ABSTRACT
BANI join with the rest of the arbitration community in
lamenting the passing of Professor DR Priyatna Abdurrasyid. Other tributes have elaborated on his
tremendous contribution to the arbitration practices in Indonesia and to the
legal profession. He was one of the founders of BANI Arbitration Center; his
record of achievement and service to the BANI and the wider arbitration practices
was unique and immeasurable.
Over more than 22 years, he translated lay hopes for BANI
organization into something that made coherent sense within the formal legal
structures. This took ingenuity,
patience, and dedication far beyond the ordinary. The BANI will be forever in
his debt for fashioning the regulatory framework from which it started. Working with him in and around BANI that he
had chaired for decades, arbitrator community came to a deeper appreciation of
his multi-faceted mind, and always eager to share the fruits of wide experience
in arbitration and the air space law.
Prof Priyatna held key governmental positions during his
life, among others Vice Attorney General and legal advisors in Ministries of
Mining and Transportation and Director at the International Institute of Air
and Space Law. His legacy to the current
development of Air and Space Law in Indonesia as well as in the regions and
worldwide is always remembered by his colleagues and students. Prof Priyatna was also a writer of many
articles, books and publications on Air Space and Arbitration.
He was always the scholar and a gentleman. He was courteous and the epitome of kindness
in his interactions with us. We will
miss him and we extend our sincere condolences to his wife and family.
May he rest in peace.
Kabar
duka dari BANI tentang meninggalnya Pak Pri, panggilan akrab almarhum Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, PhD saya
terima sewaktu sedang berada di luar kota, sehingga menyesal tidak dapat
menghadiri pemakaman almarhum. Kepergian
almarhum merupakan kehilangan besar bagi BANI yang telah dipimpin almarhum selama
22 tahun sejak 1993 dan bagi semua kolega sesama arbiter dan Pengurus BANI yang
kehilangan seorang tokoh panutan yang berjasa besar. Pak Pri adalah salah satu pendiri BANI pada
tahun 1977. Bagi bangsa Indonesia
kepergian almarhum juga merupakan kehilangan tokoh perjuangan kemerdekaan dan
tokoh penegak hukum yang memiliki sikap keteladanan yang tinggi. Kepergian almarhum hanya satu hari setelah
berpulangnya almarhum Benjamin Mangkoedilaga sesama tokoh penegak hukum dan
arbiter BANI.
Telepon
dari Pak Madjedi, seorang kolega sesama arbiter di BANI dan rekan kuliah sejak
di tingkat S2 dan S3 Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran yang menjadi editor
aktif di BANI Newsletter memberikan kehormatan kepada saya untuk menulis
tentang almarhum. Untuk memenuhi
permintaan yang dengan senang hati saya terima tersebut saya menggabungkan
pengalaman selama berinteraksi langsung dengan Pak Pri dan melalui isi biografi
Pak Pri, yang menambah kekaguman dan rasa hormat saya kepadanya, yang di tulis bersama
Ramadhan K.H. yang berjudul “H. Priyatna Abdurrasyid, Dari Cilampeni
ke New York mengikuti kata hati” serta keterangan dan CV yang diperoleh
dari Ibu Ida Zuraida, isteri Pak Pri.
Bagi saya
pribadi, almarhum adalah seorang tokoh dan pribadi yang sangat berjasa. Pada 28 Mei 2015, harian Bisnis Indonesia
memuat hasil wawancara saya dengan reporternya, Wan Ulfa NZ. Sebagaimana dimuat dalam tulisan tersebut, perkenalan
saya dengan almarhum secara pribadi berawal dari hasrat saya untuk mencari
solusi agar persengketaan yang timbul dalam perjanjian asuransi dapat ditangani
oleh hakim yang mendalami bidang asuransi yang akan bertindak secara adil. Hasrat tersebut melahirkan pemikiran untuk
memilih topik tentang arbitrase sebagai materi tesis saya di jurusan Hukum
Bisnis di Universitas Padjadjaran. Untuk itu saya memilih Pak Pri sebagai
Pembimbing utama saya didampingi Huala Adolf, PhD yang sekarang juga telah
menjadi seorang Guru Besar dan arbiter BANI. Sayang sekali, almarhum tidak sempat membaca tulisan
tersebut karena almarhum sedang sakit dan berpulang ke Rahmatullah satu hari
setelah saya mengirim SMS meminta bantuan Pak Arief Sempurno dari Indonesian Arbitrators Institute (IArbI)
untuk memperlihatkan kliping tulisan
tersebut kepada Pak Pri.
