Link to the article at hukumonline.com:
Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan sebagai Saksi Fakta - Arbitration
Senin, 11 May 2020
Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan Sebagai Saksi Fakta di Sidang Arbitrase
Oleh: Junaedy Ganie*)
Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa tidak memperoleh keadilan.
Sewaktu menjadi pembicara dalam suatu forum di Jakarta pada awal tahun 2020, seorang peserta menanyakan apakah forensic expert yang akan dihadirkan dalam suatu perkara penyelesaian persengketaan melalui arbitrase akan dihadirkan sebagai Ahli atau Saksi Fakta. Tambahan informasi adalah bahwa forensic expert tersebut telah bekerja untuk kepentingan penyelesaian klaim asuransi dan ditunjuk untuk melengkapi hasil penyelidikan yang dilakukan oleh loss adjuster yang ditunjuk oleh perusahaan asuransi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan telah mendorong saya mengembangkannya lebih jauh dalam tulisan ini.
Saya menjawab bahwa forensic expert bekerja berdasarkan
keahliannya dan melakukannya setelah kejadian timbul (post factum), misalnya
dalam klaim asuransi kebakaran, forensic expert baru terlibat setelah kebakaran
padam. Forensic expert bukan pihak yang melihat langsung, mengetahui apa yang
telah terjadi atau fakta yang ada sebelum timbul suatu klaim ataupun
persengketaan klaim asuransi sebagaimana halnya dengan definisi Saksi Fakta.
Oleh karena itu, saya menyatakan bahwa forensic expert
seharusnya dihadirkan sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. Sebagai pihak
yang dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan berdasarkan keahliannya setelah
timbul kejadian yang menjadi penyebab terjadinya sengketa, tidak ada pilihan
yang tepat selain mendudukan forensic expert sebagai Ahli. Secara jelas, forensic
expert tidak memenuhi definisi Saksi Fakta di atas.
Saya juga menyatakan bahwa kedudukan yang sama juga berlaku
bagi loss adjuster, yaitu untuk dihadirkan dalam suatu persidangan arbitrase.
sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. Alasan yang sama berlaku, yaitu
dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan setelah kejadian, misalnya tentang
penyebab kebakaran, menghitung jumlah kerugian. Loss adjuster tidak melihat,
mengetahui atau terlibat apapun sewaktu kejadian terjadi, misalnya tidak
mengetahui langsung jam berapa kebakaran timbul, berapa lama kebakaran
berlangsung dan bagaimana kronologisnya, dari mana sumber api muncul, bagaimana
proses pemadaman kebakaran berlangsung.
Loss adjuster dapat mengumpulkan informasi tersebut dari
berbagai sumber setelah kejadian. Tugas loss adjuster adalah, berdasarkan
keahliannya, memberikan opini dan rekomendasi dalam laporannya kepada
penanggung, misalnya tentang apa penyebab kebakaran, apakah penyebab tersebut
termasuk dalam lingkup pertanggungan polis dan berapa jumlah kerugian yang
timbul dan berapa yang berhak diganti berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan
polis.
Selanjutnya, apakah isi laporan yang disusun oleh loss
adjuster atau forensic expert merupakan fakta? Penilaian loss adjuster atas
keadaan yang telah terjadi (post factum) berdasarkan keahliannya belum
merupakan suatu kebenaran yang mutlak, dapat berbeda dengan pendapat ahli yang
lain, tergantung tingkat keahlian, pengalaman dan kehati-hatian masing-masing
ahli. Sebagaimana dikemukakan di atas, kehadiran tenaga ahli pendukung seperti forensic
expert dan ahli-ahli lain diperlukan terutama untuk suatu kejadian yang
bersifat kompleks atau ketika loss adjuster yang ditunjuk memiliki
keterbatasan, baik dalam keahlian maupun ketersediaan waktunya (availability). Oleh
karena itu pendapat ahli tersebut dapat diperdebatkan dan untuk dipertimbangkan
atau dikesampingkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa perkara.
Apa yang terjadi jika Ahli dihadirkan sebagai Saksi Fakta dan sebaliknya?
Adalah hak masing-masing pihak apakah akan mengajukan Ahli
sebagai Saksi Fakta dalam suatu persidangan atau jika hendak mengajukan Saksi
Fakta sebagai Ahli. Di sinilah para arbiter harus berperan untuk memberikan
masukan kepada para pihak tentang implikasi jika terjadi salah pengajuan
kapasitas. Persidangan akan kehilangan esensi jika terjadi kesalahan kapasitas.
Jika kehadiran akan menimbulkan konflik kepentingan atau tidak akan
mendatangkan manfaat yang wajar, arbiter atau majelis harus menolak, baik dengan
atau tanpa adanya protes dari pihak lawan berperkara. Di sini perlu dibedakan
antara ahli yang dihadirkan untuk memberikan keahlian teoritis dalam bidangnya
dengan ahli yang menyusun laporan ahli yang menjadi materi pokok persengketaan.
Memang ada kalanya ahli dihadirkan pihak sebagai saksi fakta
di persidangan. “Saksi Fakta” tersebut tidak akan memberikan manfaat banyak
bagi pihak yang mengajukan dan arbiter atau majelis arbitrase sebab yang akan
terjadi umumnya. Pertama, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan pihak yang
mengajukan tidak dapat lari jauh dari tentang keahlian dan pendapat “saksi
fakta” sehingga sidang akan terganggu interupsi pihak lawan yang protes atas
pertanyaan-pertanyaan tentang keahlian dan pendapat “saksi fakta”.
Kedua, “saksi fakta” tidak dapat memberikan banyak informasi
tentang fakta sebelum persengketaan timbul. Sebagai contoh, jika ahli yang
menyediakan jasa meneliti dan mengevaluasi penyebab jalan longsor dihadirkan
sebagai saksi fakta, maka akan sangat terbatas yang dapat dikemukakannya di
persidangan sebab hal-hal yang dilihat, diketahui setelah persengketaan bukan
kapasitas saksi fakta. Arbiter atau majelis akan lebih bijaksana untuk menolak
kehadiran ahli yang hendak diajukan sebagai saksi fakta sebagaimana patutnya
menolak menghadirkan ahli yang seharusnya didudukan sebagai saksi fakta sebab
dapat menimbulkan konflik kepentingan atau penolakan. Terdapat tembok pemisah
yang jelas diantara keduanya.
Bagaimana status laporan Ahli yang menjadi pokok
persengketaan jika Ahli tersebut tidak dihadirkan untuk verifikasi atau
dihadirkan sebagai Saksi Fakta?
Sebagaimana dikemukakan di atas, pendapat atau
isi laporan yang disusun oleh loss adjuster atau ahli apapun yang menyediakan
jasanya untuk melengkapi jasa loss adjuster bukan merupakan kebenaran mutlak
atau fakta tetapi pendapat yang disusun berdasarkan keahlian sehingga dapat
berbeda dengan pendapat ahli yang lain, apapun alasannya.
Oleh karena itu, arbiter perlu menguji dan menggali
kebenaran dengan menghadirkan loss adjuster atau ahli-ahli lain yang
pendapatnya yang menjadi bagian dari dasar laporan loss adjuster. Para arbiter
juga perlu memperhatikan dan mempertimbangkan argumentasi hukum dan teknis
pihak yang menolak kebenaran isi laporan dan pendapat ahli atau ahli-ahli lain
yang dihadirkan pihak lawan yang berbeda dengan pendapat loss adjuster penyusun
laporan sebelum memutus suatu perkara.
Adalah lumrah bahwa para arbiter belum tentu sangat ahli
dalam bidang yang dipersengketakan sehingga dalam mengambil putusan akan
mendengarkan pendapat ahli atau ahli-ahli dari kedua belah pihak. Bahkan
menunjuk sendiri ahli yang diperlukan atas biaya para pihak. Selanjutnya, jika
laporan ahli yang disusun loss adjuster sebagai rekomendasi bagi penanggung
ditolak oleh pihak lawan dan menjadi materi pokok persengketaan, apakah arbiter
atau majelis dapat menjadikannya sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memutus
perkara tanpa menghadirkan ahli penyusun laporan di persidangan untuk melakukan
verifikasi atas kebenarannya dan memberikan hak kepada lawan untuk melakukan
pemeriksaan silang (cross-examination)? Apakah para arbiter akan memperoleh
dasar pertimbangan hukum yang kuat untuk memutus jika loss adjuster tidak
dihadirkan sebagai ahli?
