hari setelah berpulangnya almarhum Benjamin Mangkoedilaga sesama tokoh penegak hukum dan arbiter BANI.
Telepon dari Pak Madjedi, seorang kolega sesama arbiter di BANI dan rekan kuliah sejak di tingkat S2 dan S3 Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran yang menjadi editor aktif di BANI Newsletter memberikan kehormatan kepada saya untuk menulis tentang almarhum.  Untuk memenuhi permintaan yang dengan senang hati saya terima tersebut saya menggabungkan pengalaman selama berinteraksi langsung dengan Pak Pri dan melalui isi biografi Pak Pri, yang menambah kekaguman dan rasa hormat saya kepadanya, yang di tulis bersama Ramadhan K.H. yang berjudul “H. Priyatna Abdurrasyid, Dari Cilampeni ke  New York mengikuti kata hati”  serta keterangan dan CV yang diperoleh dari Ibu Ida Zuraida, isteri Pak Pri.

Bagi saya pribadi, almarhum adalah seorang tokoh dan pribadi yang sangat berjasa.  Pada 28 Mei 2015, harian Bisnis Indonesia memuat hasil wawancara saya dengan reporternya, Wan Ulfa NZ.  Sebagaimana dimuat dalam tulisan tersebut, perkenalan saya dengan almarhum secara pribadi berawal dari hasrat saya untuk mencari solusi agar persengketaan yang timbul dalam perjanjian asuransi dapat ditangani oleh hakim yang mendalami bidang asuransi yang akan bertindak secara adil.  Hasrat tersebut melahirkan pemikiran untuk memilih topik tentang arbitrase sebagai materi tesis saya di jurusan Hukum Bisnis di Universitas Padjadjaran. Untuk itu saya memilih Pak Pri sebagai Pembimbing utama saya didampingi Huala Adolf, PhD yang sekarang juga telah menjadi seorang Guru Besar dan arbiter BANI.  Sayang sekali, almarhum tidak sempat membaca tulisan tersebut karena almarhum sedang sakit dan berpulang ke Rahmatullah satu hari setelah saya mengirim SMS meminta bantuan Pak Arief Sempurno dari Indonesian Arbitrators Institute (IArbI) untuk memperlihatkan kliping tulisan  tersebut kepada Pak Pri.

Saya sangat menghargai sikap almarhum yang membimbing dengan menggali pemahaman dan pengetahuan yang berkembang dalam diri saya selama proses bimbingan tersebut.  Dalam proses bimbingan tesis tersebut itulah, almarhum mengatakan kepada saya bahwa BANI kekurangan arbiter dengan latar belakang bidang pengalaman dan pengetahuan asuransi yang kokoh dan menawarkan kepada saya untuk menjadi arbiter BANI setelah lulus nanti, sebuah tawaran yang sangat menggembirakan saya.  Sekitar setahun setelah saya lulus, saya diwawancarai oleh Pengurus BANI dan menerima tawaran resmi dari BANI untuk menjadi seorang arbiter.

Saya belajar dari almarhum bagaimana beliau memiliki cara menilai pribadi dan menyeleksi kemampuan seseorang untuk menjadi arbiter dari lingkungan yang dikenalnya dengan baik.  Dari rekan-rekan saya satu angkatan yang menjadi mahasiswa almarhum di Universitas Padjadjaran, yang saat ini telah menjadi arbiter di BANI adalah Dr. Madjedi Hasan, Dr. Anita Kolopaking dan Dr. Danrivanto, semuanya diundang bergabung ke BANI dengan latar belakang dan keahlian pokok yang berbeda tetapi saling melengkapi, tanpa mengesampingkan Dr. N. Krisnawenda yang memang telah menjadi arbiter dan Sekretaris Jenderal BANI lebih dahulu.  Pak Pri juga mendorong kami untuk memberikan kontribusi kepada perkembangan BANI di luar peran sebagai seorang arbiter.  Hal tersebut antara lain, berkat peran aktif Pak Madjedi Hasan sebagai Editor in Chief, BANI Newsletter hidup kembali dan saya diminta untuk menjadi salah satu editornya suatu peran yang emban sampai beberapa tahun.  Selanjutnya, untuk menimbulkan citra yang lebih luwes dan berwawasan internasional, BANI memperkenalkan diri dengan identitas baru sebagai BANI Arbitration Center.