Saya
sangat menghargai sikap almarhum yang membimbing dengan menggali pemahaman dan
pengetahuan yang berkembang dalam diri saya selama proses bimbingan tersebut. Dalam proses bimbingan tesis tersebut itulah,
almarhum mengatakan kepada saya bahwa BANI kekurangan arbiter dengan latar
belakang bidang pengalaman dan pengetahuan asuransi yang kokoh dan menawarkan
kepada saya untuk menjadi arbiter BANI setelah lulus nanti, sebuah tawaran yang
sangat menggembirakan saya. Sekitar
setahun setelah saya lulus, saya diwawancarai oleh Pengurus BANI dan menerima
tawaran resmi dari BANI untuk menjadi seorang arbiter.
Saya
belajar dari almarhum bagaimana beliau memiliki cara menilai pribadi dan menyeleksi
kemampuan seseorang untuk menjadi arbiter dari lingkungan yang dikenalnya
dengan baik. Dari rekan-rekan saya satu
angkatan yang menjadi mahasiswa almarhum di Universitas Padjadjaran, yang saat
ini telah menjadi arbiter di BANI adalah Dr. Madjedi Hasan, Dr. Anita
Kolopaking dan Dr. Danrivanto, semuanya diundang bergabung ke BANI dengan latar
belakang dan keahlian pokok yang berbeda tetapi saling melengkapi, tanpa mengesampingkan
Dr. N. Krisnawenda yang memang telah menjadi arbiter dan Sekretaris Jenderal
BANI lebih dahulu. Pak Pri juga
mendorong kami untuk memberikan kontribusi kepada perkembangan BANI di luar
peran sebagai seorang arbiter. Hal
tersebut antara lain, berkat peran aktif Pak Madjedi Hasan sebagai Editor in Chief, BANI Newsletter hidup
kembali dan saya diminta untuk menjadi salah satu editornya suatu peran yang
emban sampai beberapa tahun. Selanjutnya,
untuk menimbulkan citra yang lebih luwes dan berwawasan internasional, BANI
memperkenalkan diri dengan identitas baru sebagai BANI Arbitration Center.
Dimanapun
berada, Pak Pri tampil sangat “dendi” memakai jas warna gelap dan dasi warna cerah
serta tidak lupa sepucuk saputangan yang “menyembul” dari kantong atas jasnya,
setelan yang cocok sekali dengan kulitnya yang terang, sebuah penampilan yang
sudah sangat langka. Melihat penampilan
almarhum tersebut, sulit membayangkan bahwa almarhum adalah seorang tokoh
pejuang nasional yang semasa bergerilya dulu di berbagai pelosok Jawa, Sumatera
dan Kalimantan berpakaian dekil dengan kulit hitam terbakar terik matahari atau
karena terombang ambing di laut lepas dan jauh dari kebersihan sehingga bila
menggaruk kepalanya akan tampak kutu di sela-sela kukunya sebagaimana ditulis
dalam biografinya.
Membaca
biografi tersebut membuat saya semakin mengenal Pak Pri dan semakin mengagumi
dan menghormatinya. Semangat perjuangan
yang tinggi dan pantang mundur dari medan pertempuran dan strategi bergerilya
yang dijalaninya bersama rekan-rekan seperjuangan patut menjadi cermin anak
bangsa tanpa batas waktu. Begitu juga
dengan sikap dan integritasnya dalam penegakan hukum jauh sewaktu almarhum
masih menjabat di Kejaksaan. Sejarah
almarhum berisi kiprah yang sangat luas mulai dari sebagai seorang pemuda pejuang
kemerdekaan sampai berhasil mengatasi berbagai rintangan politis di dalam
negeri untuk memegang jabatan sebagai Jaksa Agung muda dan menjabat sebagai
Direktur Institute of Air Space Law
di Paris.