Demikian juga halnya, jika ahli yang menyusun laporan
pendukung yang menjadi dasar material bagi loss adjuster untuk membuat pendapat
dan rekomendasinya kepada penanggung tidak dapat berbicara tentang kejadian
yang post factum dan tidak dapat memberikan opini sebab dihadirkan sebagai
saksi fakta? Apabila laporan ahli seperti loss adjuster yang menjadi
pokok persengketaan telah dijadikan dasar pertimbangan hukum tanpa verifikasi
atas laporan tersebut di persidangan oleh arbiter/majelis arbitrase untuk
menolak atau mengabulkan tuntutan arbitrase suatu pihak, terdapat risiko yang
besar bahwa penuntut atau pihak yang dirugikan tidak mendapat keadilan yang
menjadi haknya dalam persidangan, terlepas apapun putusan akhir dari arbiter.
Arbiter atau majelis arbitrase akan sulit untuk berbuat adil atau tampak adil
apabila tidak melakukan verifikasi atas isi laporan loss adjuster yang ditolak
pihak lawan yang justru menjadi materi pokok persengketaan.
Apakah arbiter dapat menyampingkan argumentasi salah satu
pihak dan pendapat ahli yang diajukan salah satu pihak tanpa memuatnya dalam
pertimbangan hukum?
Arbiter tunggal atau majelis arbitrase dapat saja
mengenyampingkan pendapat satu atau lebih ahli tanpa memuat dalam pertimbangan
hukumnya apabila terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang kuat yang dimuat
dalam pertimbangan hukum yang dengan sendirinya akan membantah pendapat berbeda
dari ahli lain.
Namun, ketika laporan yang menjadi pokok persengketaan tidak
diverifikasi di persidangan, tidak ada kesempatan pihak lawan untuk melakukan
pemeriksaaan silang atas keterangan ahli yang menyusun laporan (atau pendapat
ahli pendukung ahli utama) yang isinya menjadi sumber persengketaan dan ahli
pendukung tidak dapat berbicara banyak sebab didudukan sebagai saksi fakta,
arbiter atau majelis arbitrase tidak patut untuk menafikan keberadaan pendapat
ahli yang berbeda dengan isi laporan yang menjadi pokok persengketaan tanpa
mengemukakan bantahan yang lengkap dan memiliki dasar yang kuat dalam
pertimbangan hukumnya.
Tanpa melakukannya, laporan yang tidak diverifikasi tersebut
tidak patut untuk menjadi dasar pengambilan putusan. Keadaan akan menjadi
semakin tidak patut apabila argumentasi hukum dan teknis pihak yang dikalahkan
tidak dibahas dan dipertentangkan dengan laporan yang menjadi dasar
pertimbangan hukum arbiter. Akibatnya, pihak yang dikalahkan juga tidak akan
dapat mengerti dasar penolakan sehingga dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi
citra arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang adil.
Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak
terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa
tidak memperoleh keadilan. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang kalah
untuk menuntut keadilan sekiranya merasa pengadil telah lalai sementara arbiter
memiliki hak imunitas di bawah pasal 21 No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) dan putusan arbitrase bersifat final
and binding?
Imunitas arbiter akan gugur apabila dapat dibuktikan adanya
itikad tidak baik dari tindakan arbiter atau majelis arbitrase. Meskipun bukan
merupakan obyek dari pasal 70 UU Arbitrase, atas dugaan yang terkait langsung
substansi yang menjadi dasar timbulnya persengketaan, seyogyanya tersedia pintu
untuk melakukan upaya pembatalan ke Pengadilan Negeri. Namun, hal ini akan
mengalahkan semangat bahwa arbitrase akan menyelesaikan persengketaan secara
imparsial, cepat dan adil sebab para pihak harus memasuki ranah persengketaan
panjang yang memerlukan waktu dan dana yang bisa sangat besar. Mungkin sudah
waktunya Kode Etik Arbiter pada lembaga arbitrase manapun di Indonesia mengatur
pasal untuk mengujinya apabila dalam proses pengambilan putusan arbiter
melakukan kelalaian.
*)Dr. Junaedy Ganie, FCBArb, MCIArb, ANZIIF (Fellow), AAIK
(HC), CIP, ChFC, CLU, adalah Arbiter Senior.
Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya
tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.
|