Renungan di puncak Gunung Kelimutu
dan Danau Tiga warna
Sebuah oleh-oleh
dari Flores.
Oleh Dr. Junaedy Ganie
Kami telah lama mengidamkan kunjungan
ke Flores, baik karena alasan ketertarikan terhadap daya tarik wisata alam dan
laut yang dimiliki pulau tersebut maupun karena alasan akar sejarah keluarga
dari pihak isteri saya.
Rencana kunjungan tersebut selama ini
selalu tertunda dengan berbagai alasan. Namun, jika memang sudah waktunya niat
tersebut terlaksana tanpa direncanakan. Berhubung kolega yang kami undang bersama
isterinya untuk berakhir pekan di pulau X berhalangan, kami melakukan
improvisasi atas program wisata dengan mengajak ketiga anak kami untuk ikut
serta. Kebetulan mereka bisa walaupun dengan usulan tertentu. Untuk mengimbangi
permintaan anak-anak untuk memilih tujuan dengan tempat menyelam (diving sites) yang menarik, kunjungan 5
hari di Flores menjadi pilihan kami kali ini. Jadilah kami memesan tiket Garuda
ke Ende dan Labuan Bajo pada 17 Maret
2015 malam dan keesokan malamnya langsung terbang menuju Flores dengan sebelumnya
menginap semalam di Bali.
Rasanya sudah sejak masa kecil foto
danau tiga warna Kelimutu terpatri di ingatan saya pribadi. Pulau Komodo yang
telah menjadi situs wisata warisan dunia (World’s
Herritage site) ikut menjadi pendorong kami untuk berkunjung ke Flores.
Demi merangkai kekerabatan, pilihan
pertama kami adalah kota Ende. Kami menerima sambutan hangat dari keluarga
besar disana yang selama ini banyak yang tidak saling mengenal dengan kami. Belum
lagi kehebohan “sekampung” yang ingin berfoto dengan puteri kami karena
profesinya di masa lalu yang masih tersimpan di kenangan mereka. Alhamdulillah,
niat bersilaturahim dengan kerabat disana terpenuhi. Acapkali pertemuan pertama
sulit terlaksana tetapi setelah itu kesempatan baru sering tercipta. Semoga.
Kota tersebut tampak bersih, rapi
tertata dengan infrastruktur jalan yang baik. Kontur alam yang berbukit
membuatnya menjadi lebih menarik. Kami menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah
tahanan Soekarno (Bung Karno, Presiden pertama RI) sewaktu diasingkan Belanda di
masa penjajahan. Kami juga ke lapangan yang menghadap ke pantai tempat
perenungan Bung Karno dalam menggali pemikiran tentang Pancasila. Mungkin karena rasa hormat yang tinggi kepada tokoh proklamator tersebut, bulu roma di kedua lengan saya berdiri semua selama berada disana. Di situs
tersebut kini terdapat patung Bung Karno yang diresmikan oleh Taufik Kiemas
tidak lama sebelum beliau meninggal. Kami juga melewati gedung “tonil”
tempat pertunjukan sandiwara yang
diprakarsai Bung Karno sedang direnovasi. Beberapa hal yang mungkin dapat
menjadi bahan pemikiran, antara lain, pertama,
bagaimana seorang pemimpin membaur dan terlibat aktif dengan masyarakat
setempat dalam kesehariannya sehingga dapat menyelami budaya setempat dan
menyebarkan pemikirannya dan, kedua,
walaupun Belanda mengasingkan pemimpin-pemimpin pendukung kemerdekaan dalam
status tahanan, rumah tempat pengasingan yang disediakan selalu merupakan
rumah-rumah yang umumnya cukup besar dan dalam kondisi yang layak huni sebagai
bentuk tanggung jawab mereka.
Untuk mendekati lokasi danau Kelimutu
kami telah memesan penginapan di Moni, ibukota Kecamatan Moni. Perjalanan dari
Ende ke Moni umumnya di tempuh dalam waktu 1 ½ jam. Tetapi beberapa hari
sebelum kunjungan kami telah terjadi tanah longsor besar yang menimbulkan
kerusakan jalan parah sampai beberapa ratus meter sehingga kendaraan roda empat
dan dua dilarang lewat. Di luar jam istirahat pekerja jalan, perjalanan harus
melintasi bukit terjal dan semak belukar
dan bahkan untuk turun ke jalan di ujung yang lain harus melalui tangga
bambu. Kami dapat menyesuaikan diri dengan jadwal jam istirahat sehingga tidak
perlu melintasi bukit tersebut dan tidak harus seperti beberapa perempuan dengan
keranjang dipunggung sedang menuruni tangga bambu yang tampak di TVOne
beberapa hari sebelum kami kesana. Anak-anak mengatakan kalau lewat jalan pintas
tersebut tentu akan lebih seru. Entah apakah mereka akan memberikan komentar
yang sama jika benar-benar melaluinya di tengah udara terik saat itu. Sejumlah
alat berat sedang dikerahkan melakukan perbaikan. Mungkin pada saat anda
membaca tulisan ini, kondisi jalan telah normal kembali. Secara umum, sepanjang perjalanan tersaji pemandangan alam khas daerah perbukitan yang indah dan menyejukan mata.
Di Moni tersedia sejumlah penginapan
yang baik. Kami menginap di Andy’s Lodge
yang di kelola oleh Ito yang memiliki rambut gimbal sebagai ciri khas nya.
Penginapan tersebut bersih dan dilengkapi dengan kebutuhan pokok termasuk air
hangat di kamar mandi dan memiliki pemandangan ke perbukitan. Bagi peminat kain
tenun adat dengan motif yang menarik, mereka dapat membeli langsung dari
penenun atau dari pedagang di sekitar tempat menginap. Pada malam hari, langit bertabur bintang. Dengan lampu teras dimatikan dan bantuan aplikasi Google Sky Map kami menikmati bintang-bintang di angkasa serta mengetahui nama dan posisi dari masing-masing planet dan rasi bintang yang bertebaran di langit luas.
Kami berangkat menuju Kelimutu pada
jam 4.30 pagi dengan mobil sewaan bersama supir dan Ito sebagai guide. Perjalanan melalui jalan berliku
dan menanjak dengan kondisi aspal yang dan marka jalan yang baik memakan waktu
sekitar 45 menit. Semangat untuk mengunjungi daerah baru yang menarik menghilangkan
rasa kantuk kami. Kendaraan kami yang pertama tiba di tempat parkir. Tidak lama
kemudian mobil-mobil dan berbagai sepeda motor berdatangan. Setelah itu
dilanjutkan dengan berjalan kaki santai bercahayakan senter sekitar 30 menit
menuju ke puncak Gunung Kelimutu. Dengan kecepatan yang dimiliki oleh bule-bule
yang melewati kami di pagi buta tersebut, perjalanan akan memakan waktu 15 – 20
menit saja.
Pada ketinggian 1,690 m diatas
permukaan laut setelah melewati bayangan ketiga danau Kelimutu kami tiba di
puncak Kelimutu. Dalam hitungan menit matahari mulai terbit. Matahari yang
terbit tampak lebih besar dari yang pernah kami lihat ketika terbit di Gunung
Bromo (walaupun pasti matahari yang sama) 2 tahun yang lalu. Bersamaan dengan
itu bayangan danau menjadi jelas dan kami mulai menerka warna masing-masing
danau pada pagi hari itu. Perjuangan menuju kesana menjadi tidak berarti
dibanding keindahan dan kebesaran alam yang tampak di depan mata! Lokasi yang
sangat menarik untuk merenung dan berpikir dan mencari inspirasi walaupun
sesekali mungkin dapat terganggu oleh candaan penjaja kopi panas disana.
Kelimutu adalah sebuah gunung berapi
aktif. Kelimutu artinya Gunung yang beruap. Menurut kepercayaan lama,
danau-danau tersebut adalah tempat arwah penduduk setempat setelah meninggal.
Danau yang pertama bernama ata polo
yang artinya orang-orang jahat. Danau kedua disebut danau nuamuri ko’o fai yang artinya danau muda
mudi. Yang terakhir danau ata mbupu
atau danau orang tua. Warna masing-masing danau berubah dari waktu ke waktu,
sesuai pengaruh kondisi gunung berapi tempat berada. Adakalanya, ada yang berwarna merah. Sejak beberapa minggu yang
lalu masing-masing berwarna coklat kehitaman, hijau dan hijau tua. Di tepi
danau yang terendah tercatat riwayat perubahan berbagai warna masing-masing
danau untuk kurun waktu tertentu. Puncak keramaian adalah pada setiap tanggal
14 Agustus ketika acara adat yang disebut patika
sedang berlangsung, yaitu acara memberi sesajian kepada arwah leluhur penduduk
setempat. Fauna di sekitar juga menarik untuk diamati. Dalam perjalanan kami mendengar berbagai suara burung. Ternyata, menurut Ito, itu adalah bunyi burung geru giwa yang memiliki 14 jenis bunyi!
Di sekeliling kami pagi itu mungkin
terdapat sekitar 25-30 orang dan sebagian besar adalah bule yang telah datang
dari negeri yang jauh. Informasi yang kami terima mengatakan bahwa pengunjung
terbesar ke Kelimutu adalah bangsa Perancis disusul oleh bangsa Belanda dan
bangsa Eropa lainnya dan disana kami sempat berbicara dengan berapa orang dari
kedua negeri tersebut. Kami juga berkenalan dengan beberapa orang mahasiswa S2 yang datang dari
Swiss. Yang tidak kalah menarik adalah keberadaan seorang wanita
Polandia yang menunjukan bahwa daya
tarik Kelimutu telah mencapai negara-negara yang tidak tergolong wisatawan
asing tradisional ke Indonesia. Jumlah wisatawan asing akan meningkat mulai
bulan Juni sampai Agustus. Lalu, bagaimana wisatawan domestik? Mengapa mereka bersedia datang dari jauh tetapi kita tidak? Mengapa belum sebanyak wisatawan asing walaupun meningkat?
Benarkah jumlah yang datang masih sedikit
karena mahal? Benarkah persepsi tentang infrastruktur yang buruk menjadi
penyebabnya? Apakah keamanan menjadi alasan? Bagaimana tambahan pembebasan visa
masuk kepada warga 30 negara dalam 8
Paket Kebijakan Pemerintah baru akan berpengaurh terhadap peningkatan kunjungan
wisatawan asing ke daerah ini? Pada tulisan yang berikut, saya akan mencoba
mereka-reka tentang sebagian dari pertanyaan-pertanyaan di atas terutama
terkait dengan pandangan terhadap biaya berwisata domestik.
Jakarta, 25 Maret 2015 (updated 3 April 2015)