Sunday 15 March 2015

Kebijakan Peningkatan Penggunaan Biofuel Sebagai Titik Tolak Kemandirian Energi Nasional - Public Policy / Energy


KEBIJAKAN PENINGKATAN PENGGUNAAN BIOFUEL SEBAGAI TITIK TOLAK KEMANDIRIAN ENERGI NASIONAL

 

Oleh Dr. Junaedy Ganie

 

Selama ini BBM Biosolar yang dijual di SPBU Pertamina mengandung 10% komponen bahan nabati yang berasal dari CPO. Adalah merupakan hal yang menggembirakan bahwa diantara 8 Paket Kebijakan Pemerintah yang muncul  minggu lalu sebagai strategi untuk menekan defisit transaksi berjalan dan menstabilkan mata uang Rupiah, salah satunya adalah  peningkatan penggunaan biofuel sehingga mencapai 20%.  

Strategi ini sebenarnya bukan pemikiran baru karena selama ini target 20% tersebut memang telah lama dicanangkan walaupun strategi pencapaiannya belum jelas. Adakalanya sangat kuat gaungnya dan lain waktu sayup-sayup dan terlupakan. Namun demikian, jika cita tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pengusaha atau sektor swasta untuk merealisikannya tentu akan sulit sekali untuk menjadikannya sebagai kenyataan. Selama ini, salah satu kendala utama adalah biaya produksi yang tidak bersaing, apalagi seiring dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar internasional yang mengakibatkan biaya produksi biosolar menjadi tidak ekonomis dan kalah bersaing dengan harga BBM impor. Akibatnya, upaya peningkatan komponen nabati dalam biosolar menjadi tidak menarik.

Bagaimanapun, harga bahan bakar fosil juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Selama ini, gejolak yang timbul selalu menimbulkan ancaman ketidakstabilan perekonomian nasional. Penghabusan subsidi BBM jenis Premum (RON 88) sejak awal tahun ini telah mengurangi dampaknya pada anggaran pemerintah. Namun demikian, pelemahan mata uang Rupiah tidak pelak memberikan tekanan ketidakstabilan pada perekonomian masyarakat dan daya beli masyarakat khususnya karena besarnya ketergantungan kepada BBM impor.

Namun demikian, kebijakan baru dari pemerintah tersebut menunjukan mulai kuatnya niat politik pemerintah untuk berpijak pada kesuksesan dan kemandirian perekonomian Indonesia secara jangka panjang. Tidak disangkal bahwa CPO sebagai salah satu komoditi ekspor andalan telah mampu berkembang diantara berbagai hambatan dalam kebijakan perdagangan di berbagai negara tujuan ekspor. Tetapi tidak menghasilkan nilai tambah yang optimum. Sementara berbagai upaya tetap harus diupayakan untuk menangkal dan mengatasi hambatan di berbagai negara tujuan, peningkatan penggunaan biofuel di dalam negeri akan memperbesar pasar di dalam negeri yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk ekspor tersebut di luar negeri.

Berapa studi memang menujukan beberapa waktu lalu ketika biaya proses produksi minyak jarak (jatropha) dan biomassa (ellulosic) lebih rendah dari minyak sawit tapi CPO adalah komoditas yang paling siap untuk menjadi biodiesel.

Kita mengharapkan berbagai peraturan turunan yang akan menjadi dasar dan pedoman implementasi dari 8 Paket Kebijakan Pemerintah tersebut menunjukan kesediaan pemerintah untuk memasuki koridor yang memastikan kuatnya motivasi, dedikasi dan pengorbanan dari semua pemangku kepentingan sehigga tujuan nasional yang akan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional secara berkelanjutan menjadi kenyataan. Kebijakan penurunan harga BBM di pasar internasional untuk menghapus subsidi pada BBM jenis premium dan  mengatur subsidi tetap pada bahan bakar Biosolar memberikan pemerintah ruang fiskal yang terbentuk dari kebijakan baru tersebut yang diperkirakan mencapai Rp 275 triliun pada tahun 2015 kiranya sebagiannya dapat diarahkan untuk mendorong peningkatan riset, studi, evaluasi, efisiensi yang akan memastikan kemampuan Indonesia untuk meningkatkan penggunaan CPO mencapai 20% dalam komponen bisolar di Indonesia.

Kebijakan pemberian subsidi pada BBM jenis Biosolar sebesar Rp 1,000 per liter tersebut membuka peluang bagi pemerintah untuk menjadikan kebijakan subsidi sebagai salah satu cara mengimbangi celah yang timbul dari biaya produksi biosolar yang masih lebih tinggi disertai dengan target waktu yang jelas sehingga semua elemen pemangku kepentingan akan menutup celah tersebut secepatnya. Jika, Indonesia dianggap menganut kebijakan tax incentive atau tax holiday yang paling pasif di antara negara-negara di kawasan Asean dalam mengundang investor asing, suatu kebijakan insentif pajak bagi pengusaha-pengusaha yang berkepentingan dengan peningkatan penggunaan biofuel di Indonesia dapat menjadi pilihan yang menarik untuk mendorong kebijakan ini demi tujuan jangka panjang, demi tujuan yang lebih besar.

Selanjutnya, kiranya masing-masing komoditas andalan Indonesia mendapat perhatian dan kesempatan nyata untuk meningkatkan proses peningkatan nilai tambah (added-value), mempunyai pasar yang lebih besar di dalam negeri dan memiliki daya saing yang lebih kuat di pasar internasional dan melahirkan  multiflier effect yang akan mempekuat perekonomian nasional. Gabungan dari peningkatan daya saing dan nilai tambah dari masing-masing komoditas andalan ekspor akan berpengaruh signifikan bagi kemajuan perekonomian Indonesia dan kemakmuran bangsa.

Dalam tulisan saya di blog ini pada 15 Januari 2015 yang berjudul PENURUNAN HARGA BBM SEBAGAI AWAL PENINGKATAN KEMANDIRIAN PEREKONOMIAN NASIONAL, Membangun saling ketergantungan berbasis sumber daya alam,  saya mengemukakan pentingnya pengorbanan jangka singkat untuk tujuan yang lebih besar demi keberhasilan yang berkelanjutan dan bahwa slogan dan retorika tidak akan mengatasi masalah. Semoga 8 Paket Kebijakan Pemerintah tersebut benar-benar menggambarkan langkah pasti dan transparan pemerintah untuk mengubah tatanan struktur perekonomian untuk memanfaatkan pasar dalam negeri yang besar kemakmuran sesama.

Indonesia perlu visi yang jelas dan kebijakan yang merefleksikan tindakan nyata untuk mencapainya, berkesinabungan dan melahirkan sinergi yang kuat antar sektor perekonomian nasional. 

Adalah menarik untuk mengkaitkan pemikiran ini dengan isi kolom Editorial Kompas pada 13 Maret 2015 yang berjudul Makna Pemegang Rekor.  Apalah artinya Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar di dunia, karet nomor 2 di dunia dan dan sederet daftar panjang pemegang rekor dunia lainnya mulai selain itu, yaitu mulai dari rotan, kelapa, rumput laut, ikan, udang, lada, kopi, teh dan bubur kertas dan lain-lainnya jika kita bukan penentu harga dan daya saing komoditas kita rapuh di pasar internasional serta bila kontribusi nya terhadap devisa nasional masih kecil.

Mari kita tunggu lanjutan dari 8 Paket Kebijakan Pemerintah tersebut.

 

Jakarta, 15 Maret 2015.

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment