Wednesday 14 January 2015

Penurunan Harga BBM Sebagai Awal Kemandirian Perekonomian Nasional - Public Policy / Energy


 



 
PENURUNAN HARGA BBM SEBAGAI AWAL PENINGKATAN KEMANDIRIAN PEREKONOMIAN NASIONAL

Membangun saling ketergantungan berbasis sumber daya alam

Oleh Dr. Junaedy Ganie

 

Pemerintah telah memanfaatkan momentum penurunan harga BBM di pasar internasional untuk menata ulang pengelolaan dan distribusi BBM nasional. Sebagai sebuah negara yang telah menjadi net importer, pengambilan kebijakan penghapusan subsidi pada bahan bakar RON 88 (Premium) dan penentuan subsidi tetap sebesar Rp 1,000.- pada bahan bakar Biosolar memberikan pemerintah ruang gerak yang sangat luas untuk menata kembali prioritas dan arah kebijakan ekonomi yang akan diambil sehingga ambisi target pertumbuhan perekonomian nasional di atas 7% per tahun dapat tercapai. Adalah penting untuk mengkaji apakah dalam pengambilan kebijakan penghapusan subsidi tersebut pemerintah telah memperhitungkan secara matang strategi pembangunan daya saing Pertamina dalam distribusi BBM dalam negeri.

Diberitakan bahwa ruang fiskal yang terbentuk dari kebijakan baru tersebut mencapai Rp 275 triliun pada tahun 2015 yang tentu akan merangsang pertumbuhan kegiatan perekonomian. Namun, pada sisi yang lain, penurunan harga BBM di pasar internasional yang sekarang mencapai di bawah USD 50 per barrel memberikan dampak negatif yang besar pula kepada perekonomian Indonesia. Penurunan harga BBM tersebut mengakibatkan rontoknya harga komoditas andalan ekspor Indonesia terutama pada batubara, karet dan sawit.  Jatuhnya harga komoditas andalan tersebut di pasar internasional telah mengakibatkan meredupnya geliat perekonomian di sejumlah daerah. Sejumlah pengusaha tidak dapat bertahan sehingga memutuskan untuk menutup atau mengurangi kegiatan usaha. Akibatnya, tingkat pengangguran akan  meningkat dan daya beli masyarakat mulai dari para petani produk komoditas alam yang tergantung dari kilau harga komoditas tersebut menurun drastis menimbulkan multiflier effect yang besar terutama pada sektor usaha pendukung, mulai dari pemasok alat-alat berat, usaha transportasi darat dan laut dan masyarakat umum lingkungan sekitar. Dengan sendirinya, pada kantong-kantong perekonomian tertentu, penyaluran kredit perbankan dan pembiayaan juga akan menurun dan terdapat ancaman risiko NPL yang meningkat.

Kalau kita menoleh ke belakang, tentu akan muncul kritik atau penyesalan yang mempersoalkan kebijakan perekonomian yang sangat tergantung kepada produk-produk sumber daya alam dan rendahnya proses penambahan nilai (added-value) terhadap komoditas andalan sebelum di jual ke luar negeri. Terlepas dari apapun yang menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan kegiatan manufaktur di Indonesia yang tentu akan menimbulkan pembahasan yang sangat penjang.

Sementara upaya peningkatan pertumbuhan kegiatan manufaktur menuntut kebijakan tersendiri, dilema yang dipicu oleh penurunan harga BBM di pasar internasional sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk mendorong kemandirian perekonomian Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor. Diperlukan visi yang jelas dan political will yang kuat untuk mewujudkannya. Tidak kalah pentingnya adalah adanya pengorbanan jangka singkat untuk tujuan yang lebih besar demi keberhasilan yang berkelanjutan. Slogan dan retorika tidak akan mengatasi masalah. Intinya, pemerintah perlu mengambil langkah pasti dan transparan untuk mengubah tatanan struktur perekonomian untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang besar kemakmuran sesama.

Kebutuhan yang sangat menonjol saat ini adalah keberadaan suatu master plan yang menggambarkan bagaimana masing-masing sektor usaha akan saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama, yaitu  pembangunan perekonomian nasional yang berlandaskan saling keterkaitan dan saling ketergantungan diantara beragam sektor usaha dengan lainnya. Dengan demikian, ketergantungan terhadap pasar luar negeri menjadi terbatas. Pemikiran ini tidak menapikan adanya pengorbanan yang harus dilalui pada tahap awal yang menjadi keniscayaan demi tujuan pembangunan perekonomian jangka panjang yang kuat dan berkelanjutan.

Sebagai contoh, saat ini, pada BBM Biosolar terdapat kandungan CPO sebesar 10%. Ini merupakan contoh konkret pemanfaatan bahan mentah nabati untuk mengurangi ketergantungan pada bahan mentah berasal dari fosil. Negara-negara tertentu telah melangkah jauh dalam pemanfaatan bahan nabati lainnya seperti tebu atau produk lainnya seperti jarak untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia sehingga akan sangat logis memanfaatkan CPO sebagai bahan mentah BBM alternatif.

Akselerasi kebijakan kebijakan peningkatan komponen CPO dalam BBM akan sangat berarti dalam penyerapan komoditas CPO di pasar dalam negeri. Terlepas dari kemungkinan adanya pengorbanan yang perlu dijalani mengingat harga BBM di pasar internasional yang terus menurun sehingga daya saing harga CPO mungkin dapat dipertanyakan. Tetapi, membangun perekonomian yang mandiri dan berkelanjutan tidak dapat semata-mata berpijak pada daya saing ekonomis bahan mentah. Adalah penting untuk memperhitungkan pula besaran faktor multiflier effect dari pemanfaatan produk bahan mentah dalam negeri terhadap pertumbuhan dan ketahanan perekonomian nasional. Hal yang sama perlu dapat diberlakukan produksi karet sehingga penyerapan dalam negeri dapat meningkat dari saat ini hanya 15% dari produksi karet nasional. Demikian juga halnya dengan produksi batubara yang dimiliki Indonesia secara berlimpah. Dalam situasi khusus kemungkinan pemerintah harus melakukan pengorbanan jangka pendek atau menengah dalam situasi sektor swasta tidak dapat berperan banyak atau diwajibkan untuk mengikutinya. 

Sebagian besar dari hal-hal yang saya kemukakan diatas telah sering dibahas dalam berbagai forum dan tidak kurang dari harian Kompas yang menjadikan dilemma minyak-komoditas sebagai topik editorial nya secara dua hari berturut-turut pada 12 dan 13 Januari 2015. Yang ditunggu adalah terbentuknya suatu master plan yang matang dan otoritas yang berwenang dan efektif untuk mengelola dan mengawasinya.

 

Jakarta, 14 Januari 2015.

 

 

 

 

 


 

No comments:

Post a Comment