PENURUNAN
HARGA BBM SEBAGAI AWAL PENINGKATAN KEMANDIRIAN PEREKONOMIAN NASIONAL
Membangun saling ketergantungan berbasis sumber daya alam
Oleh Dr. Junaedy Ganie
Pemerintah telah memanfaatkan momentum
penurunan harga BBM di pasar internasional untuk menata ulang pengelolaan dan
distribusi BBM nasional. Sebagai sebuah negara yang telah menjadi net importer, pengambilan kebijakan
penghapusan subsidi pada bahan bakar RON 88 (Premium) dan penentuan subsidi
tetap sebesar Rp 1,000.- pada bahan bakar Biosolar memberikan pemerintah ruang
gerak yang sangat luas untuk menata kembali prioritas dan arah kebijakan
ekonomi yang akan diambil sehingga ambisi target pertumbuhan perekonomian
nasional di atas 7% per tahun dapat tercapai. Adalah penting untuk mengkaji apakah
dalam pengambilan kebijakan penghapusan subsidi tersebut pemerintah telah
memperhitungkan secara matang strategi pembangunan daya saing Pertamina dalam
distribusi BBM dalam negeri.
Diberitakan bahwa ruang fiskal yang terbentuk
dari kebijakan baru tersebut mencapai Rp 275 triliun pada tahun 2015 yang tentu
akan merangsang pertumbuhan kegiatan perekonomian. Namun, pada sisi yang lain, penurunan
harga BBM di pasar internasional yang sekarang mencapai di bawah USD 50 per barrel memberikan dampak negatif
yang besar pula kepada perekonomian Indonesia. Penurunan harga BBM tersebut
mengakibatkan rontoknya harga komoditas andalan ekspor Indonesia terutama pada
batubara, karet dan sawit. Jatuhnya
harga komoditas andalan tersebut di pasar internasional telah mengakibatkan
meredupnya geliat perekonomian di sejumlah daerah. Sejumlah pengusaha tidak
dapat bertahan sehingga memutuskan untuk menutup atau mengurangi kegiatan
usaha. Akibatnya, tingkat pengangguran akan meningkat dan daya beli masyarakat mulai dari para
petani produk komoditas alam yang tergantung dari kilau harga komoditas tersebut
menurun drastis menimbulkan multiflier
effect yang besar terutama pada sektor usaha pendukung, mulai dari pemasok
alat-alat berat, usaha transportasi darat dan laut dan masyarakat umum
lingkungan sekitar. Dengan sendirinya, pada kantong-kantong perekonomian
tertentu, penyaluran kredit perbankan dan pembiayaan juga akan menurun dan
terdapat ancaman risiko NPL yang meningkat.
Kalau kita menoleh ke belakang, tentu akan
muncul kritik atau penyesalan yang mempersoalkan kebijakan perekonomian yang
sangat tergantung kepada produk-produk sumber daya alam dan rendahnya proses
penambahan nilai (added-value)
terhadap komoditas andalan sebelum di jual ke luar negeri. Terlepas dari apapun
yang menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan kegiatan manufaktur di Indonesia
yang tentu akan menimbulkan pembahasan yang sangat penjang.
Sementara upaya peningkatan pertumbuhan
kegiatan manufaktur menuntut kebijakan tersendiri, dilema yang dipicu oleh penurunan
harga BBM di pasar internasional sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk
mendorong kemandirian perekonomian Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada
pasar ekspor. Diperlukan visi yang jelas dan political will yang kuat untuk mewujudkannya. Tidak kalah
pentingnya adalah adanya pengorbanan jangka singkat untuk tujuan yang lebih
besar demi keberhasilan yang berkelanjutan. Slogan dan retorika tidak akan
mengatasi masalah. Intinya, pemerintah perlu mengambil langkah pasti dan
transparan untuk mengubah tatanan struktur perekonomian untuk memanfaatkan
pasar dalam negeri yang besar kemakmuran sesama.
Kebutuhan yang sangat menonjol saat ini adalah
keberadaan suatu master plan yang
menggambarkan bagaimana masing-masing sektor usaha akan saling mendukung untuk
mencapai tujuan bersama, yaitu
pembangunan perekonomian nasional yang berlandaskan saling keterkaitan
dan saling ketergantungan diantara beragam sektor usaha dengan lainnya. Dengan
demikian, ketergantungan terhadap pasar luar negeri menjadi terbatas. Pemikiran
ini tidak menapikan adanya pengorbanan yang harus dilalui pada tahap awal yang
menjadi keniscayaan demi tujuan pembangunan perekonomian jangka panjang yang
kuat dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, saat ini, pada BBM Biosolar
terdapat kandungan CPO sebesar 10%. Ini
merupakan contoh konkret pemanfaatan bahan mentah nabati untuk mengurangi
ketergantungan pada bahan mentah berasal dari fosil. Negara-negara tertentu
telah melangkah jauh dalam pemanfaatan bahan nabati lainnya seperti tebu atau
produk lainnya seperti jarak untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak
bumi. Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia sehingga akan sangat
logis memanfaatkan CPO sebagai bahan mentah BBM alternatif.
Akselerasi kebijakan kebijakan peningkatan
komponen CPO dalam BBM akan sangat
berarti dalam penyerapan komoditas CPO di pasar dalam negeri. Terlepas dari
kemungkinan adanya pengorbanan yang perlu dijalani mengingat harga BBM di pasar
internasional yang terus menurun sehingga daya saing harga CPO mungkin dapat dipertanyakan.
Tetapi, membangun perekonomian yang mandiri dan berkelanjutan tidak dapat
semata-mata berpijak pada daya saing ekonomis bahan mentah. Adalah penting
untuk memperhitungkan pula besaran faktor multiflier
effect dari pemanfaatan produk bahan mentah dalam negeri terhadap
pertumbuhan dan ketahanan perekonomian nasional. Hal yang sama perlu dapat
diberlakukan produksi karet sehingga penyerapan dalam negeri dapat meningkat
dari saat ini hanya 15% dari produksi karet nasional. Demikian juga halnya
dengan produksi batubara yang dimiliki Indonesia secara berlimpah. Dalam
situasi khusus kemungkinan pemerintah harus melakukan pengorbanan jangka pendek
atau menengah dalam situasi sektor swasta tidak dapat berperan banyak atau
diwajibkan untuk mengikutinya.
Sebagian besar dari hal-hal yang saya
kemukakan diatas telah sering dibahas dalam berbagai forum dan tidak kurang
dari harian Kompas yang menjadikan dilemma minyak-komoditas sebagai topik
editorial nya secara dua hari berturut-turut pada 12 dan 13 Januari 2015. Yang
ditunggu adalah terbentuknya suatu master
plan yang matang dan otoritas yang berwenang dan efektif untuk mengelola
dan mengawasinya.
Jakarta,
14 Januari 2015.
No comments:
Post a Comment