KEBIJAKAN PENINGKATAN PENGGUNAAN
BIOFUEL SEBAGAI TITIK TOLAK KEMANDIRIAN ENERGI NASIONAL
Oleh Dr.
Junaedy Ganie
Selama
ini BBM Biosolar yang dijual di SPBU Pertamina mengandung 10% komponen bahan
nabati yang berasal dari CPO. Adalah merupakan hal yang menggembirakan bahwa diantara
8 Paket Kebijakan Pemerintah yang
muncul minggu lalu sebagai strategi
untuk menekan defisit transaksi berjalan dan menstabilkan mata uang Rupiah,
salah satunya adalah peningkatan penggunaan
biofuel sehingga mencapai 20%.
Strategi
ini sebenarnya bukan pemikiran baru karena selama ini target 20% tersebut memang
telah lama dicanangkan walaupun strategi pencapaiannya belum jelas. Adakalanya sangat
kuat gaungnya dan lain waktu sayup-sayup dan terlupakan. Namun demikian, jika
cita tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pengusaha atau sektor swasta untuk merealisikannya
tentu akan sulit sekali untuk menjadikannya sebagai kenyataan. Selama ini,
salah satu kendala utama adalah biaya produksi yang tidak bersaing, apalagi seiring
dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar internasional yang mengakibatkan biaya
produksi biosolar menjadi tidak ekonomis dan kalah bersaing dengan harga BBM
impor. Akibatnya, upaya peningkatan komponen nabati dalam biosolar menjadi
tidak menarik.
Bagaimanapun,
harga bahan bakar fosil juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Selama
ini, gejolak yang timbul selalu menimbulkan ancaman ketidakstabilan
perekonomian nasional. Penghabusan subsidi BBM jenis Premum (RON 88) sejak awal
tahun ini telah mengurangi dampaknya pada anggaran pemerintah. Namun demikian,
pelemahan mata uang Rupiah tidak pelak memberikan tekanan ketidakstabilan pada
perekonomian masyarakat dan daya beli masyarakat khususnya karena besarnya
ketergantungan kepada BBM impor.
Namun
demikian, kebijakan baru dari pemerintah tersebut menunjukan mulai kuatnya niat
politik pemerintah untuk berpijak pada kesuksesan dan kemandirian perekonomian Indonesia
secara jangka panjang. Tidak disangkal bahwa CPO sebagai salah satu komoditi
ekspor andalan telah mampu berkembang diantara berbagai hambatan dalam
kebijakan perdagangan di berbagai negara tujuan ekspor. Tetapi tidak
menghasilkan nilai tambah yang optimum. Sementara berbagai upaya tetap harus
diupayakan untuk menangkal dan mengatasi hambatan di berbagai negara tujuan, peningkatan
penggunaan biofuel di dalam negeri akan memperbesar pasar di dalam negeri yang
pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk ekspor tersebut di luar negeri.
Berapa
studi memang menujukan beberapa waktu lalu ketika biaya proses produksi minyak
jarak (jatropha) dan biomassa (ellulosic) lebih rendah dari minyak
sawit tapi CPO adalah komoditas yang paling siap untuk menjadi biodiesel.
Kita
mengharapkan berbagai peraturan turunan yang akan menjadi dasar dan pedoman
implementasi dari 8 Paket Kebijakan Pemerintah tersebut menunjukan kesediaan
pemerintah untuk memasuki koridor yang memastikan kuatnya motivasi, dedikasi
dan pengorbanan dari semua pemangku kepentingan sehigga tujuan nasional yang
akan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional secara berkelanjutan menjadi
kenyataan. Kebijakan penurunan harga BBM di pasar internasional untuk menghapus
subsidi pada BBM jenis premium dan
mengatur subsidi tetap pada bahan bakar Biosolar
memberikan pemerintah ruang fiskal yang terbentuk dari kebijakan baru tersebut yang
diperkirakan mencapai Rp 275 triliun pada tahun 2015 kiranya sebagiannya dapat
diarahkan untuk mendorong peningkatan riset, studi, evaluasi, efisiensi yang
akan memastikan kemampuan Indonesia untuk meningkatkan penggunaan CPO mencapai
20% dalam komponen bisolar di Indonesia.
Kebijakan
pemberian subsidi pada BBM jenis Biosolar sebesar Rp 1,000 per liter tersebut membuka
peluang bagi pemerintah untuk menjadikan kebijakan subsidi sebagai salah satu cara
mengimbangi celah yang timbul dari biaya produksi biosolar yang masih lebih
tinggi disertai dengan target waktu yang jelas sehingga semua elemen pemangku
kepentingan akan menutup celah tersebut secepatnya. Jika, Indonesia dianggap
menganut kebijakan tax incentive atau
tax holiday yang paling pasif di antara negara-negara di kawasan Asean dalam
mengundang investor asing, suatu kebijakan insentif pajak bagi
pengusaha-pengusaha yang berkepentingan dengan peningkatan penggunaan biofuel
di Indonesia dapat menjadi pilihan yang menarik untuk mendorong kebijakan ini
demi tujuan jangka panjang, demi tujuan yang lebih besar.
Selanjutnya,
kiranya masing-masing komoditas andalan Indonesia mendapat perhatian dan
kesempatan nyata untuk meningkatkan proses peningkatan nilai tambah (added-value), mempunyai pasar yang lebih
besar di dalam negeri dan memiliki daya saing yang lebih kuat di pasar
internasional dan melahirkan multiflier effect yang akan mempekuat
perekonomian nasional. Gabungan dari peningkatan daya saing dan nilai tambah
dari masing-masing komoditas andalan ekspor akan berpengaruh signifikan bagi
kemajuan perekonomian Indonesia dan kemakmuran bangsa.
Dalam
tulisan saya di blog ini pada 15 Januari 2015 yang berjudul PENURUNAN
HARGA BBM SEBAGAI AWAL PENINGKATAN KEMANDIRIAN PEREKONOMIAN NASIONAL, Membangun
saling ketergantungan berbasis sumber daya alam, saya mengemukakan pentingnya pengorbanan
jangka singkat untuk tujuan yang lebih besar demi keberhasilan yang
berkelanjutan dan bahwa slogan dan retorika tidak akan mengatasi masalah. Semoga
8 Paket Kebijakan Pemerintah tersebut benar-benar menggambarkan langkah pasti
dan transparan pemerintah untuk mengubah tatanan struktur perekonomian untuk
memanfaatkan pasar dalam negeri yang besar kemakmuran sesama.
Indonesia
perlu visi yang jelas dan kebijakan yang merefleksikan tindakan nyata untuk
mencapainya, berkesinabungan dan melahirkan sinergi yang kuat antar sektor
perekonomian nasional.
Adalah
menarik untuk mengkaitkan pemikiran ini dengan isi kolom Editorial Kompas pada 13 Maret 2015 yang berjudul Makna Pemegang Rekor. Apalah artinya Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar di dunia, karet nomor 2 di dunia dan dan sederet
daftar panjang pemegang rekor dunia lainnya mulai selain itu, yaitu mulai dari rotan, kelapa, rumput laut, ikan, udang,
lada, kopi, teh dan bubur kertas dan lain-lainnya jika kita bukan penentu
harga dan daya saing komoditas kita rapuh di pasar internasional serta bila
kontribusi nya terhadap devisa nasional masih kecil.
Mari
kita tunggu lanjutan dari 8 Paket Kebijakan Pemerintah tersebut.
Jakarta, 15 Maret 2015.
No comments:
Post a Comment