Sewaktu
menjadi pejabat di Kejaksaan, Pak Pri menorehkan rekam jejak sebagai pejabat
yang aktif dalam pemberantasan korupsi. Pergaulannya
yang sangat luas yang memberinya pengetahuan tentang integritas berbagai tokoh yang
bersih dan mendukung kemajuan Republik Indonesia membuatnya beberapa kali harus
mengambil keputusan yang melawan instruksi atasan yang tentu mengandung
konsekuensi yang tidak terukur. Pak Pri,
antara lain pernah membangkang perintah untuk menangkap Sumitro Djojohadikusumo
dan Mochtar Kusumaatmadja.
Kepribadian
Pak Pri juga membuatnya berada di lingkaran dalam penguasa tingkat nasional
sehingga melalui hubungan baik dengan Jenderal Ibrahim Adjie, Pak Pri bergaul
akrab dengan Bung Karno dan pada suatu masa sering bermain golf dengan Presiden
Soeharto. Di tingkat internasional, Pak
Pri bahkan memiliki kedekatan dengan Robert Kennedy, Jaksa Agung Amerika Serikat.
Oleh karena itu adalah sangat tepat dan beruntung bahwa BANI, sebuah lembaga
penegak keadilan independen, tidak memihak yang selalu mengupayakan penyelesaian
win-win dalam setiap perkara perdata
yang ditangani, selama ini dipimpin oleh seorang tokoh penegak keadilan sekelas
almarhum. Terkesan atas isi biografi tersebut,
saya “memaksa” anak-anak saya untuk membaca buku tersebut.
Jika
dalam buku tersebut terekam perjuangan almarhum dalam melanjutkan pendidikan di zaman gerilya yang serba sulit
dan penuh keterbatasan. Semangat tersebut terbukti dengan almarhum pada masa
hidupnya memiliki 2 gelar doktor dari dalam dan luar negeri dan mengemban
profesi sebagai Guru Besar di Universitas Padjadjaran dan berbagai universitas negeri
dan swasta dan sebagai Widyaiswara SESKO AU, AD, AL dan LEMHANAS dan menjadi
penasehat hukum di Kementerian Pertambangan, Perhubungan dan Parpostel. Apalagi jika mengetahui bahwa sampai seorang
Mochtar Kusumaatmadja, sewaktu menjabat sebagai Menteri Kehakiman harus
berjuang memastikan Pak Pri dapat menempuh pendidikan doktoral bidang hukum dan
tidak mengindahkan tekanan agar tidak menjadi promotor Pak Pri di tengah
hambatan politis yang menghadang. Pak
Pri berhasil memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran dalam
tempo satu tahun dan diakui oleh Universitas Sorbonne di Paris. Salah seorang pembimbingnya, Prof. Pepin
mengatakan bahwa hasil penelitiannya adalah suatu karya ilmiah yang bagus dan
menawarkan jabatan Guru Besar di Perancis kepadanya tetapi Pak Pri memilih
tetap berkiprah di Indonesia.
Pak Pri
memang bertabur penghargaan dan tanda jasa dari dalam dan luar negeri yang
tentu saja termasuk Bintang Gerilya. Pak Pri adalah calon Duta Besar Indonesia
pertama di RRC tetapi ditolaknya dengan alasan dia bukan seorang diplomat,
suatu sikap yang langka. Mungkin hanya
sedikit yang mengetahui tapi dari biografi almarhum diketahui pula bahwa Pak
Mochtar Kusumaatmadja ketika melepaskan jabatan sebagai Menteri Kehakiman untuk
menjadi Menteri Luar Negeri mengatakan,
“Pak Harto sudah menyetujui jij sebagai pengganti saya di Kehakiman” dan
kemudian hari pernah pula menawarkan jabatan sebagai Duta Besar di PBB tetapi
keduanya ditolak oleh Pak Pri. Keahlian
Pak Pri mendapat pengakuan internasional dan berkali-kali diundang untuk
menyampaikan pendapat ilmiahnya diberbagai forum internasional selain
kepercayaan menduduki sejumlah tanggung jawab di forum internasional dan bahkan
pernah menolak tawaran untuk menjadi Direktur dari Institute of Air and Space Law di Kanada yang ditolaknya karena kecintaannya
kepada Indonesia.
