Wednesday 25 March 2015

Renungan di puncak Gunung Kelimutu dan Danau Tiga Warna - Pariwisata


Renungan di puncak Gunung Kelimutu dan Danau Tiga warna

Sebuah oleh-oleh dari Flores.

 

Oleh Dr. Junaedy Ganie

 

Kami telah lama mengidamkan kunjungan ke Flores, baik karena alasan ketertarikan terhadap daya tarik wisata alam dan laut yang dimiliki pulau tersebut maupun karena alasan akar sejarah keluarga dari pihak isteri saya.

Rencana kunjungan tersebut selama ini selalu tertunda dengan berbagai alasan. Namun, jika memang sudah waktunya niat tersebut terlaksana tanpa direncanakan. Berhubung kolega yang kami undang bersama isterinya untuk berakhir pekan di pulau X berhalangan, kami melakukan improvisasi atas program wisata dengan mengajak ketiga anak kami untuk ikut serta. Kebetulan mereka bisa walaupun dengan usulan tertentu. Untuk mengimbangi permintaan anak-anak untuk memilih tujuan dengan tempat menyelam (diving sites) yang menarik, kunjungan 5 hari di Flores menjadi pilihan kami kali ini. Jadilah kami memesan tiket Garuda ke Ende dan Labuan Bajo  pada 17 Maret 2015 malam dan keesokan malamnya langsung terbang menuju Flores dengan sebelumnya menginap semalam di Bali.

Rasanya sudah sejak masa kecil foto danau tiga warna Kelimutu terpatri di ingatan saya pribadi. Pulau Komodo yang telah menjadi situs wisata warisan dunia (World’s Herritage site) ikut menjadi pendorong kami untuk berkunjung ke Flores.

Demi merangkai kekerabatan, pilihan pertama kami adalah kota Ende. Kami menerima sambutan hangat dari keluarga besar disana yang selama ini banyak yang tidak saling mengenal dengan kami. Belum lagi kehebohan “sekampung” yang ingin berfoto dengan puteri kami karena profesinya di masa lalu yang masih tersimpan di kenangan mereka. Alhamdulillah, niat bersilaturahim dengan kerabat disana terpenuhi. Acapkali pertemuan pertama sulit terlaksana tetapi setelah itu kesempatan baru sering tercipta. Semoga.

Kota tersebut tampak bersih, rapi tertata dengan infrastruktur jalan yang baik. Kontur alam yang berbukit membuatnya menjadi lebih menarik. Kami menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tahanan Soekarno (Bung Karno, Presiden pertama RI) sewaktu diasingkan Belanda di masa penjajahan. Kami juga ke lapangan yang menghadap ke pantai tempat perenungan Bung Karno dalam menggali pemikiran tentang Pancasila. Mungkin karena rasa hormat yang tinggi kepada tokoh proklamator tersebut, bulu roma di kedua lengan saya berdiri semua selama berada disana. Di situs tersebut kini terdapat patung Bung Karno yang diresmikan oleh Taufik Kiemas tidak lama sebelum beliau meninggal. Kami juga melewati gedung “tonil” tempat  pertunjukan sandiwara yang diprakarsai Bung Karno sedang direnovasi. Beberapa hal yang mungkin dapat menjadi bahan pemikiran, antara lain, pertama, bagaimana seorang pemimpin membaur dan terlibat aktif dengan masyarakat setempat dalam kesehariannya sehingga dapat menyelami budaya setempat dan menyebarkan pemikirannya dan, kedua, walaupun Belanda mengasingkan pemimpin-pemimpin pendukung kemerdekaan dalam status tahanan, rumah tempat pengasingan yang disediakan selalu merupakan rumah-rumah yang umumnya cukup besar dan dalam kondisi yang layak huni sebagai bentuk tanggung jawab mereka.

Untuk mendekati lokasi danau Kelimutu kami telah memesan penginapan di Moni, ibukota Kecamatan Moni. Perjalanan dari Ende ke Moni umumnya di tempuh dalam waktu 1 ½ jam. Tetapi beberapa hari sebelum kunjungan kami telah terjadi tanah longsor besar yang menimbulkan kerusakan jalan parah sampai beberapa ratus meter sehingga kendaraan roda empat dan dua dilarang lewat. Di luar jam istirahat pekerja jalan, perjalanan harus melintasi bukit terjal dan semak belukar  dan bahkan untuk turun ke jalan di ujung yang lain harus melalui tangga bambu. Kami dapat menyesuaikan diri dengan jadwal jam istirahat sehingga tidak perlu melintasi bukit tersebut dan tidak harus seperti beberapa perempuan dengan keranjang dipunggung sedang menuruni tangga bambu yang tampak di TVOne beberapa hari sebelum kami kesana. Anak-anak mengatakan kalau lewat jalan pintas tersebut tentu akan lebih seru. Entah apakah mereka akan memberikan komentar yang sama jika benar-benar melaluinya di tengah udara terik saat itu. Sejumlah alat berat sedang dikerahkan melakukan perbaikan. Mungkin pada saat anda membaca tulisan ini, kondisi jalan telah normal kembali.  Secara umum, sepanjang perjalanan tersaji  pemandangan alam khas daerah perbukitan yang indah dan menyejukan mata.

Di Moni tersedia sejumlah penginapan yang baik. Kami menginap di Andy’s Lodge yang di kelola oleh Ito yang memiliki rambut gimbal sebagai ciri khas nya. Penginapan tersebut bersih dan dilengkapi dengan kebutuhan pokok termasuk air hangat di kamar mandi dan memiliki pemandangan ke perbukitan. Bagi peminat kain tenun adat dengan motif yang menarik, mereka dapat membeli langsung dari penenun atau dari pedagang di sekitar tempat menginap. Pada malam hari, langit bertabur bintang. Dengan lampu teras dimatikan dan bantuan aplikasi Google Sky Map kami menikmati bintang-bintang di angkasa serta mengetahui nama dan posisi dari masing-masing planet dan rasi bintang yang  bertebaran di langit luas.

Kami berangkat menuju Kelimutu pada jam 4.30 pagi dengan mobil sewaan bersama supir dan Ito sebagai guide. Perjalanan melalui jalan berliku dan menanjak dengan kondisi aspal yang dan marka jalan yang baik memakan waktu sekitar 45 menit. Semangat untuk mengunjungi daerah baru yang menarik menghilangkan rasa kantuk kami. Kendaraan kami yang pertama tiba di tempat parkir. Tidak lama kemudian mobil-mobil dan berbagai sepeda motor berdatangan. Setelah itu dilanjutkan dengan berjalan kaki santai bercahayakan senter sekitar 30 menit menuju ke puncak Gunung Kelimutu. Dengan kecepatan yang dimiliki oleh bule-bule yang melewati kami di pagi buta tersebut, perjalanan akan memakan waktu 15 – 20 menit saja.

Pada ketinggian 1,690 m diatas permukaan laut setelah melewati bayangan ketiga danau Kelimutu kami tiba di puncak Kelimutu. Dalam hitungan menit matahari mulai terbit. Matahari yang terbit tampak lebih besar dari yang pernah kami lihat ketika terbit di Gunung Bromo (walaupun pasti matahari yang sama) 2 tahun yang lalu. Bersamaan dengan itu bayangan danau menjadi jelas dan kami mulai menerka warna masing-masing danau pada pagi hari itu. Perjuangan menuju kesana menjadi tidak berarti dibanding keindahan dan kebesaran alam yang tampak di depan mata! Lokasi yang sangat menarik untuk merenung dan berpikir dan mencari inspirasi walaupun sesekali mungkin dapat terganggu oleh candaan penjaja kopi panas disana.

Kelimutu adalah sebuah gunung berapi aktif. Kelimutu artinya Gunung yang beruap. Menurut kepercayaan lama, danau-danau tersebut adalah tempat arwah penduduk setempat setelah meninggal. Danau yang pertama bernama ata polo yang artinya orang-orang jahat. Danau kedua disebut danau nuamuri ko’o fai yang artinya danau muda mudi. Yang terakhir danau ata mbupu atau danau orang tua. Warna masing-masing danau berubah dari waktu ke waktu, sesuai pengaruh kondisi gunung berapi tempat berada. Adakalanya,  ada yang berwarna merah. Sejak beberapa minggu yang lalu masing-masing berwarna coklat kehitaman, hijau dan hijau tua. Di tepi danau yang terendah tercatat riwayat perubahan berbagai warna masing-masing danau untuk kurun waktu tertentu. Puncak keramaian adalah pada setiap tanggal 14 Agustus ketika acara adat yang disebut patika sedang berlangsung, yaitu acara memberi sesajian kepada arwah leluhur penduduk setempat.    Fauna di sekitar juga menarik untuk diamati. Dalam perjalanan kami mendengar berbagai suara burung. Ternyata, menurut Ito, itu adalah bunyi burung geru giwa yang memiliki 14 jenis bunyi!

Di sekeliling kami pagi itu mungkin terdapat sekitar 25-30 orang dan sebagian besar adalah bule yang telah datang dari negeri yang jauh. Informasi yang kami terima mengatakan bahwa pengunjung terbesar ke Kelimutu adalah bangsa Perancis disusul oleh bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya dan disana kami sempat berbicara dengan berapa orang dari kedua negeri tersebut. Kami juga berkenalan dengan  beberapa orang mahasiswa S2 yang datang  dari  Swiss. Yang tidak kalah menarik adalah keberadaan seorang wanita Polandia yang menunjukan bahwa  daya tarik Kelimutu telah mencapai negara-negara yang tidak tergolong wisatawan asing tradisional ke Indonesia. Jumlah wisatawan asing akan meningkat mulai bulan Juni sampai Agustus. Lalu, bagaimana wisatawan domestik?  Mengapa mereka bersedia datang dari jauh tetapi kita tidak? Mengapa belum sebanyak wisatawan asing  walaupun meningkat?

Benarkah jumlah yang datang masih sedikit karena mahal? Benarkah persepsi tentang infrastruktur yang buruk menjadi penyebabnya? Apakah keamanan menjadi alasan? Bagaimana tambahan pembebasan visa masuk kepada warga 30 negara dalam 8 Paket Kebijakan Pemerintah baru akan berpengaurh terhadap peningkatan kunjungan wisatawan asing ke daerah ini? Pada tulisan yang berikut, saya akan mencoba mereka-reka tentang sebagian dari pertanyaan-pertanyaan di atas terutama terkait dengan pandangan terhadap biaya berwisata domestik.

Jakarta, 25 Maret 2015 (updated 3 April 2015)

No comments:

Post a Comment