Oleh
Dr. Junaedy Ganie
Pada
bulan 20 Januari 2016, saya membaca berita di harian Kompas tentang usulan Kementerian
Kelautan dan Perikanan agar Kementerian Perdagangan merevisi Peraturan Menteri
Perdagangan tentang Ketentuan Impor Garam. Peraturan tersebut dinilai lemah
dalam pengendalian impor garam sehingga berpotensi melemahkan usaha garam
rakyat yang sedang berbenah. Adalah
dapat dimengerti bahwa kualitas garam untuk keperluan industri harus memenuhi
suatu standar tertentu sehingga saat ini mungkin masih jauh dari cukup untuk
seluruhnya dipenuhi dari garam produksi rakyat. Tetapi, bukankah statistik pada
awal tahun berlakunya MEA ini menunjukan semakin besarnya ketergantungan kita
terhadap barang impor dan timpangnya Neraca Perdagangan kita dengan negara-negara
tertentu di Asean sehingga sudah menjadi logika masyarakat umum bahwa setiap
kebijakan pemerintah perlu memasukan elemen strategi untuk mengurangi beban impor.
Apalagi bagi kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan yang telah menjadi bagian
dari kebijakan pokok pemerintahan Jokowi JK (Nawacita). Dengan demikian, setiap
kebijakan seyogyanya harus sepadu dengan kebijakan dari Kementerian lainnya dan
road map ketahanan pangan nasional termasuk
pentingnya mengutamakan kepentingan umum dan kepentingan jangka panjang anak
bangsa yang dilakukan secara konsisten.
Dasar
pemikiran lahirnya ketentuan Kementerian Perdagangan yang diberitakan menghapus
ketentuan harga patokan harga, pembatasan waktu impor dan meniadakan kewajiban importir
untuk menyerap garam rakyat perlu diketahui dan dimengerti oleh semua pemangku
kepentingan. Pernyataan bahwa bahwa impor garam industri tidak melibatkan
rekomendasi lintas kementerian sehingga peraturan keluar ketika petani garam berbenah
menuju swasembada garam industri melalui perbaikan mutu dan teknologi untuk
memenuhi kebutuhan industri menunjukan lemahnya koordinasi antar kementerian. Bahwa sewaktu terdapat harga patokan ditentukan
sebesar Rp 750 per kg, harga garam rakyat paling tinggi Rp 400 dan sekarang
ditawar hanya Rp 200 per kg, seperti yang dikemukakan oleh petani garam di daerah
Pemekasan, Jawa Timur, apakah hal tersebut bukan berarti lonceng kematian bagi
produksi garam rakyat telah berbunyi. Jika demikan halnya, bukan hanya garam
industri yang masih harus di impor, nanti garam keperluan rumah tangga pun
harus dipenuhi dari impor. Lalu dimana strategi ketahanan nasional nya? Adalah
ironis sekali jika, negara yang memiliki salah salah satu garis pantai terpanjang
di dunia tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan garam rakyatnya.
Hal
yang sama mungkin terjadi pada pemenuhan kebutuhan daging. Apa bukti peran dan komitmen serta tanggung jawab pemerintah dalam hal pengembangan perternakan nasional? Pulau-pulau di
Nusatenggara Timur secara tradisional telah mampu mengembangkan usaha
perternakan rakyat dalam skala besar sehingga mampu menjadi pemasok utama
kebutuhan daging sapi nasional. Tentunya, para peternak tersebut akan dapat
berkembang lebih baik untuk mengurangi celah besar yang harus di isi dengan
daging impor jika mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Kehadiran kapal
khusus ternak merupakan langkah awal yang besar yang mudah-mudahan dapat
berperan sesuai kepentingan umum. Pertanyaannya adalah jika pada alam yang
tandus dan curah yang terbatas, ternak sapi dapat berkembang biak dengan baik
dan aman, apakah keberhasilan tersebut tidak dapat ditiru di pulau-pulau lain
di Indonesia seperti Sumatera dan Kalimantan yang memiliki lahan luas dan
subur. Kalau kita belum terampil mengelolanya apakah tidak lebih baik kita
memperkerjakan tenaga professional walaupun bangsa asing jika kebijakan
tersebut menjadi prasyarat untuk mencapai cita yang diidamkan pada saat ini. Bukankan
kita pernah meng “kontrakkan” manajemen Bea dan Cukai kepada Swiss walaupun
mungkin dengan alasan yang berbeda. Walaupun secara pertimbangan komersial,
usaha penggemukan sapi adalah lebih menguntungkan namun secara jangka panjang
tidak mendukung ketahanan pangan nasional.
Indonesia juga
bisa
Kesulitan
pemenuhan kebutuhan nasional dalam sektor pokok seperti garam dan daging
mungkin merupakan bagian kecil dari permasalahan bangsa tetapi keduanya dalam ketahanan pangan
merupakan isu sentral sehingga sepatutnya menjadi prioritas utama sambil menunggu kapan
swasembada beras dan palawija terpenuhi. Entah dimanakah masalahnya sehingga
begitu sulit mengatasinya? Monopoli kah? Mafia kah? Entah apalagi namanya.
Kepentingan? Ujungnya adalah semakin beratnya beban ekonomi rakyat dan semakin
menurunnya daya beli. Menunjuk BUMN yang diberi tugas untuk menjalankan fungsi
tersebut mungkin merupakan salah satu jawaban yang efektif. Tidak semua BUMN
berhasil dan sebagian bahkan menjadi masalah dan beban bagi pemerintah tetapi keberhasilan
menjalankan suatu misi sangat tergantung kepada kemampuan pengurus membawa
semua jajarannya menuju sasaran yang sama berlandaskan target yang jelas, akuntabilitas
dan integritas yang tinggi dengan didukung oleh kebijakan politik yang kuat dan
konsisten dan sinergi lintas kementerian. Siapa dulu yang yakin bahwa kita akan
dapat menumpang kereta api dengan nyaman dan stasiun-stasiun kereta api di Jawa
dapat bersih dan tertib seperti sekarang? Satu contoh keberhasilan telah
terpatri dan bahwa BANGSA INDONESIA JUGA BISA. Banyak permasalahan yang
satu-satu dapat diurai dan dirangkai ulang dan dijadikan lebih baik.
Tanpa
kehendak yang kuat untuk mengatasinya, bisa jadi daging ayam pun harus kita
impor. Sebagaimana diberitakan harian Kompas pada hari ini, Rabu, 17 Februari
2016 bahwa harga daging ayam di Indonesia adalah termahal di dunia.
Perbandingan yang ditunjukan adalah bahwa penduduk Malaysia yang memiliki
pendapatan per kapita sebesar Rp 104 juta per tahun membeli daging ayam pada tingkat
harga Rp 13.500 per kg. Di Thailand harga daging ayam Rp 14.000 per kg.
Bandingkan harga ayam sebesar Rp 36.000 – Rp 39.000 di Indonesia padahal
pendapatan per kapita penduduk kita hanya Rp 36 juta per tahun.
Keadaan
ini tentu menimbulkan kesulitan, kebingungan dan semakin memperlemah daya beli
masyarakat Indonesia. Sebesar apakah kesulitan yang dihadapi pemerintah untuk
mengatasinya dan membuat rakyat mengerti apa yang terjadi?
Jakarta, 18
Februari 2016.