Dalam
bidang ruang angkasa, gebrakan yang pernah dilakukan oleh pak Pri adalah
mengatur orbit geostasioner, yaitu orbit yang berada tepat di sepanjang garis
khatulistiwa. Orbit ini berguna untuk
menempatkan satelit; bila orbit tersebut tidak pernah diatur, maka di sana
berlaku hukum rimba: first come, first
served, siapa datang duluan, memiliki hak atasnya. Hal ini tentu hanya menguntungkan
negara-negara maju yang unggul dari sisi teknologi, dengan menempatkan satelit
semaunya, baik yang komersial maupun militer.
Indonesia sangat berkepentingan karena merupakan
negara yang memiliki orbit geo-stationer
yang paling panjang. Pak Pri lalu
mengajukan usulan ke International
Astronautical Federation, yang membawahi International Institute of Space Law (IISL) dan International Academy of Astronautics
dan usulan itu mendapat tentangan keras dari beberapa wakil negara maju.
Tidak
salahlah seseorang tetangga yang memiliki latar belakang hukum dan mengenal
beliau pernah mengatakan bahwa saya beruntung mendapatkan almarhum sebagai
Pembimbing tesis saya karena ketokohan almarhum dan wawasan yang akan
diberikannya. Selain terhadap
kepribadiannya, salah satu hal lain yang tidak luput dari pengamatan saya adalah
kemampuan almarhum mengingat nama-nama dan kurun waktu sehingga jalinan
peristiwa dalam biografinya mengalir dengan lancar hanya sedikit sekali
pribadi-pribadi yang muncul dalam biorgafinya di zaman perjuangan kemerdekaan
yang namanya luput dari ingatan Pak Pri atau tanpa waktu yang jelas.
Sikap
yang lahir dari pengalaman sebagai pejuang kemerdekaan telah membentuk sikap
Pak Pri yang tegas dan menjunjung tinggi komitmen dan integritas serta memegang
teguh prinsip. Hal ini antara lain,
sebagaimana dimuat dalam biografi tesebut, tampak dalam pengalaman almarhum ketika
mendapat ancaman penculikan dan kekhawatiran atas keselamatan keluarga sewaktu
ditunjuk sebagai arbiter internasional dalam perkara PLN melawan perusahaan
asing di bidang kelistrikan, Cal Energy dan Himpurna Patuha. Ketika itu susunan majelis terdiri dari Pak
Pri yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia, De Fina, seorang arbiter dari
Australia dan keduanya sepakat menunjuk Jan Paulssson dari Perancis sebagai
Ketua.
Sewaktu tiba
di bandara Schiphol untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke tempat
persidangan di Den Haag, Pak Pri menerima pemberitahuan dari seorang Indonesia untuk
tidak menghadiri sidang disertai sesuatu yang tampak sebagai sebuah ancaman
terselubung menyangkut keselamatan keluarganya jika meneruskan hadir. Permintaan tersebut ditolak oleh Pak Pri sebab
akan mengganggu reputasi sebagai wasit internasional dan harga dirinya kalau
akan menghilang begitu saja. Pada
akhirnya, melalui proses panjang yang sampai melibatkan upaya berbagai pihak untuk
mendukungnya termasuk pejabat-pejabat tinggi beberapa negara asing tidak kurang
dari utusan Madelaine Albright, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, pejabat
Bank Dunia dan pemerintah Belanda, Pak Pri akhirnya memang tidak hadir dan
ketidakhadirannya diberitakan di surat-surat kabar Belanda, The Asian Wall Street Journal, The New York
Times dan beberapa surat kabar di Inggris dan berbagai jurnal arbitrase. Peristiwa tersebut dikatakan sebagai skandal
arbitrase yang belum pernah terjadi dalam sejarah arbitrase.