Dimanapun berada, Pak Pri tampil sangat “dendi” memakai jas warna gelap dan dasi warna cerah serta tidak lupa sepucuk saputangan yang “menyembul” dari kantong atas jasnya, setelan yang cocok sekali dengan kulitnya yang terang, sebuah penampilan yang sudah sangat langka.  Melihat penampilan almarhum tersebut, sulit membayangkan bahwa almarhum adalah seorang tokoh pejuang nasional yang semasa bergerilya dulu di berbagai pelosok Jawa, Sumatera dan Kalimantan berpakaian dekil dengan kulit hitam terbakar terik matahari atau karena terombang ambing di laut lepas dan jauh dari kebersihan sehingga bila menggaruk kepalanya akan tampak kutu di sela-sela kukunya sebagaimana ditulis dalam biografinya.

Membaca biografi tersebut membuat saya semakin mengenal Pak Pri dan semakin mengagumi dan menghormatinya.  Semangat perjuangan yang tinggi dan pantang mundur dari medan pertempuran dan strategi bergerilya yang dijalaninya bersama rekan-rekan seperjuangan patut menjadi cermin anak bangsa tanpa batas waktu.  Begitu juga dengan sikap dan integritasnya dalam penegakan hukum jauh sewaktu almarhum masih menjabat di Kejaksaan.  Sejarah almarhum berisi kiprah yang sangat luas mulai dari sebagai seorang pemuda pejuang kemerdekaan sampai berhasil mengatasi berbagai rintangan politis di dalam negeri untuk memegang jabatan sebagai Jaksa Agung muda dan menjabat sebagai Direktur Institute of Air Space Law di Paris.

Sewaktu menjadi pejabat di Kejaksaan, Pak Pri menorehkan rekam jejak sebagai pejabat yang aktif dalam pemberantasan korupsi.  Pergaulannya yang sangat luas yang memberinya pengetahuan tentang integritas berbagai tokoh yang bersih dan mendukung kemajuan Republik Indonesia membuatnya beberapa kali harus mengambil keputusan yang melawan instruksi atasan yang tentu mengandung konsekuensi yang tidak terukur.  Pak Pri, antara lain pernah membangkang perintah untuk menangkap Sumitro Djojohadikusumo dan Mochtar Kusumaatmadja.

Kepribadian Pak Pri juga membuatnya berada di lingkaran dalam penguasa tingkat nasional sehingga melalui hubungan baik dengan Jenderal Ibrahim Adjie, Pak Pri bergaul akrab dengan Bung Karno dan pada suatu masa sering bermain golf dengan Presiden Soeharto.  Di tingkat internasional, Pak Pri bahkan memiliki kedekatan dengan Robert Kennedy, Jaksa Agung Amerika Serikat. Oleh karena itu adalah sangat tepat dan beruntung bahwa BANI, sebuah lembaga penegak keadilan independen, tidak memihak yang selalu mengupayakan penyelesaian win-win dalam setiap perkara perdata yang ditangani, selama ini dipimpin oleh seorang tokoh penegak keadilan sekelas almarhum.  Terkesan atas isi biografi tersebut, saya “memaksa” anak-anak saya untuk membaca buku tersebut.

Jika dalam buku tersebut terekam perjuangan almarhum dalam melanjutkan   pendidikan di zaman gerilya yang serba sulit dan penuh keterbatasan. Semangat tersebut terbukti dengan almarhum pada masa hidupnya memiliki 2 gelar doktor dari dalam dan luar negeri dan mengemban profesi sebagai Guru Besar di Universitas Padjadjaran dan berbagai universitas negeri dan swasta dan sebagai Widyaiswara SESKO AU, AD, AL dan LEMHANAS dan menjadi penasehat hukum di Kementerian Pertambangan, Perhubungan dan Parpostel.  Apalagi jika mengetahui bahwa sampai seorang Mochtar Kusumaatmadja, sewaktu menjabat sebagai Menteri Kehakiman harus berjuang memastikan Pak Pri dapat menempuh pendidikan doktoral bidang hukum dan tidak mengindahkan tekanan agar tidak menjadi promotor Pak Pri di tengah hambatan  politis yang menghadang. Pak Pri berhasil memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran dalam tempo satu tahun dan diakui oleh Universitas Sorbonne di Paris.  Salah seorang pembimbingnya, Prof. Pepin mengatakan bahwa hasil penelitiannya adalah suatu karya ilmiah yang bagus dan menawarkan jabatan Guru Besar di Perancis kepadanya tetapi Pak Pri memilih tetap berkiprah di Indonesia.

Pak Pri memang bertabur penghargaan dan tanda jasa dari dalam dan luar negeri yang tentu saja termasuk Bintang Gerilya. Pak Pri adalah calon Duta Besar Indonesia pertama di RRC tetapi ditolaknya dengan alasan dia bukan seorang diplomat, suatu sikap yang langka.  Mungkin hanya sedikit yang mengetahui tapi dari biografi almarhum diketahui pula bahwa Pak Mochtar Kusumaatmadja ketika melepaskan jabatan sebagai Menteri Kehakiman untuk menjadi Menteri Luar Negeri mengatakan, “Pak Harto sudah menyetujui jij sebagai pengganti saya di Kehakiman” dan kemudian hari pernah pula menawarkan jabatan sebagai Duta Besar di PBB tetapi keduanya ditolak oleh Pak Pri.  Keahlian Pak Pri mendapat pengakuan internasional dan berkali-kali diundang untuk menyampaikan pendapat ilmiahnya diberbagai forum internasional selain kepercayaan menduduki sejumlah tanggung jawab di forum internasional dan bahkan pernah menolak tawaran untuk menjadi Direktur dari Institute of Air and Space Law di Kanada yang ditolaknya karena kecintaannya kepada Indonesia.

Dalam bidang ruang angkasa, gebrakan yang pernah dilakukan oleh pak Pri adalah mengatur orbit geostasioner, yaitu orbit yang berada tepat di sepanjang garis khatulistiwa.  Orbit ini berguna untuk menempatkan satelit; bila orbit tersebut tidak pernah diatur, maka di sana berlaku hukum rimba: first come, first served, siapa datang duluan, memiliki hak atasnya.  Hal ini tentu hanya menguntungkan negara-negara maju yang unggul dari sisi teknologi, dengan menempatkan satelit semaunya, baik yang komersial maupun militer.  Indonesia sangat berkepentingan karena merupakan negara yang memiliki orbit geo-stationer yang paling panjang.  Pak Pri lalu mengajukan usulan ke International Astronautical Federation, yang membawahi International Institute of Space Law (IISL) dan International Academy of Astronautics dan usulan itu mendapat tentangan keras dari beberapa wakil negara maju. 

Tidak salahlah seseorang tetangga yang memiliki latar belakang hukum dan mengenal beliau pernah mengatakan bahwa saya beruntung mendapatkan almarhum sebagai Pembimbing tesis saya karena ketokohan almarhum dan wawasan yang akan diberikannya.  Selain terhadap kepribadiannya, salah satu hal lain yang tidak luput dari pengamatan saya adalah kemampuan almarhum mengingat nama-nama dan kurun waktu sehingga jalinan peristiwa dalam biografinya mengalir dengan lancar hanya sedikit sekali pribadi-pribadi yang muncul dalam biorgafinya di zaman perjuangan kemerdekaan yang namanya luput dari ingatan Pak Pri atau tanpa waktu yang jelas.

Sikap yang lahir dari pengalaman sebagai pejuang kemerdekaan telah membentuk sikap Pak Pri yang tegas dan menjunjung tinggi komitmen dan integritas serta memegang teguh prinsip.  Hal ini antara lain, sebagaimana dimuat dalam biografi tesebut, tampak dalam pengalaman almarhum ketika mendapat ancaman penculikan dan kekhawatiran atas keselamatan keluarga sewaktu ditunjuk sebagai arbiter internasional dalam perkara PLN melawan perusahaan asing di bidang kelistrikan, Cal Energy dan Himpurna Patuha.  Ketika itu susunan majelis terdiri dari Pak Pri yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia, De Fina, seorang arbiter dari Australia dan keduanya sepakat menunjuk Jan Paulssson dari Perancis sebagai Ketua.

Sewaktu tiba di bandara Schiphol untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke tempat persidangan di Den Haag, Pak Pri menerima pemberitahuan dari seorang Indonesia untuk tidak menghadiri sidang disertai sesuatu yang tampak sebagai sebuah ancaman terselubung menyangkut keselamatan keluarganya jika meneruskan hadir.  Permintaan tersebut ditolak oleh Pak Pri sebab akan mengganggu reputasi sebagai wasit internasional dan harga dirinya kalau akan menghilang begitu saja.  Pada akhirnya, melalui proses panjang yang sampai melibatkan upaya berbagai pihak untuk mendukungnya termasuk pejabat-pejabat tinggi beberapa negara asing tidak kurang dari utusan Madelaine Albright, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, pejabat Bank Dunia dan pemerintah Belanda, Pak Pri akhirnya memang tidak hadir dan ketidakhadirannya diberitakan di surat-surat kabar Belanda, The Asian Wall Street Journal, The New York Times dan beberapa surat kabar di Inggris dan berbagai jurnal arbitrase.  Peristiwa tersebut dikatakan sebagai skandal arbitrase yang belum pernah terjadi dalam sejarah arbitrase.

Dalam perkara tersebut, Himpurna California Energy Ltd melawan PT PLN, pihak Indonesia kalah total dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar USD 572 juta. Menurut Pak Pri, kekalahan tersebut tidak perlu terjadi karena sebetulnya pada sidang-sidang pertama Ketua Majelis sudah bisa menerima argumentasi-argumentasi yang dikemukakan Pak Pri.  Ketidakhadiran salah satu pihak memang masih terjadi dalam persidangan arbitrase, suatu sikap yang keliru dan merugikan diri sendiri, yang umumnya lahir dari ketidakpahaman tentang proses berarbitrase dan konsekuensi dari ketidakhadiran dalam sidang arbitrase.  Kekalahan PLN ini kemudian diikuti oleh kekalahan Pertamina dalam perkara yang serupa, yakni perkara Karaha Bodas Company LLC melawan Pertamina, dimana Pertamina diwajibkan membayar USD 261 juta kepada pihak lawannya.  

Beliau juga telah menulis puluhan buah buku dan karya ilmiah.  Karya almarhum tentang arbitrase menjadi bacaan wajib bagi siapapun yang hendak mempelajari dan mendalami tentang arbitrase atau akan berarbitrase.  Selain tentang bidang arbitrase, materi tulisan yang paling menonjol adalah tentang kedirgantaraan (air space).  Saya masih ingat ketika diajak almarhum untuk ikut memberikan presentasi di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tentang peranan asuransi dalam peningkatan keselamatan penerbangan, seingat saya, tidak lama setelah pesawat Adam Air hilang di laut pada awal 2007.  Salah satu kolega almarhum yang bersama rombongan kami saat itu adalah Pak Marsekal Chappy Hakim, mantau KSAU.  Kebetulan bahwa perusahaan yang saya pimpin waktu itu berperan menangani penempatan reasuransi mungkin sampai 70% dari perusahaan penerbangan di Indonesia sehingga saya dan rekan saya Taufik Basri diberikan kepercayaan tersebut.

Hal-hal yang bersifat kebetulan sering membawa kita pada kiasan bahwa dunia ini sempit.  Perkenalan pertama dengan Pak Pri disusul oleh terbukanya pengetahuan saya bahwa isteri saya telah lebih dulu mengenal Ibu Ida Zuraida, isteri almarhum karena kegiatan orang tua murid dimana salah satu puteri almarhum adalah kakak kelas anak tertua kami di SD yang sama.  Suatu hubungan yang terus berlangsung akrab sampai sekarang.  Hubungan yang akrab diantara sesama ibu-ibu dan rasa hormat terhadap ketokohan Pak Pri membuat semua ibu-ibu orang tua murid tersebut membahasakan Pak Pri dengan “Ayah”.  Sewaktu memberikan bimbingan tesis saya dulu, Pak Pri adakalanya bercerita tentang masa perjuangan dan juga tentang tokoh-tokoh perjuangan yang dikenalnya di Sumatera Selatan setelah mengetahui bahwa saya berasal dari sana.  Kebetulan sewaktu pertama menetap di Jakarta saya menumpang di rumah seorang kerabat yang almarhum kenal baik semasa bergerilya dan tokoh penting di Sumatera Selatan dahulu sehingga ceritanya menjadi lebih “nyambung” dan menambah keakraban dengannya.  Saya merasa bersalah ketika mengunjungi almarhum di RS Pondok Indah, almarhum mengatakan di depan Ibu Ida bahwa walaupun sesama di BANI, almarhum sudah lama tidak bertemu saya.

Selamat jalan Pak Pri. Semoga mendapat tempat yang dimuliakan di akherat. Keteladan Pak Pri akan terus berarti penting bagi kami.

Jakarta, 21 Juni 2015

No comments:

Post a Comment