Dalam
perkara tersebut, Himpurna California Energy Ltd melawan PT PLN, pihak Indonesia
kalah total dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar USD 572 juta. Menurut Pak
Pri, kekalahan tersebut tidak perlu terjadi karena sebetulnya pada
sidang-sidang pertama Ketua Majelis sudah bisa menerima argumentasi-argumentasi
yang dikemukakan Pak Pri. Ketidakhadiran
salah satu pihak memang masih terjadi dalam persidangan arbitrase, suatu sikap
yang keliru dan merugikan diri sendiri, yang umumnya lahir dari ketidakpahaman
tentang proses berarbitrase dan konsekuensi dari ketidakhadiran dalam sidang arbitrase. Kekalahan PLN ini kemudian diikuti oleh
kekalahan Pertamina dalam perkara yang serupa, yakni perkara Karaha Bodas
Company LLC melawan Pertamina, dimana Pertamina diwajibkan membayar USD 261
juta kepada pihak lawannya.
Beliau
juga telah menulis puluhan buah buku dan karya ilmiah. Karya almarhum tentang arbitrase menjadi
bacaan wajib bagi siapapun yang hendak mempelajari dan mendalami tentang
arbitrase atau akan berarbitrase. Selain
tentang bidang arbitrase, materi tulisan yang paling menonjol adalah tentang
kedirgantaraan (air space). Saya masih ingat ketika diajak almarhum untuk
ikut memberikan presentasi di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tentang
peranan asuransi dalam peningkatan keselamatan penerbangan, seingat saya, tidak
lama setelah pesawat Adam Air hilang di laut pada awal 2007. Salah satu kolega almarhum yang bersama
rombongan kami saat itu adalah Pak Marsekal Chappy Hakim, mantau KSAU. Kebetulan bahwa perusahaan yang saya pimpin waktu
itu berperan menangani penempatan reasuransi mungkin sampai 70% dari perusahaan
penerbangan di Indonesia sehingga saya dan rekan saya Taufik Basri diberikan
kepercayaan tersebut.
Hal-hal
yang bersifat kebetulan sering membawa kita pada kiasan bahwa dunia ini sempit.
Perkenalan pertama dengan Pak Pri
disusul oleh terbukanya pengetahuan saya bahwa isteri saya telah lebih dulu
mengenal Ibu Ida Zuraida, isteri almarhum karena kegiatan orang tua murid
dimana salah satu puteri almarhum adalah kakak kelas anak tertua kami di SD
yang sama. Suatu hubungan yang terus
berlangsung akrab sampai sekarang. Hubungan
yang akrab diantara sesama ibu-ibu dan rasa hormat terhadap ketokohan Pak Pri
membuat semua ibu-ibu orang tua murid tersebut membahasakan Pak Pri dengan
“Ayah”. Sewaktu memberikan bimbingan
tesis saya dulu, Pak Pri adakalanya bercerita tentang masa perjuangan dan juga
tentang tokoh-tokoh perjuangan yang dikenalnya di Sumatera Selatan setelah
mengetahui bahwa saya berasal dari sana. Kebetulan sewaktu pertama menetap di Jakarta
saya menumpang di rumah seorang kerabat yang almarhum kenal baik semasa
bergerilya dan tokoh penting di Sumatera Selatan dahulu sehingga ceritanya menjadi
lebih “nyambung” dan menambah keakraban dengannya. Saya merasa bersalah ketika mengunjungi
almarhum di RS Pondok Indah, almarhum mengatakan di depan Ibu Ida bahwa
walaupun sesama di BANI, almarhum sudah lama tidak bertemu saya.
Selamat
jalan Pak Pri. Semoga mendapat tempat yang dimuliakan di akherat. Keteladan Pak
Pri akan terus berarti penting bagi kami.
Jakarta, 21 Juni 2015